Istilah Hukum Adat
Istilah Hukum Adat berasal dari terjemahan Adatrecht, yang mula-mula dikemukakan oleh Snouck Hurgronje, kemudian dipakai oleh Van Vollenhoven.
Istilah yang dipergunakan sebelumnya dalam perundang-undangan adalah Peraturan Keagamaan (Godsdienstige Wetten) karena pengaruh ajaran Receptio in Complexu dari Van Den Berg dan Salmon Keyzer.
Pada masa Hindia Belanda ada Adatrecht (Hukum Adat) yang berlaku bagi orang-orang yang tidak tunduk kepada KUH Perdata dan Gewoonte Recht (Hukum Kebiasaan) yang berlaku bagi mereka yang tunduk kepada Hukum KUHPerdata.
Perbedaan istilah dan pengertian (Hukum Adat dan Kebiasaan) itu harus dihilangkan karena lambat laun tidak ada lagi perbedaan antara golongan Eropa, Indonesia dan Timur Asing melainkan hanya ada perbedaan Warga Negara Indonesia dan Orang Asing (Mahadi). Maka sebaiknya digunakan satu istilah saja yaitu Hukum Adat (sebagaimana yang telah dipakai dalam UUPA).
Adat Adalah merupakan dari pada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan dari pada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad keabad. Hukum adat adalah mata kuliah yang ada di fakultas hukum.
Tiap bangsa di Dunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri yang satu dengan yang lain tidak sama. Oleh karena itu ketidaksamaan inilah yang menyebabkan adapt tersebut merupakan unsur yang terpenting yang memberikan identitas kepada bangsa yang bersangkutan. Didalam Negara RI adapt yang dimiliki oleh suku-suku bangsa adalah berbeda2 meskipun dasar serta sifat nya adalah satu yaitu: ke Indonesiaannya.
Adat istiadat yang hidup serta yang berhubungan dengan tradisi rakyat inilah yang merupakan sumber yang mengagumkan bagi hukum adat kita.
Definisi Hukum adat menurut para ahli:
Definisi Hukum Adat Menurut Hazairin :
“ Hukum Adat adalah renapan ( endapan ) kesusilaan dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah – kaidah adat itu berupa kaidah – kaidah kesusilaan yang telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu “
Definisi Hukum Adat Menurut Kusumadi Pudjosewojo
“Adat adalah tingkah laku yang oleh dan dalam suatu masyarakat (sudah ,sedang , akan) d-i-a d a t kan. Adat = kebiasaan normatif yang dipertahankan oleh masyarakat, walaupun tidak terus terulang, pada saat-saat tertentu akan berulang dan harus dilaksanakan, apabila tidak dilaksanakan maka masyrakat akan mengadakan reaksi.
Setelah kita memahami definisi hukum adat menurut para ahli. Kita akan mendefinisikan apa itu hukum adat. Hukum adat adalah ATURAN YANG BERASAL DARI KETETAPAN LELUHUR, YAITU KETETAPAN YANG DIBUAT OLEH PEMUKA ADAT DI JAMAN PURBA, DIMASA NENEK MOYANG YANG MENURUNKAN MASYARAKAT SEKARANG.
Definisi Hukum Adat Menurut Prof Van Dijk
“Adat adalah istilah dari bahasa arab yang berarti KEBIASAAN“
“Hukum adat adalah istilah untuk menunjukkan hukum yang tidak dikodifikasikan dalam kalangan orang Indonesia asli dan kalangan orang Timur Asing“
Definisi Hukum Adat Menurut MR. B. TERHAAR
Hukum Adat adalah keseluruhan peraturan yg menjelma dalam keputusan2x para fungsionaris hukum (meliputi: eksekutif; legislatif; yudikatif) yg mempunyai wibawa (Macth Authority) yg berlaku dalam masyarakat dan dipatuhi sepenuh hati.
Definisi Hukum Adat Menurut Soekanto
“keseluruhan adat yang ( yang tidak tertulis ) dan hidup didalam masyarakat berupa kesusilaan, kebiasaan, dan kelaziman yang mempunyai akibat hukum”
Definisi Hukum Adat Menurut Prof Bushar Muhammad S.H
“Hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungannya satu sama lain, baik berupa keseluruhan dari kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup karena diyakini dan dianut serta dipertahankan oleh masyarakat adat, maupun berupa keseluruhan peraturan yang padanya diletakkan suruhan /larangan yang jika dilanggar akan dikenakan hukuman oleh dan berdasarkan putusan-putusan dari para penguasa adat, yaitu orang yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa memberikan keputusan dalam masyarakat “
Definisi Hukum Adat Menurut PROF. MR. C. VAN VOLLENHOVEN
Hukum Adat adalah hukum yg tdk bersumber kpd peraturan2 yg dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahuku atau alat2 kekuasaan lainnya yg mjd sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.
Definisi Hukum Adat Menurut MR. B. TERHAAR
Hukum Adat adalah keseluruhan peraturan yg menjelma dalam keputusan2x para fungsionaris hukum (meliputi: eksekutif; legislatif; yudikatif) yg mempunyai wibawa (Macth Authority) yg berlaku dalam masyarakat dan dipatuhi sepenuh hati.
Definisi Hukum Adat Menurut Prof. Dr. Supomo, SH
Hukum adat adalah hukum yg tidak tertulis di dalam peraturan2x legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan2x hidup yg ditaati oleh masyarakat berdasarkan keyakinan bahwa peraturan tsb mempunyai kekuatan hukum.
Definisi Hukum Adat Menurut Soerojo Wignjodipoero
Hukum Adat adalah Suatu kompleks norma-norma yg bersumber pd perasaan keadilan rakyat yg selalu berkembang serta meliputi peraturan2x tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari2x, sebagian besar tdk tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat krn mempunyai akibat hukum (sanksi).
- UNSUR-UNSUR HUKUM ADAT:
- Unsur kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yg sama selalu dipatuhi oleh masyarakat.
- Unsur psikologis, adanya keyakinan pada rakyat bahwa adat dimaksud mempunyai kekuatan hukum.
- NILAI-NILAI UNIVERSAL/SIFAT UMUM HUKUM ADAT
- Asas gotong-royong
- Fungsi sosial manusia dan milik dalam masyarakat
- Asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum.
- Asas perwakilan dan permusyawaratan
- CORAK/SIFAT KHUSUS HUKUM ADAT
- Komunal/kebersamaan: artinya manusia merupakan mahluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat (kebiasaan tolong menolong,dsb.).
- Religio-magis: mempercayai dan menghormati Kekuatan luar biasa yg ada di luar manusia (upacara2 adat).
- Konkrit : pemikiran penataan serba nyata, satunya perkataan dengan perbuatan.
- Visual : perhubungan hukum hanya terjadi dgn adanya ikatan yg dapat dilihat tanda yg terlihat
- KEGUNAAN MEMPELAJARI HUKUM ADAT
- Menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
- Kesadaran akan harga diri semakin bertambah.
- Kesadaran terhadap kepribadian bangsa semakin tebal.
- Memberikan dasar corak tersendiri terhadap hukum nasional.
Ciri-ciri Hukum Adat Hukum Adat mempunyai kekhususan yang menjadi ciri-cirinya dan membedakannya dengan hukum lain, yaitu:
- Keagamaan Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, dan hal itu menjiwai hukum yang diciptakannya, yaitu Hukum Adat. Dalam perbuatan hukum seperti pembukaan tanah, perkawinan tampak jelas adanya sifat religius itu.
- Kebersamaan Berbeda dengan hukum barat yang berpusat pada individu, maka hukum adat berpusat kepada masyarakat. Kepentingan bersama lebih diutamakan, sedangkan kepentingan individu diliputi oleb kepentingan bersama (bermuatan publik). Hal itu dapat dilihat misalnya pada rumah gadang dan tanah pusaka di Minangkabau, tanah dati di Ambon, tanah Karang Desa dan Ayahan Desa di Bali. Namun demikian pengutamaan kepentingan bersama itu bukan berarti kepentingan perorangan diabaikan.
- Tradisional Kata "tradisional" berasal dari kata benda "tradisi" yang menurut Myror Wemwr berarti: "the biliefs andpracticies handed down from the past, as we reinterpret our past, the tradition change". Hukum Adat pada hakekatnya adalah tradisi juga, yaitu praktek kehidupan warga masyarakat dalam pergaulan hidup bermasyarakat yang dianggap benar oleh norma-norma yang diciptakannya sendiri dan diberi daya memaksa dengan sanksi bagi yang melanggarnya, norma yang dipraktekkan tersebut berasal dari warisan masa lalu yang selalu diperbaharui dengan diadakan reinterpretasi agar sesuai dengan tuntutan jaman dan keadaan serta perubahan masyarakat. Maka Hukum Adat yang tradisional itu tidak statis.
- Konkrit Sifat hubungan hukum dalam Hukum Adat adalah konkrit, artinya nyata, terang, dan tunai, tidak samar-samar, dapat dilihat, diketahui, disaksikan dan didengar orang lain, misalnya pada "ijab kabul", pemberian panjer dan peningset sebelum terjadinya jual beli dan perkawinan.
- Dinamis dan plastis Dinamis artinya dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman dan perubahan masyarakat, sedangkan plastis dapat menyesuaikan diri dengan keadaan.
- Tidak dikodifikasi Hukum Adat kebanyakan tidak tertulis, walaupun ada yang tertulis seperti awig-awig di Bali. Karena bentuknya yang tidak tertulis maka mudah berubah menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat jika mereka menginginkannya. g. Musyawarah dan Mufakat Hukum Adat mementingkan musyawarah dan mufakat dalam melakukan perbuatan dan hubungan hukum di dalam keluarga, kekerabatan dan masyarakat bahkan dalam penyelesaian sengketa. Hukum Adat, menurut Koesnoe, sebagai hukum rakyat pembuatnya rakyat sendiri, mengatur kehidupan mereka yang terus menerus berubah dan berkembang malalui keputusan-keputusan atau penyelesaian-penyelesaian yang dikeluarkan oleh masyarakat sebagai temu rasa dan temu pikir lewat musyawarah. Hal-hal lama yang tidak dipakai diubah atau ditinggalkan secara tidak mencolok. Ciri-ciri kebersamaan, tradisional, dinamis, plastis, tidak dikodifikasikan, musyawarah dan mufakat adalah saling berkaitan dan saling mendukung satu sama lain.
- SISTEM DAN DASAR BERLAKUNYA HUKUM ADAT
Sistem Hukum Adat Hukum yang berlaku pada masyarakat atau bangsa tertentu dapat dipastikan merupakan suatu sistem. Hal ini dikarenakan peraturan-peraturan yang berlaku pada suatu masyarakat umumnya merupakan kebulatan tekad berdasarkan atas kesatuan alam pikiran. masyarakat yang bersangkutan. Sistem Hukurn Adat bersendi atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, yang tentu saja tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum barat (Soepomo). Menurutnya antara sistem Hukum Adat dan Hukum Barat terdapat perbedaan yang fundamental; antara lain:
Hukum Barat mengenal "hak kebendaan" (zakelijkrechten), yaitu hak atas sesuatu barang yang berlaku terhadap setiap orang (misalnya hak milik, hak hipotik). Di samping itu, Hukum Barat juga mengenal "hak perorangan" (persoonlijkrechten), yaitu hak orang seorang atas suatu obyek yang hanya berlaku terhadap sesuatu orang lain yang tertentu (misalnya hak sewa, hak pakai). Berbeda dengan konsep itu, Hukum Adat tidak mengenal pembagian hak dalam dua golongan tersebut. Perlindungan hak-hak menurut Hukum Adat diserahkan ke tangan hakim. Jika terjadi sengketa , maka hakimlah yang diberi kewenangan untuk menimbang berat ringannya kepentingan hukum yang saling bertentangan dalam masyarakat yang bersangkutan.
Sistem Hukum Barat mengenal pembagian hukum menjadi "hukum publik", yaitu hukum yang mengatur kepentingan umum dan "hukum privat", yaitu hukum yang mengatur kepentingan khusus (perorangan/privat). Hukum publik dipertahankan oleh pemerintah dan hukum privat dipertahankan eksistensinya oleh para individu yang berkepentingan. Hukum Adat tidak mengenal pembagian hukum seperti di atas, jika akan dibedakan dalam Hukum Adat, maka pembedaan pada hukum ini akan didasarkan menurut obyek yang diaturnya, misalnya Hukum Tanah, Hukum Perkawinan, maupun Hukum Waris. Di dalam Hukum Adat hakhak perdata yang dipunyai seseorang mengandung muatan hak publik. Implikasi persoalan seperti ini mempengaruhi kepada pembidangan hukumnya. Dalam Hukum Tanah mis.alnya diatur tentang hak milik, suatu hak yang dipunyai oleh seorang individu tetapi di dalam hak itu terkandung juga mempunyai fungsi sosial (ada muatan publiknya). Individu menurut Hukum Adat adalah sebagai anggota masyarakat, tetapi jika tanah miliknya diperlukan oleh masyarakat seyogyanya mendapatkan ganti rugi yang sepadan atau bahkan lebih dari itu sebagai imbalan pengorbananya.
Dalam Hukum Barat dibedakan pelanggaran yang bersifat pidana sehingga hanya akan diperiksa oleh hakim pidana; dan pelanggaran yang bersifat perdata yang hanya akan diperiksa oleh hakim perdata. Menurut Hukum Adat apabila ada dua jenis pelanggaran (pidana dan perdata) yang dilanggar, maka pihak pelanggar aturan itu akan diperiksa dan diputus sekaligus dalam satu persidangan yang tidak terpisah. Dengan demikian diharapkan keseimbangan yang terganggu dalam kehidupan masyarakat dapat dipulihkan secara proporsional sekaligus.
Sistem accessie dan sistem pemisahan horisontal Hukum Barat (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) menerapkan sistem accessie atas kesatuan benda, yaitu benda tambahan atau pelengkap mengikuti (menjadi satu dengan) benda induknya. Dengan demikian suatu benda pokok dan benda-benda lain yang terletak atau tertanam pada benda tersebut (natrekking) secara otomatis menjadi satu kesatuan. Dalam Hukum Adat khususnya untuk benda-benda selain tanah diterapkan sistem accessie , sedangkan untuk benda yang berujud tanah dan benda-benda lain yang terletak atau tertanam pada tanah itu digunakan sistem pemisahan horisontal. Sistem Hukum Adat ini kemudian dipakai dalam UUPA, yaitu mengenai Hak Guna Bangunan (psl. 35), Hak Guna Usaha (psl. 28) maupun Hak Pakai seperti pada pasal 41 UU. No. 5 Tahun 1960.
Sistem common Law Berlainan dengan sistem hukum Eropa Kontinental, sistem hukum Inggris (Common Law) banyak persamaannya dengan Hukum Adat. Djojodigueno menyatakan:"dalam negara Anglo Saxon, di sana sistem common law tak lain dari sistem hukum adat, hanya bahannya berlainan. Dalam sistem Hukum Adat bahannya ialah hukum Inidonesia asli, sedang dalam sistem common law bahannya memuat banyak unsur-unsur hukum Romawi Kuno, yang konon katanya telah mengalami "Receptio in Complexu". Sistematika Hukum Adat mendekati hukum Inggris, yang tidak mengenai perbedaan antara hukum publik dan hukum privat, tidak membedakan antara hak kebendaan dan hak perorangan dan tidak membedakan antara perkara perdata dan perkara pidana (Hilman Hadikusuma). Hukum Inggris juga mengenai peradilan yang menyelesaikan perkara secara damai yang disebut Justice of the Peace,yang mirip dengan "peradilan adat" (peradilan desa/hakim perdamaian desa).
Sumber Hukum Adat Menurut MM. Djojodigueno ada dua kategori sumber hukum, yaitu:
- Kekuasaan pemerintah negara atau salah satu sendinya. Kekuasaan pemerintah sebagai sumber hukum dinyatakan dalam wujud sebagai berikut:
- Peraturan, yaitu pernyataan kekuasaan legeslatif (kekuasaan mengatur).
- Putusan Penjabat-penjabat kekuasaan negara lainnya, yaitu kekuasaan eksekutif (kekuasaan pelaksanaan) dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan mengadili). Yurisprudensi adalah pernyataan kekuasaan yudikatif.
- Perjanjian Internasional dan pernyataan perang serta segala tindakan untuk melaksanakan perang itu sendiri.
- Kekuasaan masyarakat sendiri
- Perbuatan rakyat sendiri dalam menyelenggarakan dan melaksanakan perhubungan pamrihnya, yang mungkin menebal menjadi adat kebiasaan.
- Putusan rakyat dalam peragaan yang tertentu, misalnya putusan Kamer van Koophandel, vereniging van assuradeuren, rukun kampung.rukun tetangga, perhimpunan kematian (perhimpunan sripah) dsb.
- Pemberontakan terhadap penguasa yang ada. Hukum Adat adalah hukum yang bersumber kepada 1b,c serta 2a-c. Selain itu pepatah adat juga dapat digunakan untuk mendapatkan sumber bagi berlakunya asas hukum. Misalnya, harta peninggalan pewaris yang tidak cukup untuk melunasi hutang kepada para kreditur, maka dibayar secara proporsional dengan menggunakan asas yang diambil dari pepatah adat: "Gadang agak berumpuk kecil agak bercacak" Put.usan Landraad Pariaman, 13-5-1937).
Dasar filosofis Hukum Adat
Adapun yang dimaksud dasar filosofis dari Hukum Adat adalah sebenarnya nilai-nilai dan sifat Hukum Adat itu sangat identik dan bahkan sudah terkandung dalam butir-butir Pancasila. Sebagai contoh, religio magis, gotong royong, musyawarah mufakat dan keadilan. Dengan demikian Pancasila merupakan kristalisasi dari Hukum Adat.
Dasar sosiologis Secara empiris berlakunya Hukum Adat di masyarakat telah diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat secara sukarela tanpa ada paksaan. Jadi Hukum Adat merupakan hukum yang hidup (the living law).
Dasar yuridis Pasal 75 lama RR alinea 3 menyebutkan: "kecuali jika ada pernyataan seperti dimaksud dalam alinea 2 atau kecuali dalam hal orang Bumi Putera secara sukarela menundukkan diri kepada perundang-undangan mengenai hukum kerakyatan dan hukum dagang Eropa maka diterapkan oleh hakim Bumi Putera peraturan keagaman, lembaga-lembaga rakyat, adat kebiasaan dari orang Bumi Putra dengan pembatasan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip kepatutan dan keadilan yang lazim diterima baik.
Pasal 131 ayat 2b IS yang berisi perintah kepada pembuat undang-undang untuk mengadakan kodifikasi hukum privat bagi golongan Bumi Putra dan Timur Asing. UUD 1945 tidak memuat satu pasalpun mengenai dasar yuridis berlakunya Hukum Adat.
Dalam ketentuan pasal II AP dikatakan bahwa "Segala Badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang beru menurut DUD ini. Pasal 1 ayat 2 UU Darurat nomor 1 Tahun 1951 menentukan bahwa secara berangsur-angsur akan ditentukan oleh mentri kehakiman, dihapuskan:
Segala peradilan Swapraja (Zelfbestuurs rectspraak) dalam negara Sumatera Timur, Kalimantan Barat, Negara Indonesia Timur, kecuali peradilan agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Swapraja.
Segala Peradilan Adat (Inheemse Rectspraak in rechtst&eks bestuur gebied) kecuali peradilan agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri menurut Hukum Adat. Pasal 1 ayat (3) UU tersebut memuat ketentuan bahwa Dorprechter (hakim desa) tetap dipertahankan. Peradilan yang dilakukan oleh hakim swapraja dan hakim adat telah dihapus dan diteruskan oleh hakim Pengadilan Negeri. Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, pasal 23 ayat (1) menyatakan bahwa hakim dalam mengadili perkara terutama yang berdasarkan Hukum Adat dalam setiap keputusannya dicantumkan alasan yang menjadi landasan hukum baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Selain itu dalam Pasal 27 ayat (1): "hakim sebagai penegak keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA diatur dalam pasal 2 ayat (4), Pasal 5, Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 56 UUPA. Pasal-pasal tersebut memberikan penjelasan yang berbeda-beda mengenai Hukum Adat sehingga timbul berbagai penafsiran. Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 35 dan 36 diatur mengenai harta perkawinan. Harta perkawinan meliputi harta bersama dan harta bawaan.
Pasal-pasal tersebut tidak menyebut istilah hukum adat tetapi pengaturannya sejalan dengan konsep harta perkawinan menurut hukum adat. Selain itu dalam Pasal 37 dinyatakan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Ini berarti membuka peluang bagi yang akan menggunakan hukum adat.
- PENGGOLONGAN RAKYAT DAN SEJARAH HUKUM ADAT
Penggolongan Rakyat Zaman Penjajahan Belanda Menurut ketentuan pasal 109 lama RR di Hindia Belanda ada 4 golongan rakyat yaitu: Golongan Eropa, Golongan Bumi Putra, golongan yang dipersamakan dengan golongan Eropa dan golongan yang dipersamakan dengan golongan Bumi Putra. Menurut ketentuan pasal 163 IS pada jaman penjajahan Belanda rakyat di Hindia Belanda dibedakan menjadi 3 golongan yaitu: Golongan Eropa, Timur Asing dan Bumi Putra.
- HAK ULAYAT DAN HAK PERORANGAN
1. Hak Ulayat
Pengertian hak ulayat ialah hak yang dipunyai oleh suatu suku (clan, genus, slam), sebuah serikat desa (dorpenbond) atau biasanya sebuah desa untuk menguasai seluruh seisinya dalam wilayah hukumnya.
Adapun ciri-ciri hak ulayat adalah :
- Hanya persekutuan hukum itu sendiri beserta para warganya yang berhak dengan bebas menggunakan tanah yang ada di wilayah persekutuan.
- Orang luar hanya boleh menggunakan tanah itu dengan ijin penguasa persekutuan.
- Warga persekutuan hukum boleh mengambil manfaat dari wilayah persekutuan dengan batasan hanya untuk keperluan keluarganya.
- Persekutuan hukum bertanggungjawab atas segala hal yang terjadi di Wilayahnya
- Hak ulayat tidak dapat diperalihkan dengan cara apapun juga
- Hak ulayat meliputi juga tanah yang sudah digarap, yang sudah diliputi oleh hak perorangan. Hak ulayat ini berlaku ke dalam dan berlaku keluar.
- Berlaku ke dalam berarti semua warga persekutuan sebagai kesatuan melakukan hak ulayat dengan memetik hasil dari tanah serta tanaman dan binatang di atasnya. Dalam hal ini dilakukan pembatasan terhadap kebebasan usaha atau kebebasan gerak warga persekutuan sebagai perorangan untuk kepentingan persekutuan.
- Berlaku ke luar berarti bukan warga persekutuan tidak diperbolehkan turut menikmati hasil tanah nyang merupakan wilayah persekutuan kecuali telah membayar pancang (Jawa: mesi; Aceh: uang pemasukan). Adapun obyek hak ulayat meliputi tanah/daratan, air/perairan seperti sungai, danau, pantai beserta perairannya, tumbuh-tumbuhan yang hidup liar dan binatang yang hidup liar.
2. Hubungan Hak Ulayat dan Hak Perorangan
Dalam hubungan hak ulayat dengan hak perorangan terdapat hubungan saling pengaruh mempengaruhi. Pada kaitan ini bersifat mengembang dan mengempis. Artinya semakin kuat hak perorangan akan semakin lemah hak ulayatnya, demikian sebaliknya jika semakin kuat hak ulayat maka akan
semakin lemah hak perorangannya.
Kedudukan Hukum Adat, hak ulayat dalam Hukum Pertanahan Nasional adalah sebagai berikut:
- Hukum Adat sebagai dasar terbentuknya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).
- Hak ulayat diakui keberadaannya dalam UUPA, yaitu pada pasal 3 sepanjang hak ulayat itu masih ada Warga persekutuan yang mempunyai ciri sebagaimana yang tercantum pada huruf a, hak ulayat ditingkatkan menjadi hak WNI. Tujuan ciri seperti huruf c, dipakai sebagai dasar penenjuan pemilikan minimal atau maksimal tanah pertanian dalam UU Nomor: 56 Prp 1960.