KEDOKTERAN FORENSIK SEBAGAI ILMU DAN PROFESI
|
KEDOKTERAN FORENSIK SEBAGAI ILMU DAN PROFESI
Ilmu kedokteran forensik adalah salah satu cabang spesialistik ilmu kedokteran yang memanfaatkan limu kedokteran untuk membantu penegakan hukum dan masalah-masalah di bidang hukum. Pada mulanya imu kedokteran forensik hanya diperuntukkan bagi kepentingan peradilan, namun perkembangan jaman mengakibatkan pemanfaatannya juga di bidang-bidang yang bukan untuk peradilan.Oleh karena merupakan cabang spesialistik dari ilmu kedokteran, maka paradigma ilmiah dasarya tetaplah paradigma kedokteran, demikian pula dasar-dasar metodologi ilmiahnya. Imu ini bersifat universal, tidak dibatasi oleh geografl dan budaya, namun seperti halnya dengan limu kedokteran pada umumnya, sebagian fenomena tertentu dalam ilmu kedokteran forensik juga dipengaruhi oleh antropologi setempat Perkembangan ilmu kedokteran forensik di dunia juga merupakan perkembangan di tingkat nasional, demilkian pula sebaliknya. Sedangkan penerapan perkembangan itu sendiri di tingkat nasonal dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kelengkapan fasilitas, kemampuan finansil, sumber daya dan konformitas dengan hukum.
Imu pengetahuan dan teknologi yang digunakan untuk kepentingan peradilan tidak hanya ilmu kedokteran, melainkan juga imu-ilmu lainnya, baik ilmu-ilmu dasar (basic sciences) maupun ilmu-ilmu perilaku (behavioural scences). Imu fisika dan teknik banyak berperan dalam perkembangan ilmu balistik; ilmu kimia dan farmasi berperan dalam toksikologi, penyelidikan kebakaran, dan bahan peledak; biologi molekuler. berjasa di bidang identifikasi melalui DNA profiling, ilmu psikiatri dan psikologi banyak berperan dalam mencari profil pelaku .dan motif tindak pidana yang dilakukannya, dan lain-lain. Imu-ilmu forensik ini saling berkaitan dan saling isi dalam jelas suatu perkara.
Penyelenggaraan pelayanan forensik di bidang kedokteran forensik dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Negeri atau oleh rumah sakit. Tidak ada pemeriksaan kedokteran forensik dilakukan oleh pihak penyidik. Keadaan seperti ini berlaku di semua negara di dunia, dengan menganggap bahwa institusi-intitusi tersebut dapat diharapkan akan bersikap obyektif dan impartial, serta dipandang impartial oleh masyarakat.
Sementara itu penyelenggaraan pelayanan forensik di bidang ilmu-ilmu forensik lainnya dilaksanakan oleh kepolisian atau oleh pusat pelayanan kedokteran fprensik di atas. Di beberapa negara liberal diberikan juga kesempatan melakukan pemeriksaan di bidang ini oleh laboratorium forensik swasta yang telah diakreditasi.
SEJARAH KEDOKTERAN FORENSIK
Sejarah kedokteran forensik adalah pertama-tama diawali Dalam sejarah Mesir 2980 -2900 sebelum Masehí telah ada ahli medikolegal pertama, yaitu Imhotep, yang merupakan dokter sekaligus hakim bagi Pharaoh Zoser. Imu kedokteran forensik juga telah dikenal di zaman Babilonia, yang mencatat ketentuan bahwa dokter saat itu mempunyali kewajiban untuk memberi kesembuhan pasiennrya dengan ketentuan hukuman bagi dokter yang melakukan pengobatan yang tidak tepat dan ganti nugi bila mengakibatkan cedera, yang tertuang dalam Code of Hammurab (1700 SM) dan Code of the Hitites (1400SM).Pada tahun 44 SM telah dilakukan pemeriksaan medis pertama atas jenasah Julius Caesar untuk kepentingan publik. Anthitius, sang dokter Romawi kuno; menyatakan bahwa dari 21 luka yang ditemukan pada tubuh Julius Caecar hanya satu luka saja yang menembus sela iga ke-2 sisi kiri depan yang merupakan luka yang mematikan, di dalam suatu Forum, semacam Instiuisi peradilan pada waktu iu. Konon berasal dari kata Forum inilah nama Forensik dibuat.
Pada tahun 600 M telah ditulis tulisan medikolegal pertama di Cina, yang disebut Ming Yuang Shih Lu, dan pada tahun antara 1241 -1253 M diterbitkan suatu baku petunjuk penyelidikan "kematian yang mencurigakan" di Cina yang terjemaharm judulnya adalah Record of Washing Away of Wrongs"
Autopsi medikolegal pertama kali dilakukan di Bologna pada tahun 1302 dan sidik jari mulai diperkenalkan pada tahun 1823. Selanjutnya, pada abad 18 dan 19 sangat terasa perkembangan imu kedokteran forensik d dunia, terutama di Eropa, baik di bidang pelayanan maupun d bidang pendidikan. Patologi forensik sebagai spesialisasi kedokteran baru dimunculkan pada tahun 1958.
Di Indonesia, ilmu kedokteran forensik sudah mulai dikembangkan pada masa-masa akhir kolonial Belanda di Jakarta dan di Surabaya. Sebuah buku tentang kedokteran forensik diterbitkan olehseorang dokter Belanda di Jakarta pada akhir abad ke 19. Setelah dokter-dokter Belanda kembali ke negerinya, perkembangan kedokteran forensik di Indonesia berjalan agak lambat. Baru kemudian pada tahun 1970-an bidang ini mulai diangkat dan dapat mensejajarkan dirinya sebagai cabang spesialistik kedokteran pada tahun 1980-an. Saat ini terdapat setidaknya 70 orang dokter forensik di Indonesia yang bekerja di 15 kota dalam 11 propinsi yaitu di Medan, Padang Palembang, Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang, Jogjakarta, Solo, Malang, Surabaya, Denpasar, Ujung Pandang atau Makasar, Manado. Sementara itu laboratorium forensik Polri yang berpusat di Jakarta, telah memiliki cabang di empat kota besar, yaitu di Semarang, Surabaya, Medan, dan Ujung Pandang.
PRINSIP KERJA KEDOKTERAN FORENSIK
Prinsip kerja kedokteran forensik adalah yang mengenai Sumpah Hippocrates, sebagai dasar dari sumpah dokter, memuat banyak hal yang bersifat larangan. Dokter yang hippocrates bersumpah untuk tidak meracuni pasien meskipun diminta sendiri oleh pasien tersebut, tidak melakukan pengguguran kandungan, tidak membuka rahasia pasien meskipun diminta oleh penguasa. Sumpah yang berifat negasi ini penting untuk melindungi karakter dari pelaku profesi, bahwa ia bukanlah alatnya pasien yang tidak dapat berpikir, yang. dapat menggunakan ilmu pengetahuannya untuk kepentingan pasien tanpa batasan moral. Sikap ini jelas menunjukkan bahwa dokter tidak mau melakukan perbuatan yang tidak bermoral atau tndakan yang di bawah standar.Kebutuhan akan kebebasan membuat keputusan profesional ini sangat esensial bagi praktek kedokteran pada umumnya, dan terutama bagi dokter forensik. Dokter forensik tidak pemah menjadi advokat dalam memberikan keahliannya, ia tetap obyektif ilmiah dan tidak memihak (impartial). Apabila ia menerima imbalan finansial dari salah satu pihak, baik pihak penyidik atau penuntut umum maupun pihak terdakwa atau pembelanya, tidak berarti bahwa ia akan 'memberikan keterangan yang menguntungkan bagi pihak yang membayarnya'. Imbalan tesebut adalah hak bagi dokter tersebut untuk persiapan, pemeriksaan dan waktu yang digunakan untuk itu, namun bukan untuk membayar pendapatnya.
Sikap impartialitas tersebut Tidak hanya harus ditunjukkan di sidang pengadilan, namun juga pada tahap penyidikan dan penuntutan jika media masa memberikan tekanan keras kepada dokter untuk mau diwawancarai. Due process of law dan keterbukaan membutuhkan kemampuan menahan diri dalam berhubungan dengan pers dan pihak lain yang mungkin memberikan infomasi tersebut ke media masa. Adelson (1974) menganjurkan agar dokter forensik tidak bicara terlalu banyak, bicara terlalu dini, dan bicara dengan orang yang salah.
Sebagai dokter, dokter forensik juga tetap terikat oleh etika kedokteran. Perbedaan dokter forensik dengan dokter klinik pada umumnya adalah bahwa dalam hal ia memeriksa korban mati (jenasah) untuk kepentingan peradilan, maka hubungan hukum antara dokter dengan pasien tidak terjadi. Atau berartü bahwa hak-hak pasien pun tidak ada dan kewajiban dokter terhadap pasien juga tidak ada. Namun demikian tidak berari bahwa dokter forensik menjadi bebas dan dapat berlaku sewenang-wenang. Sebagai dokter yang melakukan pekerjaan di bidang kedokteran, ia tetap harus mengikuti etika kedokteran dan standar perilaku profesi kedokteran. Demikian pula ia harus mematuhi peraturan perundangundangan yang berlaku dalam kaitannya dengan pemeriksaan barang bukti. Korban mati memang tidak memiliki hak untuk memilih pemeriksaan atau menolak suatu pemeriksaan yang direncanakan oleh dokter forensik, tetapi hukum tetap melindungnya dengan mengharuskan kepada penyidik untuk mèmberitahukan rencana pemeriksaan kepada keluarganya dan memberikan waktu "berpikir hingga dua hari (lihat pasal 134 KUHAP). Oleh karena dokter forensik masih bekerja di bidang kedokteran, maka ia juga wajib menyimpan rahasia tentang apa yang diketahuinya selama pemeriksaan, sebagaimana diatur dalam Peraturan- Pemerintah No 10 tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran.
Dalam mengajukan pendapat keahliannya, seorang dokter forensik juga harus mengikuti batas-batas kemampuan ilmu kedokteran (reasonable medical certainty). la hanya diperkenankan membuat pernyataan yang dapat dibenarkan oleh ilmu pengetahuan kedokteran forensik, dan tidak boleh masuk ke bidang yang bukan bidang pengetahuannya. Seorang dokter forensik misalnya, tidak boleh menyatakan bahwa telah terjadi penganiayaan atau pemerkosaan pada seseorang yang diperiksanya oleh karena kedua kata tersebut adalah terminologi hukum, atau menyatakan sesuatu yang bukan merupakan kewenangan pihaknya, seperti meyebutkan dugaan identitas pelaku tindak pidana. Dalam hal kepastian tidak dapat diperoleh melalui pemeriksaan yang dilakukannya, maka ia harus memberikan diferensial diagnosisnya atau alternatif-altermatif yang mungkin. Seorang dokter forensik tidak boleh mengambil kesimpulan dari data yang tidak adekuat.
American Academy of Forensic Sciences (AAFS) mengajukan kode etik yang berlaku umum, yang terdiri dari dua bagian. Bagian pertama merupakan bagian yang mengikat bagi anggota Academy, yaitu:
- Setiap anggota AAFS harus menghindari "any material misrepresentation" dari latihan, pengalaman atau bidang keahliannya.
- Setiap anggcta AAFS harus menghindari "any material misrepresentation" dari data yang digunakannya sebagai dasar dalam membuat pendapat atau kesimpulannya.
Esensi dari kedua prinsip di atas adalah tentang kebenaran (truthfulness), suatu hal pokok dari setiap ilmu pengetahuan. Ada hal yang dapat dipandang aneh pada butir kedua di atas, bahwa keharusan berpijak kepada -kebenaran hanyalah pada "data" saja, sedangkan "pendapat" seoeh-elah dapat saja disimpangkan. Ketentuan ini sebenarnya hanyalah memtberikan keleluasaan bagi ahli untuk berpendapat berdasarkan keilr;nuan yang dimilikinya, berdasarkan kepada data tersaji yang benar. Dua ahli dapat saja memberikan dua pendapat yang berbeda meskipun berasal dari data yang sama, namun mereka harus mendasarkan pendapatnya kepada prinsip-prinsip ilmiah yang telah diterima secara umum di kalangan ilmiahnya dan dapat membuktikan kebenarannya. Démikian pula bukanlah sesuatu yang mustahil untuk ménmbuktikan bahwa sesuatu pendapat adalah tidak benar. Bagian kedua standar etika AAFS adalah garis besar sikap perilaku yang harus dimiliki oleh para ahli forensik, yaitu:
- Memelilhara kompetensi profesionalnya melalui program pendidikan berkelanjutan.
- Membuat pemyataan-pernyataan yang secara teknis benar di dalam semua laporan tertulisnya, laporan lisannya, pernyataan kepada masyarakat dan publikasinya, .dan harus menghindari pernyataan yang membiaskan atau tidak akurat.
- Bersikap dan berperilaku yang impartial dan tidak melakukan sesuatu yang menunjukkan keberpihakan, melainkan hanyanmembuktikan sesuatu fakta dan interpretasinya yang benar. Meskipun standar etik tersebut di atas adalah milik AAFS, namun oleh karena wacana etika kedokteran itu bersifat universal dan oleh karena standar etik tersebut bersifat garis besar saja, maka dapat dikatakan bahwa standar etika tersebut dapat pula diterapkan di Indonesia.