DEMONSTRAN YANG MELAKUKAN TINDAKAN MERUSAK FASILITAS PUBLIK


    BEBERAPA PENGERTIAN YANG MENYANGKUT DEMONSTRAN YANG MELAKUKAN TINDAKAN MERUSAK FASILITAS PUBLIK
    Demonstran

    DEMONSTRAN YANG MELAKUKAN TINDAKAN MERUSAK FASILITAS PUBLIK

    A.  Pengertian Demonstran

    Menurut pandangan beberapa tokoh tentang pengertian demokrasi secara teminologis (istilah) dalam A.S. Ma’arif, yaitu: Pertama, Joseph A. Schmeter, demokrasi merupakan perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Kedua, Sidney  Hook, demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat. Ketiga,  Pilippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl, demokrasi sebagai sistem pemerintahan di mana pemerintah diminta tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka yang telah dipilih.[1] Demonstrasi pada umumnya dikenal dengan nama sebagai aksi massa yang memperjuangkan tentang hal-hal tertentu, baik yang mendukung ataupun menolak.


    Penulis mengutip pendapat Kaelan dalam Darji Darmadiharjo yang menjelaskan bahwa, “kata demonstrasi berasal dari saduran frasa bahasa Yunani, δεμοσKρατειν (demoskratein). Δεµoȿ berarti rakyat, dan Xρατειν berarti pemerintahan. Jadi, menurut bahasa asalnya, Demokrasi  adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat. Pemerintahan dijalankan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.[2] Sehingga demokrasi secara etimologi diartikan sebagai pemerintahan rakyat, yaitu keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat, dan kekuasaan oleh rakyat, atau yang kini lebih kita  kenal sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.


    Pengertian ini dapat dipahami bahwa gerakan atau aksi yang dilakukan adalah untuk menunjukkan sikap yang menolak dengan memberikap pengaruh melalui penekanan dalam aksi untuk menyampaikan pendapat. Demonstrasi merupakan alternatif dalam menanggapi kebijakan pemerintah yang dinilai tidak menggutungkan kehidupan bersama. Dengan berbagai format atau metode sendiri masyarakat mencoba mempresentasi hak idealnya kepada pemerintah. Dengan melakukan diplomasi dengan pemerintah metode ini digunakan sebelum aksi demonstrasi. Diplomasi adalah suatu cara yang digunakan untuk menyampaikan aspirasi, argumentasi dan solusi kepada pemerintah secara langsung tanpa peragaan seperti demonstrasi. Dalam diplomasi aspirasi disampaikan tidak secara terang-terangan di depan umum namun antara seorang delegasi dengan pemerintah di suatu tempat tanpa tema tertentu. Oleh karena itu, demonstrasi merupakan suatu hal yang lebih bersifat reaktif dari pada sebuah upaya sistematis dan proaktif untuk perbaikan bangsa.

    Jadi kata dasar demonstrasi tersebut diambil dari pengertian demokrasi sebagai bentuk dari penyampaian suara rakyat kepada suatu lembaga, dinas, pemerintahan atau negara. Selanjutnya, penulis mengutip pendapat Saldi Isra yang menjelaskan bahwa, “Pengertian demonstrasi atau unjuk rasa atau demonstrasi (demo) adalah sebuah gerakan protes yang dilakukan sekumpulan orang di hadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok penentang kebijakan atau dapat pula dilakukan sebagai sebuah upaya penekanan secara politik dari kepentingan suatu kelompok”.[3]


    Dengan demikian, maka meneguhkan egalitarianisme dan kesantunan politik yang pada intinya bahwa demokrasi dapat dijalankan dengan demokratisasi, termasuk di dalamnya demonstrasi. Oleh karena itu, maka demokrasi berkaitan erat dengan demontrasi. Mengutip pendapat Nurcholis Madjid dalam Muhari yang mengatakan bahwa, “Nilai demokrasi yang  abstrak menjadi lebih aplikatif untuk mempermudah dijabarkan serta diterapkan dalam kehidupan sosial-politik Indonesia sebagai tegaknya demokratisasi di Indonesia.[4]


    Demonstrasi memiliki banyak definisi dan pengertian yang berbeda-beda jika diteliti dari sudut pandang yang berbeda. Demonstrasi dapat diartikan sebagai suatu aksi peragaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk menunjukkan cara kerja, cara pembuatan, maupun cara pakai suatu alat, material, atau obat jika ditilik dari sudut pandang perdagangan maupun sains. Akan tetapi di sini kami menggunakan definisi demonstrasi dalam konteksnya sebagai salah satu jalur yang ditempuh untuk menyuarakan pendapat, dukungan, maupun kritikan, yaitu suatu tindakan  untuk menyampaikan penolakan, kritik, saran, ketidakberpihakan, dan ketidaksetujuan melalui berbagai cara dan media dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan baik secara tertulis maupun tidak tertulis sebagai akumulasi suara bersama tanpa dipengaruhi oleh kepentingan pribagi maupun golongan yang menyesatkan dalam rangka mewujudkan demokrasi yang bermuara pada keadaulatan dan keadilan rakyat.


    Menurut UU Nomor 9 Tahun 1998, pengertian demonstrasi atau unjuk rasa adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih, untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara  demonstratif dimuka umum.[5]


    Dasar hukum pelaksanaan aksi demokrasi dapat ditemui dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang lain sebagai berikut :

    1.        Undang-Undang Dasar NRI 1945

    Pasal 28, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.

     

    Pasal 28 E

    a.    Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

    b.    Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

     

    2.        Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

    Pasal 19, “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat; hak ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada suatu pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa memandang batas-batas wilayah”.

     

    3.        Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

    Pasal 23, (2) “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.

    Pasal 25, “Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

     

    4.        Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik

    Pasal 19

     

    a.    Setiap orang berhak untuk mempunyai pendapat tanpa diganggu.

    b.    Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide apapun, tanpa memperhatikan medianya, baik  secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, dalam pilihannya.

     

    Untuk melaksanakan aksi demostrasi sebagaimana tersebut di atas, pemerintah telah mengeluarkan tata cara demonstrasi tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka  Umum.


    Adapun tata cara penyampaian pendapat dimuka umum diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 yang termuat dalam pasal pasal sebagai berikut :

    Pasa19

    1)        Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan a. unjuk rasa atau demonstrasi; b. pawai; c. rapat umum; dan atau d. mimbar bebas.

    2)        Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan di tempat-tempat terbuka untuk umum, kecuali :

     

    a.    di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional; b. pada hari besar nasional.     

     

    3)        Pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang membawa benda benda yang dapat membahayakan keselamatan umum.

     

    Pasal 10

    1)        Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri.

    2)        Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau penanggung jawab kelompok.

    3)        Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat.

    4)        Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak

    4)berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.

     

    Pasal 11

     

    Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) memuat : a. maksud dan tujuan; b. tempat, lokasi, dan rute; c. waktu dan lama; d.  bentuk; e. penanggung jawab; f. nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan; g. alat peraga yang dipergunakan; dan atau h. jumlah peserta.

     

    Pasal 12

     

    1)        Penanggung jawab kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9, dan Pasal 11 wajib bertanggung jawab agar kegiatan tersebut terlaksana secara aman, tertib, dan damai.

    2)        Setiap sampai 100 (seratus) orang pelaku atau peserta unjuk rasa atau demonstrasi dan pawai harus ada seorang sampai dengan 5 (lima) orang penanggung jawab.

     

    Pasal 13

    1)        Setelah menerima surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Polri wajib :

    a. segera memberikan surat tanda terima pemberitahuan; b. berkoordinasi dengan penanggung jawab penyampaian pendapat di muka umum; c. berkoordinasi dengan pimpinan instansi/lembaga yang akan menjadi tujuan penyampaian pendapat; d. mempersiapkan pengamanan tempat, lokasi, dan rute.

    2)     Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum.

    3)      Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku.

     

    Pasal 14

    Pembatalan pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum disampaikan secara tertulis dan langsung oleh penanggung jawab kepada Polri selambat-lambatnya 24 (dua puluh empat) jam sebelum waktu pelaksanaan.

     

    Selain tata cara menyampaikan pendapat dimuka umum sebagaimana diatur dalam peraturan tersebut di atas diatur pula sanksi bagi yang melanggar,  sebagaimana dalam pasal-pasal sebagai berikut :

    Pasal 15

    Pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum dapat dibubarkan apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 10, dan Pasal 11.

     

    Pasal 16

     

    Pelaku atau peserta pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan perbuatan melanggar hukum, dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

     

    Pasal 17

     

    Penanggung jawab pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang- undang ini dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku ditambah dengan 1/3 (satu per tiga) dari pidana pokok.

     

    Pasal 18

    (1)     Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 1(satu) tahun.

    (2)     Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan.

     

    Setelah memenuhi ketentuan tersebut di atas maka pihak yang melakukan demonstrasi diperkenankan untuk melakukan aksinya. Sebagaimana yang diinginkannya, seperti unjuk rasa, long march.


    Unjuk rasa atau demonstrasi, “demo” adalah sebuah gerakan protes yang dilakukan sekumpulan orang di hadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau penentang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak atau dapat pula dilakukan sebagai sebuah upaya penekanan secara politik oleh kepentingan kelompok Unjuk rasa umumnya dilakukan oleh sekelompok orang yang menentang kebijakan pemerintah, atau para buruh yang tidak puas dengan perlakuan majikannya. Unjuk rasa kadang dapat menyebabkan pengerusakan terhadap benda-benda dan fasiltas umum. Hal ini dapat terjadi akibat keinginan menunjukkan pendapat para pengunjuk rasa yang berlebihan (Wikipedia, Ensiklopedia Bebas).


    Namun, dalam perkembangannya sekarang, demonstrasi kadang diartikan sempit sebagai long-march, berteriak-teriak, membakar ban, dan aksi teatrikal. Persepsi masyarakat pun menjadi semakin buruk terhadap demonstrasi karena tindakan pelaku-pelakunya yang meresahkan dan mengabaikan makna sebenarnya dari demonstrasi.


    Dengan demikian, maka kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia.


    Berdasarkan uraian tersebut di atas maka makna demonstrasi mempunyai arti penting Yaitu:

    1. Kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab dimaksudkan untuk mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945;
    2. Kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab dimaksudkan untuk mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat;
    3. Kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab dimaksudkan untuk mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi;
    4. Kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab dimaksudkan untuk menempatkan tanggung jawab sosial kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.

     

    Dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum telah menjamin hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat sebagaimana yang diatur dalam konstitusi dan Deklarasi Hak Asasi Manusia yang berlandaskan pada hal-hal sebagai berikut :

    1.        Asas keseimbangan antara hak dan kewajiban,

    2.        Asas musyawarah dan mufakat,

    3.        Asas kepastian hukum dan keadilan,

    4.        Asas proporsionalitas, dan

    5.        Asas manfaat[6]

    Selain itu diatur pula hak dan kewajiban warga negara dalam menyampaikan pendapat dimuka umum sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undangan No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum.

    Adapun warga negara yang menyampaikan pendapat dimuka berhak untuk :

    a.    mengeluarkan pikiran secara bebas;

    b.    memperoleh perlindungan hukum.[7]

    Sedangkan warga negara yang menyampaikan pendapat dimuka umum berkewajiban dan bertanggungjawab untuk :

    a. menghormati hak-hak orang lain;

    b.  menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum;

    c. menaati hukum dan ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku;

    d.menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan

    e. menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.[8]


    Dalam pelaksanaan pendapat dimuka umum oleh warga negara, aparatur pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab untuk :

    a.         melindungi hak asasi manusia;

    b.        menghargai asas legalitas;

    c.         menghargai prinsip praduga tidak bersalah; dan

    d.        menyelenggarakan pengamanan.[9]


    Dari uraian tersebut di atas nampak baik warga negara maupun                 aparatur pemerintah mempunyai kewajiban agar pelaksanaan demonstrasi dapat berlangsung sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku bahkan masyarakat berperan serta secara bertanggungjawab untuk berupaya agar penyampaian pendapat dimuka umum dapat berlangsung secara aman, tertib, dan damai.


    Jadi peraturan ini mencakup warga negara, aparatur pemerintah, dan masyarakat, untuk menaati dan melaksanakan Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum.


    B.  Pengertian Perilaku Anarkis

    Sebelum mengetahui makna prilaku anarkia kita perlu mengetahui       makna dari prilaku dan juga makna anarkisme. Perilaku merupakan aktifitas yang di lakukan manusia dengan motif dan tujuan tertentu. Perilaku yang dilakukan oleh manusia bisa dipengaruhi faktor dari dalam serta faktor dari luar diri manusia. Baik buruknya perilaku ditentukan oleh baik atau buruknya faktor yang mempegaruhinya. Baik buruknya perilaku juga di pengaruhi kondisi fikiran seseorang ketika dia sedang menampilkan perilaku tersebut. Jadi prilaku manusia akan muncul sebagai hasil atau realisasi dari apa yang ada dalam fikiran manusia dengan motif dan tujuan tertentu.[10]


    Perilaku manusia adalah suatu aktivitas manusia itu sendiri, Secara operasional, perilaku dapat diartikan suatu respons organisme atau seseorang terhadap rangsangan dari luar subjek tersebut. Perilaku juga bisa diartikan sebagai suatu aksi-reaksi organisme terhadap lingkungannya. Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan. Berarti rangsangan tertentu akan menghasillcan reaksi atau Perilaku tertentu.


    Selanjutnya Kata anarki adalah sebuah kata serapan dari anarchy  (bahasa Inggris) dan anarchie (Belanda/Jerman/Perancis), yang juga    mengambil dari kata Yunani anarchos/anarchia. Ini merupakan kata bentukan   a (tidak/tanpa/nihil) yang disisipi n dengan archos/ archia (pemerintah/kekuasaan). Anarchos/anarchia = tanpa pemerintahan. Sedangkan Anarkis berarti orang yang mempercayai dan menganut anarki. Indonesia memiliki banyak komunitas anarkis yang benar benar hidup dan eksistensinya memang ada, pengertian anarki di Indonesia masihlah amat sempit di  akibatkan pembodohan pemerintahannya yang tidak mau tersaingi dan mempengaruhi semua elemen masyarakat dengan pembohongan publik tentang apa sebenarnya anarki itu.”[11]


    Di seluruh dunia, jumlah anarkis cukup banyak karena keberadaan mereka sudah lebih duaa abad. Pluralitas pandangan tak bisa dihindari. Meski demikian, garis merah anarkisme konsisten dan prinsip terfundamentalnya transparan. Maka ia mudah ditelusuri, sebab hakikat anarki itu cuma menyangkut empat garis merah berikut.

    1.        anarki adalah perindu kebebasan martabat individu. Ia menolak segala bentuk penindasan. Jika penindas itu kebetulan pemerintah, ia memilih masyarakat tanpa pemerintah. Jadi, anarki sejatinya bumi utopis yang dihuni individu-individu yang ogah memiliki pemerintahan.

    2.        konsekuensi butir pertama adalah, anarki lalu antihirarki. Sebab hirarki selalu berupa struktur organisasi dengan otoritas yang mendasari cara penguasaan yang menindas. Bukannya hirarki yang jadi target perlawanan, melainkan penindasan yang menjadi karakter dalam otoritas hirarki tersebut.

    3.        anarkisme adalah paham hidup yang mencita-citakan sebuah kaum tanpa hirarki secara sospolekbud yang bisa hidup berdampingan secara damai dengan semua kaum lain dalam suatu sistem sosial. Ia memberi nilai tambah, sebab memaksimalkan kebebasan individual dan kesetaraan antar individu berdasarkan kerjasama sukarela antar individu atau grup dalam masyarakat.

    4.        tiga butir di atas adalah konsekuensi logis mereaksi fakta sejarah yang telah membuktikan, kemerdekaan tanpa persamaan cuma berarti kemerdekaan para penguasa, dan persamaan tanpa kemerdekaan cuma berarti perbudakan.[12]


    Dalam perkembangannya sikap anarki di atas menentang tujuh isme dan kondisi yang menghambat cita-citanya sebagai berikut :

    1.        melawan kapitalisme - biang diskriminasi ekonomis ialah selalu berujung pada privilese lapisan atas. Kaum anarkis, sebagai bagian sirkuit masyarakat lapisan bawah, yakin bisa melakukan banyak hal secara independen.    

    2.        melawan rasisme. Kaum anarkis menandaskan semua bangsa, ras, warna kulit, dan golongan adalah sederajat.

    3.        melawan sexisme. Kaum anarkis menganggap semua jenis seks: wanita, pria, dan bahkan di luar dua jenis seks itu, memiliki hak yang sama atas apapun.

    4.        melawan fasisme atau supranasionalis. Kaum anarkis beranggapan tak ada bangsa yang melebihi bangsa lain. Semua setaraf dalam perbedaannya.

    5.        melawan xenophobia - ketakutan dan kebencian apriori pada hal baru atau asing. Kaum anarkis melawannya sebab xenophobia bisa berkembang jadi fasisme ialah anti terhadap dan menganggap buruk semua hal dari luar.

    6.        melawan perusakan lingkungan, habitat dan segala bentuk perusakan dan atau tindakan kekerasan terhadap semua makhluk hidup. Maka kaum anarkis menentang segala bentuk percobaan dengan hewan. Itu berarti sewenang-wenang terhadap kehidupan. Padahal, kehidupan tak bisa diciptakan manusia, harus dihargai. Maka banyak kaum anarkis yang hidup vegetarian.

    7.        melawan perang dan 1.001 sumber, alat dan perkakasnya, misalnya militerisme. Bagi kaum anarkis, segala bentuk kekerasan atau penghancuran kehidupan adalah nista. Perang adalah sesuatu hal yang sangat tidak berguna bagi dunia dan penghuninya. Maka segala sumbernya harus segera dihapuskan.


    Tindakan anarkis masyarakat Indonesia kita temui juga dalam demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia dalam  mengemukakan pendapat dimuka umum, seperti demo menolak kenaikan harga BBM.


    Seperti yang kita ketahui dan kita lihat sampai saat ini tindakan anarkis sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Tindakan anarkis adalah tindakan semena-mena yang dilakukan menggunakan kekerasan terhadap kelompok  atau seseorang yang melakukan tindak kejahatan. Tindakan anarkis ini bisa berupa pemukulan, pengeroyokan, serta pengrusakan fasilitas umum.


    Setiap masyarakat Indonesia berhak menyampaikan aspirasinya dengan cara yang benar. Kita boleh memberikan aspirasi seperti melakukan  demo namun hanya saja masih dalam konteks yang benar yang tidak berujung  peda tindakan anarkis yang bisa menyebabkan kerugian pada negara. Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang melakukan tindakan anarkis antara lain:

    1. Aspirasi mereka yang tidak pemah ditanggapi.
    2. Ada seseorang dari massa tersebut yang memprovokator aksi tersebut sehingga menimbulkan amarah dari masa, kericuhan dan berujung tindakan anarkis.
    3. Sudah menjadi sisi lain yang tidak baik dari budaya kekerasan atau kebiasaan yang tidak baik didalam masyarakat Indonesia.


    Berikut ini ada beberapa contoh tindakan main hakim massa yang berujung anarkis :

    -            Minggu, 31 Maret 2013, diduga dalam Pilkada Palopo didalangi tindak kecurangan oknum tertentu, kantor Golkar Palopo dibakar oknum tertentu. Selain itu, ruangan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kantor Wali Kota Palopo, dan dua kendaraan dinas yang terparkir di halaman kantor tersebut juga dibakar massa. Belum berhenti di kantor tersebut, kantor Camat Wara Timur Palopo dan Kantor Pos Palopo juga dibakar massa yang diduga pendukung kandidat tertentu. (kompas.com).

     

    -            Rabu, 23 Oktober 2013, Diberitakan sebelumnya, Massa melakukan aksi unjuk rasa kepada Otorita Batam terkait lahan seluas 108 hektare yang sebagian besar diklaim milik PT Cahaya Dinamika. Otorita Batam menyebut dari luas tersebut, milik warga hanya 24 hektare. Aksi unjuk rasa ribuan warga yang berujung bentrok dimulai dengan massa yang melakukan perusakan sejumlah fasilitas umum, warga melempari polisi dengan batu, sementara polisi terpaksa menembakkan gas air mata ke kerumunan massa serta melepaskan tembakan peringatan ke udara. Bentrok tersebut mengakibatkan beberapa orang luka dan dua unit mobil rusak digulingkan massa. (okezone. com)

     

    -            Minggu, 3 November 2013 yang lalu, sopir kopaja jurusan Senen - Lebak Bulus diamuk massa karena menabrak seorang wanita dijalur busway. Selain sopir, kondektur bus juga diamuk oleh massa. Kaca kopaja dipecah dan langsung digulingkan oleh warga. (kompas.com)

     

    -            Senin, 11 November 2013, akibat keterlambatan penerbangan dibandara, para penumpang sering melakukan tindakan anarkis dengan melampiaskan kemarahannya dengan merusak fasilitas bandara dan nada juga yang memukul-mukul petugas. (detik com)

     

    -            Polisi, menangkap Faris Ahmad Alamri, 20 tahun, mahasiswa Universitas Negeri Makassar yang diduga menyerang Wakil Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Makassar Ajun Komisaris Besar Totok Lisdiartov dengan panah. “Kami memeriksa yang bersangkuatan,“ kata juru bicara Polda Sulawesi Selatan dan Barat, Komisaris Besar Endi Sutendi, Sabtu, 22 November 2014. Menurut Endi, Faris ditangkap di Kampung Sampulungan, Galesong Selatan, Kabupaten Takalar, sehari sebelumnya sekitar pukul 23.45 wita. Aksi mahasiswa Fakultas Ekonomi ini terlacak setelah polisi memeriksa sejumlah rekaman video unjuk rasa yang berlangsung 13 November lalu. Dalam unjuk rasa itu mahasiswa menutup jalan protokol di depan kampus UNM untuk menolak kenaikan harga bahan bakar minyak Polisi berusaha membubarkan unjuk rasa itu namun mendapat perlawanan. Bentrokan tidak bisa dihindari. Totok turun langsung ke lapangan untuk memimpin anak buahnya. Saat itulah satu anak panah menancap di bawah ketiak kanannya (baca: Kondisi Wakil Kepala Polrestabes Makassar Membaik). Serangan itu membuat polisi mengamuk Mereka merusak sejumlah sepeda motor yang ada di area parkir. Beberapa wartawan yang meliput peristiwa itu turut menjadi korban. (Tempo. com)

     

    Dari kelima berita singkat yang diatas, bisa kita simpulkan bahwa  budaya kekerasan sudah merajalela dan sudah menjadi kebudayaan tersendiri didalam masyarakat dan jika budaya ini tidak bisa dihilangkan bisa merusak generasi kita ke depannya. Setidaknya dalam penyampaian aspirasi,  kemarahan akibat kesalahan orang dan lain sebagainya tidak harus diiringi dengan tindak kekerasan apalagi merusak, menghancurkan fasilitas umum, melakukan pembakaran terhadap kantor atau bangunan yang mana bangunan tersebut milik Negara.


    Untuk membahas budaya kekerasan perlu dikemukakan pendapat  Romli Atmasasmita, mengenai hubungan antara kultur dan subkultur adalah hubungan kedua unit tersebut erat sekali karena subkultur merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu kultur. Tampak ada perbedaan yang tidak begitu tajam antara keduanya. Dilukiskan oleh Nettler (1984:240) sebagai berikut

    Sub-cultur exists since group share some elements of a common  culture while retaning different cultural tastes.[13]

     

    Menarik inti pengertian dari subkultur di atas tampak bahwa subkultur tersebut masih menerima dan mengakui adanya kesamaan unsur-unsur budaya dengan apa yang dinamakan dominant culture atau parent culture atau yang dianut masyarakat. Namun demikian, dari dan didalam subkultur dimaksud masih dipertahankan adanya gaya hidup atau style yang memiliki sifat melembaga dalam masyarakat.


    Studi pertama mengenai subkultur kekerasan yang menghasilkan suatu teori darinya dilakukan oleh Wolfgang dan Ferracuti (1967) di Sardinia, Italia. Dalam konsep mereka mengenai subkultur kekerasan ini, diungkapkan bahwa tiap penduduk yang terdiri atas kelompok etnik tertentu dan kelas-kelas  tertentu memiliki sikap yang berbeda-beda tentang penggunaan kekerasan. Sikap yang mendukung pendukung penggunaan kekerasan diwujudkan ke dalam seperangkat norma yang sudah melembaga dalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Dengan pemikiran tersebut, Wolfgang dan Ferracuti menegaskan bahwa: ”subculture of violence repsesent values that stand a part from are the dominant, central or parent culture of society”.(dikutip dari Clinard & Quinney, 1973:29).[14]


    Konsep subculture of violence ini dilandaskan pada hasil penelitian yang hendak mengetahui ada tidaknya perbedaan rates of violence di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat Sardinia. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak semua orang dalam setiap kelompok memiliki nilai-nilai yang dicerminkan dalam subkultur kekerasan atau sebaliknya subkultur non kekerasan.


    Dari hasil penelitian Wolfgang dan Ferracuti ini telah dihasilkan suatu blibliografi dan amat penting bagi perkembangan studi kejahatan mengenai : psikologi dari pembunuhan, karakteristik pelaku agresif dan kultur yang mendukung kekerasan. Wolfgang dan Ferracuti juga menemukan indicator subkultur kekerasan di tiap-tiap kelompok masyarakat yakni (1) “violent               arts” dan persiapan-persiapannya, dan (2) pembenaran secara verbal (verbal justification) (dikutip dari Clinard & Quinney 1973: p 30).


    Menarik perhatian penulis sehubungan dan pertanyaan pokok sebagaimana telah dikemukakan dalam awal pembahasan mengenai isu subculture of violence di atas adalah mengenai proposisi kesatu dan proposisi kedua dan ketiga. Proposisi kesatu menegaskan bahwa sekalipun anggota-aggota dari subkultur menganut nilai-nilai yang berbeda dengan nilai-nilai yang  dianut oleh mayoritas anggota masyarakat lainnya, akan tetapi mereka seluruhnya berbeda atau bertentangan dengan mayoritas masyarakat. Hal ini disebabkan karena masih dimungkinkan adanya persamaan nilai-nilai dengan dominant culture. Proposisi kedua menegaskan bahwa eksistensi subkultur kekerasan tidaklah mempersyaratkan bahwa dalam segala situasi pelaku mengekspresikan kekerasannya. Bahkan menuruf Wolfgang dan Ferracuti, mereka hidup di tengah-tengah subkultur kekerasan tidak dapat dan tidak terlihat secara berkesinambungan dalam kekerasan, kecuali situasi masyarakat mendukungnya. Proposisi ketiga menegaskan bahwa mereka  hidup ditengah-tengah subkultur kekerasan masih ada kemungkinan untuk “menyembuhkan” diri meraka dari kekerasan sekalipun mereka masih menyetujui dilakukan penggunaan kekerasan dalam suatu subkultur tidak selalu harus dipandang sebagai tindakan yang dilarang dan kekerasan menjadi bagian dari gaya hidup kelompok untuk memecahkan kesulitan-kesulitan atau masalah yang dihadapinya; dapat disimpulkan bahwa penggunaan kekerasan dalam suatu subkultur yang mendukung kekerasan bukanlah sesuatu yang harus disesali.


    Menarik inti hasil penelitian Wolfgang dan Ferracuti di atas, penulis mempunyai pendapat bahwa pengertian istilah subculture of violence berbeda secara prinsipil dengan apa yang disebut violence as a subculture. Apabila pengertian subculture of violence merujuk pada suatu budaya kelompok-kelompok dalam masyarakat atau lebih tepat disebut “life style” (bukan “fashion”) yang memiliki ciri khas kekerasan yang bersifat tetap dan melembaga, namun tetap mengakui dan masih menerima nilai-nilai dari kultur yang dominant (dari masyarakat secara keseluruhan), maka pengertian istilah violence as a subculture merujuk pada budaya kekerasan semata-mata yang dianut kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Sikap kelompok masyarakat tersebut tidak memiliki lagi toleransi terhadap nilai-nilai yang dianut oleh dominant culture. Bahkan justru mereka menolak sama sekali eksistensi nilai-nilai dimaksud.


    Salah satu perspektif teori kriminologi yang dapat dipergunakan untuk menganalisis model kejahatan dan kekerasan di Indonesia adalah teori yang dikembangkan oleh Hoefnagels dalam bukunya “The Other Side of Criminology” (tahun....) Hoefnagels dalam bukunya telah mengungkapkan bahwa para ahli kriminologi pada umumnya sering bertumpu pada teori kausa kejahatan dan pelakunya, namun kurang memperhatikan sisi lain dari suatu kejahatan. Ia menunjukkan bahwa sisi lain dimaksud adalah aspek stigma dan seriousness.[15]


    Kedua aspek tersebut yang dipandang sebagai “other than offenders” (menurut Hoefnagels), memiliki peran yang tidak kurang pentingnya dalam penjelasan kejahatan. Dalam hal ini, menurut penulis, untuk kejahatan dengan kekerasan ia sangat relevan untuk diketengahkan. Mengenai aspek “seriousness” dari kejahatan dengan kekerasan, dapat dikatakan bahwa model kejahatan ini sangat dipengaruhi oleh pendapat masyarakat (umum) atau  public opinion, sehingga aspek ini menghasilkan hipotesis sebagai berikut.

    1.    “Seriousness increases, frequency of occurrences diminishes” atau derajat keseriusan suatu kejahatan meningkat jika frekuensi kejadian kejahatan menurun.

     

    2.    “seriousness decreases, frequency of occurrences invreases” atau derajat keseriusan suatu kejahatan menurun jika frekuensi kejadian kejahatan meningkat.[16]

     

     

    C.  Pengertian Fasilitas Publik

    Pengertian fasilitas publik identik dengan pengertian fasilitas umum. Semua makhluk hidup memerlukan fasilitas umum (fasilitas publik) yang memadai. Fasilitas umum merupakan suatu kebutuhan dasar dalam kehidupan bermasyarakat. Maka fasilitas umum harus selalu dijaga dan dibersihkan agar nyaman dan dapat dinikmati oleh masyarakat. Kita menyadari bahwa  buruknya fasilitas umum merupakan salah satu masalah sosial di Indonesia yang tidak mudah untuk diatasi. Beragam upaya dan program telah dilakukan untuk  mengatasi masalah ini, tetapi masih banyak kita temui beberapa bahkan banyak fasilitas dan pelayanan umum yang kotor dan rusak. Keluhan yang paling sering di disampaikan mengenai buruknya fasilitas umum tersebut adalah rendahnya kualitas pelayanan publik, rendahnya pengawasan dari Pemerintah, dan sistem pelayanan publik yang belum diatur secara jelas dan tegas. Maka dari itu, saya mengharapkan Pemerintah serta masyarakat lebih memperhatikan masalah ini, agar semua lapisan masyarakat dapat hidup lebih baik dengan fasilitas umum yang terjaga kebersihannya dan kerapihannya. Karena itu perlu dikemukakan pengertian fasilitas publik (umum).


    Adapun pengertian fasilitas umum merupakan fasilitas yang diadakan untuk kepentingan umum. Dikatakan “fasilitas umum” karena keberadaan wadah atau tempat ini bersifat mempermudah atau memperlancar  terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan bersama dari kelompok atau komunitas tertentu, misalnya, di bidang keamanan, komunikasi, rekreasi, olahraga, pendidian, kesehatan, administrasi publik, religius, sosial-budaya. Jadi, arti  dari buruknya fasilitas umum adalah suatu fasilitas yang dibuat untuk masyarakat umum tetapi tidak dapat dijaga dengan benar sehingga menjadi fasilitas yang kotor, rusak, dan terbengkalai.


    Dikatakan “fasilitas umum” karena keberadaan wadah atau tempat ini bersifat mempermudah atau memperlancar terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan bersama dari kelompok atau komunitas tertentu, misalnya, di bidang keamanan, komunikasi, rekreasi, olahraga, pendidikan, kesehatan,  administrasi publik, religius, sosial-budaya.


    Membahas tentang kondisi fasilitas umum yang semakin buruk seiring dengan ‘budaya’ merusak yang terjadi di dalam masyarakat. Budaya merusak yang terjadi dikarenakan kebiasaan buruk yang terjadi karena ketidak pedulian masyarakat akan sesama, kurangnya keinginan untuk merawat fasilitas umum  dan tidak mengetahui secara tepat cara penggunaan/cara kerja dari fasilitas umum tersebut.


    Masyarakat harus sadar bahwa semua yang diberikan pemerintah sebenarnya berasal dari masyarakat sendiri, jadi sudah menjadi hak dan kewajiban kita masing-masing untuk memakai dan merawat fasilitas umum. Pemerintah diharuskan lebih peduli dengan keadaan fasilitas umum saat ini. Pemerintah harus cepat tanggap memperbaiki fasilitas umum yang sudah tidak layak dan menambah fasiltas-fasilitas umum yang baru. Pemerintah juga bisa mengadakan tempat-tempat untuk mengekspresikan diri seperti arena melukis grafiti/mural agar masyarakat bisa berkarya di tempat yang tepat dan tidak merugikan pihak lain.


    Untuk menghilangkan budaya merusak, diperlukan pembiasaan kebiasaan/habit positif. Cara pembiasaan tersebut adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya kualitas fasilitas umum, menimbulkan keinginan dan kesadaran masyarakat untuk merawat fasilitas umum, dan mengajarkan cara yang tepat untuk memakai fasilitas umum.


    Masalah yang timbul sebagian besar merupakan masalah yang sudah sering terjadi di Indonesia, dan masih saja susah untuk dihilangkan. Antara  lain :

    -         Kemacetan,

    -         Pemukiman kumuh

    -         Pemukiman penduduk

    -         Kecelakaan

    -         Bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor

    -         Dan lain-lain[17]

     

    Oleh karena itu fasilitas umum memang harus dipelihara dan dijaga              oleh pemerintah. Meskipun demikian, masyarakat harus membantu merawat dan menjaga supaya tidak cepat rusak. Kalau ada fasilitas umum yang rusak, hendaknya segera melapor ke pihak berwenang. Inilah beberapa upaya yang harus dilakukan oleh warga masyarakat, yaitu :

    -         Renovasi fasilitas umum

    -      Segera melapor ke pihak berwenang jika ada fasilitas umum yang   rusak

    -         Meningkatkan rasa tanggung jawab masyarakat

    -         Menjaga dan merawat fasilitas umum

    -         Adanya rasa kepedulian dari masyarakat

    -         Dan lain-lain[18]



    Catatan kaki:


    [1] A. S. Ma’arif, Politik Demokrasi di Indonesia. Gramedia, Jakarta:, 2008, hal 3

    [2] Darji Darmadiharjo, Santiaji Pancasila, Usaha Nasional. Surabaya. 1981, hal 9

    [3] Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta:, 2011, ha17

    [4] Muhari, Norma-norma Yang Menjadi Pandangan Hidup Demokratis. US-Press, Surakarta, 2006), hal 12

    [5] Pasal 1 Undang-Undang No. 9 Tahun 1998

    [6] Pasal 3 Undang-Undang No. 9 Tahun 1998

    [7] Pasal 5 Undang-Undang No. 9 Tahun 1998

    [8] Pasal 6 Undang-Undang No. 9 Tahun 1998

    [9] Pasal 7 Undang-Undang No. 9.Tahun 1998

    [10] www.google(dot)com tanggal 30 Oktober 2014

    [11] http://id.wikipedia.org(dot)wiki/Anarkis tanggal 30 Oktober 2014

    [12] Ibid

    [13] Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, PT. Refika Editama, Bandung, 2010 hal. 68

    [14] Ibid, hal 69

    [15] Ibid, hal 75

    [16] Ibid

    [17] www.google(dot)com, tanggal 4 Desember 2014

    [18] Ibid

    LihatTutupKomentar