HUBUNGAN HUKUM DAN MORALITAS


    HUKUM DAN MORALITAS

    Hukum adalah seperangkat norma tentang apa yang benar dan apa yang salah, yang dibuat dan diakui eksistensinya oleh pemerintah yang dituangkan baik dalam aturan tertulis (peraturan) maupun yang tidak tertulis yang mengikat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya secara keseluruhan dan dengan ancaman sanksi bagi pelanggar aturan tersebut.


    Moral berarti akhlak (bahasa Arab)atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup.Kata moral ini dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang menjadi etika. Secara etimologis, etika adalah ajaran tentang baik buruk, yang diterima masyarakat umum tentang sikap, perbuatan, kewajiban, dan sebagainya.

    Hubungan Penegakan Hukum dengan  Moral menentukan suatu keperhasilan atau ketidakberhasilan dalam penegakan hukum, sebagaimana diharapkan oleh tujuan hukum. Stephen Palmquis yang mengambil pandangan dari Immanuel Kant, bahwa tindakan moral ialah kebebasan. Kebebasan sebagai satu-satunya fakta pemberian akal praktis pada sudut pandang aktualnya menerobos tapal batas ruang dan waktu (kemampuan indrawi) dan menggantikannya dengan kebebasan. Kebebasan tidak berarti dalam arti sebenak kita dapat mengetahui kebenaran, yang kemudian tercermin pada pembatasan diri untuk menjalankan suatu kebajikan. Semua kaidah harus sesuai dengan hukum moral yang menciptakan suatu tuntutan yang tak bersyarat. Kewajiban adalah perintah yang mengandung kebenaran. Menurut Kant, kewajiban adalah tindakan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan hukum moral, dalam rangka ketaatan terhadap hati nurani manusia daripada hanya mengikuti nafsu.


    Pengertian Hukum  

    Achmad Ali menyatakan bahwa hukum adalah seperangkat norma tentang apa yang benar dan apa yang salah, yang dibuat dan diakui eksistensinya oleh pemerintah yang dituangkan baik dalam aturan tertulis (peraturan) maupun yang tidak tertulis yang mengikat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya secara keseluruhan dan dengan ancaman sanksi bagi pelanggar aturan tersebut. Hukum harus mencakup tiga unsur, yaitu kewajiban, moral dan aturan. Istilah moralitas kita kenal secara umum sebagai suatu sistem peraturan-peraturan perilaku sosial, etika hubungan antar-orang.


    Hukum diciptakan dengan tujuan yang berbeda-beda, ada yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah keadilan, ada juga yang menyatakan kebinaan, ada yang menyatakan kepastian hukum. 


    Hukum itu merupakan bagian dari pergumulan manusia dalam upayanya mewujudkan rasa aman dan sejahtera. Karena itu hukum ditengarai menjadi sarana utama dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam kelompok masyarakat. Hukum itu sendiri tidak lepas dari masyarakat, karena telah menjadi aksioma yang mengatakan Ibi society ibi ius, yang artinya dimana ada masyarakat maka ada hukum.


    Hukum itu harus hidup ditengah-tengah masyarakat, sebab hukum tidak sekedar aturan tapi harus diimplementasikan. Hukum merupakan seperangkat aturan yang memberi batasan pada masing-masing individu dalam korelasinya satu individu dengan individu lainnya dan dari satu kelompok kepada kelompok lainnya, sehingga perhubungan itu akan mewujudkan suatu perhubungan yang harmonis dan serasi.


    Pelanggaran terhadap aturan (hukum) itu perlu mendapat reaksi. Reaksi itu sendiri dapat berupa sanksi. Dengan diterapkannya sanksi diharapkan keharmonisan yang terganggu tadi dapat dipulihkan kembali. Bahwa disinilah mulai masuk pada ranah penjaga hukum itu sendiri atau yang dalam istilah modern disebut sebagai aparat penegak hukum. Fungsi aparat penegak hukum menjadi sangat signifikan, karena merekalah yang diberikan kewenangan oleh masyarakat. Negara untuk melaksanakan dan mengawal aturan yang telah menjadi kesepakatan itu.


    Besarnya kepercayaan yang diberikan kepada aparat penegak hukum yang tercermin dari kewenangan yang diberikan padanya menjadikan mereka   orang-orang yang memiliki otoritas untuk membatasi kebebasan individu dan bahkan mematikan individu itu sendiri dalam pelanggaran hukum tertentu yang dianggap berat.


    Persoalan yang muncul adalah, apakah orang yang diberi kewenangan tadi (aparat penegak hukum) telah menjalankan kewenangannya dengan sebaik-baiknya? Salah satu karakteristik hukum modern adalah pengaturan yang dibuat secara positif yang memberi sarana untuk melindungi individu maupun upaya hukum. Karena itu hukum modern merupakan produk yang diciptakan oleh penguasa yang selanjutnya akan menjadi rule bagi yang berada dalam kekuasaan tersebut. Peran aparat penegak hukum disini adalah   memberlakukan hukum itu bagi pelanggarnya.


    Pengertian Moral

    Dalam bahasa Indonesia, kata moral berarti akhlak (bahasa Arab)atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup.Kata moral ini dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang menjadi etika. Secara etimologis, etika adalah ajaran tentang baik buruk, yang diterima masyarakat umum tentang sikap, perbuatan, kewajiban, dan sebagainya.


    Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat.


    Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya.Moral adalah produk dari budaya dan Agama. Jadi moral adalah tata aturan norma-norma yang bersifat abstrak yang mengatur kehidupan manusia untuk melakukan perbuatan tertentu dan sebagai pengendali yang mengatur manusia untuk menjadi manusia yang baik.



    SINERGI HUKUM DAN MORAL

    Setelah mengalami amandemen ke-1 sampai ke-4, tampak bahwa Bab I Pasal 1 UUD 1945 (tentang bentuk dan kedaulatan) telah mengalami perubahan berbunyi: Negara Indonesia Adalah Negara Hukum


    Makna negara hukum adalah negara yang mengutamakan hukum sebagai landasan berpijak dan berbuat dalam konteks hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan kata lain, hukum merupakan hal yang supreme : bukan uang dan kekuasaan. Agar hukum dapat menjadi supreme, maka hukum/undang-undang tersebut harus bersinergi dengan moralitas masyarakat. 


    Keharusan hukum bersinergi dengan moralitas masyarakat, telah diungkapkan oleh teori/ajaran ilmu hukum yang mengajarkan bahwa suatu undang-undang akan dapat berlaku efektif di masyarakat apabila undang-undang tersebut memiliki 3 macam kekuatan, yaitu:

    1. juristische geltung, 
    2. soziologische geltung dan 
    3. filosofische geltung. 


    Soziologische geltung dan filosofische geltung mengajarkan kepada kita bahwa undang-undang yang mengakomodasi/merespon secara benar moralitas masyarakat, yang akan mempermudah terwujudnya supremasi hukum. Karena penegakan undang-undang tersebut secara mutatis mutandis berarti menegakkan moralitas masyarakat. 


    Sebaliknya, apabila suatu undang-undang gagal mengakomodasi/merespon moralitas masyarakat, maka perwujudan supremasi hukum akan mengalami kesulitan. Dalam konteks ini, undang-undang/hukum akan dijadikan perisai untuk melawan moralitas masyarakat. Dalam konteks ini pula, penegakan hukum tidak akan memberikan kenyamanan dan keadilan bagi masyarakat


    Hubungan Hukum Dan Moralitas

    Sulit untuk dibayangkan bagaimana hukum yang sarat dengan moralitas dipegang oleh orang-orang yang tidak bermoral. 


    Mau kemana hukum itu? Inilah mungkin masalah besar yang sedang dihadapi bangsa ini.  Penegak hukum harus memiliki keteguhan hati untuk menempatkan hukum sebagai pelindung (pengayom) dan hukum yang bersifat kasih. Hukum yang demikian akan member warna lain, yaitu wajah hukum yang tidak lagi menakutkan, tapi menjadikan masyarakat tentram dan percaya pada penegak hukum, karena penegak hukum benar-benar menjadi penegak hukum yang baik dan bermoral. 


    Hubungan moral dengan penegakan hukum menentukan suatu keperhasilan atau ketidakberhasilan dalam penegakan hukum, sebagaimana diharapkan oleh tujuan hukum. Stephen Palmquis yang mengambil pandangan dari Immanuel Kant, bahwa tindakan moral ialah kebebasan. Kebebasan sebagai satu-satunya fakta pemberian akal praktis pada sudut pandang aktualnya menerobos tapal batas ruang dan waktu (kemampuan indrawi) dan menggantikannya dengan kebebasan. Kebebasan tidak berarti dalam arti sebenak kita dapat mengetahui kebenaran, yang kemudian tercermin pada pembatasan diri untuk menjalankan suatu kebajikan. Semua kaidah harus sesuai dengan hukum moral yang menciptakan suatu tuntutan yang tak bersyarat. Kewajiban adalah perintah yang mengandung kebenaran. Menurut Kant, kewajiban adalah tindakan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan hukum moral, dalam rangka ketaatan terhadap hati nurani manusia daripada hanya mengikuti nafsu.


    Rumusan Immanuel Kant terhadap tindakan moral (imperative kategoris) ada tiga kriteria yang mensyaratkan yaitu:

    Suatu tindakan adalah moral hanya jika kaidahnya bisa di semestakan (kaidah sebagai hukum universal) Menghargai pribadi orang, yang bertindak sedemikian rupa, sehingga memperlakukan manusia sebagai tujuan dan bukan hanya sebagai alat belaka. Kaidah itu harus otonom. Kaidah moral harus selaras dengan penentuan kehendak hukum yang universal (Soerjono Soekanto, 1993:22)


    Ada beberapa unsur dari kaidah moral yaitu :

    1. Hati Nurani

    Hati nurani merupakan penghayatan tentang baik atau buruk mengenai perilaku manusia dan hati nuraniini selalu dihubunngkan dengan kesadaran manusia dan selalu terkait dalamdengan situasi kongkret. Dengan hati nurani manusia akan sanggup mererfleksikan dirinya terutama dalam mengenai dirinya sendiri atau juga mengenal orang.


    2. Kebebasan dan tanggung jawab.

    Kebebasan adalah milik individu yang sangat hakiki dan manusiawi dankarena manusia pada dasar nya adal;ah makhluk bebas. Tetapi didalam kebebasanitu juga terbatas karena tidak boleh bersinggungan dengan kebebasan orang lain ketika mereka melakukan interaksi. Jadi, manusia itu adalah makhluk bebas yang dibatasi oleh lingkungannya sebagai akibat tidak mampunya ia untuk hidupsendiri.


    3. Nilai dan Norma Moral.

    Nilai dan moral akan muncul ketika berada pada orang lain dan ia akanbergabung dengan nilai lain seperti agama, hukum, dan budaya. Nilai moralterkait dalam tanggung jawab seseorang. Antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat sekali. Ada pepatah roma yang mengatakan “quid leges sine moribus?” (apa artinya undang-undang jika tidak disertai moralitas?). Dengan demikian hukum tidak akan berarti tanpa disertai moralitas. Oleh karena itu kualitas hukum harus selalu diukur dengan norma moral, perundang-undangan yang immoral harus diganti. Disisi lain moral juga membutuhkan hukum, sebab moral tanpa hukum hanya angan-angan saja kalau tidak di undangkan atau di lembagakan dalam masyarakat.


    Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda, sebab dalam kenyataannya ‘mungkin’ ada hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidakcocokan antara hukum dan moral. Untuk itu dalam konteks ketatanegaraan indonesia dewasa ini. Apalagi dalam konteks membutuhkan hukum.


    Kualitas hukum terletak pada bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas hukum tampak kosong dan hampa (Dahlan Thaib,h.6). Namun demikian perbedaan antara hukum dan moral sangat jelas.


    Hukum dan Moral sebuah seruan etis.

    Hukum dapat memiliki kekuatan, jika dijiwai oleh moralitas. Kualitas hukum terletak pada bobot moral yang menjiwainya. Suatu keputusan pengadilan dalam lingkup hukum, karena keadilan merupakan dasar hukumnya, harus benar-benar dipertimbangkan dari sudut moralnya, yakni rasa keadilan masyarakat. Hukum dibuat untuk menata kehidupan masyarakat. Seperti kasus tommy soeharto yang dinyatakan bebas oleh hakim yang sangat kontroversial itu dipertegas dalam tulisan ini sebagai seruan etis moral publik.


    Apabila suatu keputusan pengadilan dibuat tanpa mempertimbangkan aspek moral, pengadilan tersebut dinyatakan sebagai pengadilan yang terisolasi. Isolasi tersebut oleh satjipto raharjo dinyatakan mengundang asosiasi arah kediktatoran pengadilan (judicial dictatorship).


    Keputusam dalam kasus tommy soeharto contohnya bukan hanya mengabaikan aspek moral dalam keputusannya, atau sebagai keputusan yang tidak bermoral, melainkan juga mengindikasi kekuatan kekuasaan, karena “hukum dipandang tidak lain kecuali kepentingan mereka yang berkuasa atau kuat”. Kekuatan kekuasaan itu dalam arti politik, kekuatan menjadi penentu yang sangat dominan, sedangkan moralitas tidak berdaya. Thomas hobbes mengatakan, “perjanjian tanpa pedang hanyalah kata-kata kosong”. Menurut Hobbes, harus ada penguasa yang kuat untuk memaksakan hokum. Hokum kodrat tidak mempunyai kekuatan dan tidak menuntut kewajiban sehingga membiarkan yang kuat terus melindas yang lemah.


    Karena itu, yang diperlukan saat ini sekaligus menjadi sebuah seruan  etis kita adalah perlu adanya political will dan dengan kekuatan kekuasaan yang ada pada pemerintah saat ini, meski gunung dan bukit akan rubuh dan langit akan runtuh, bendera supremasi hokum harus benar-benar dipancangkan dan keadilan segera diciptakan tanpa kompromi. Bahwasannya, kemauan untuk menjadikan hokum sebagai pengendali “serigala” sifat kebinatangan dalam diri para pengkhianat hokum merupakan suatu kemauan etis dan moralitas pula. Semua ini diambil guna merehabilitasi masa depan negeri ini, agar generasi-generasi mendatang tidak menjadi mangsa dari proses hukum yang menjadi semakin tak terkendali di kemudian hari, Sebab dalam hal ini berlaku ungkapan hakim Burnett di Inggris pada abad 18, ketika menjatuhkan seorang pidana mati dengan ungkapan: 

    “engkau akan digantung bukan karena engkau mencuri kuda, melainkan agar kuda-kuda tidak akan dicuri lagi”. (Thomas koten, 2001 : 3-4)

    LihatTutupKomentar