“Ngobrol
Imajiner Dengan Santoso”
*) Harun Nyak Itam Abu
Tidak seperti tahun 2011
lalu, saat ini kondisi Santoso nampak lebih kurus dengan rambut panjang sedikit
awut-awutan alias gondrong macarepa.
Sekalipun demikian nada suaranya masih tegas dan garang. Saat menjawab salam
dari penulis, Santoso mengiringinya dengan tawa khas sama seperti pertama kali
berjumpa pada waktu menjenguknya di sebuah sel pengap medio 2003 lalu. Kala itu
Santoso adalah salah satu tersangka kasus penembakan (dikenal dengan kasus
Penembakan Mobil Box di Sausu bersama M, F, G, U). Kini M telah menjadi
kontraktor bonafid di Poso dan dikenal sebagai “anak emas” penguasa Poso
periode lalu, sementara F, G, dan U masih setia mengurus beberapa puluh pohon
coklat di Poso Pesisir. Sebaliknya Santoso menjadi orang yang termasyhur diseluruh
dunia, karena paling dicari otoritas keamanan negeri ini bahkan pemerintah
Amerika Serikat-pun memosisikan Santoso sebagai teroris yang berbahaya dan
dijanjikan hadiah bagi siapapun yang dapat menangkapnya hidup !
Obrolan penulis dengan
Santoso selanjutnya menggunakan istilah “ente” atau “ana” (bahasa “Arab Gaul”
sebagai terjemahan anda atau saya); bincang diawali dengan pertanyaan : apa
gerangan yang membuat ente menjadi berang dan melakukan tindakan yang oleh
regulasi di negara ini menyebutnya sebagai tindak pidana terorisme? Ana
melakukan itu karena beberapa hal, dan pada kesempatan ini perlu ana kemukakan
agar rakyat Indonesia tahu dan tidak lupa! Pertama adalah soal keadilan ; sebagai
korban konflik horizontal Poso pada Mei-Juni 2000 lampau, bertahun-tahun ana menunggu
datangnya keadilan namun sayang keadilan itu tak pernah terwujud. Pelaku
pembunuhan terhadap belasan anggota keluarga ana di Sintuwu Lemba (dikenal Kilo
9) seolah tak dapat dijangkau oleh hukum hingga hari ini. Demikian pula pelaku
pembantaian di Buyung Katedo (2 Juli 2001) dan beberapa tempat lain di Poso,
hingga kini tetap berlenggang kangkung karena bisa mengangkangi hukum! Deklarasi
Malino juga ditafsirkan keliru oleh berbagai pihak sehingga dijadikan sebagai sarana
impunity bagi pelaku kejahatan, padahal Indonesia adalah negara hukum
sebagaimana disebut dalam UUD 1945. Kekecewaan demi kekecewaan itu bertumpuk
menjadi kesumat dan pada akhirnya ana memilih “jalan lain” untuk mewujudkan
keadilan itu. Tetapi kenapa sasaran kemarahan ente ditujukan terhadap polisi?
Ini karena beberapa sebab, coba perhatikan hal berikut : 1) Tanggal 17 April
2000, M. Husni alias Sunil ditembak mati oleh oknum polisi, TKP terminal Kasintuwu Kota Poso, 2) Ahmad Sutomo (saat
itu 17 Tahun) tewas ditembak oknum polisi, tanggal 21 Oktober 2001, TKP Mapane
Poso Pesisir, 3) Safruddin Buhaeli (saat itu 16 Tahun), meregang nyawa ditembak
oknum polisi pada tanggal 3 Desember 2001, TKP : Bonesompe Poso Kota, 4)
Amisudin, wafat ditembak oknum polisi pada tanggal 15 November 2003, TKP :
Tabalu Poso Pesisir. Dalam peristiwa-peristiwa tersebut ada 12 (dua belas) luka
tembak, yakni : Rahman, Irwan, Budi, Asri, Oman, Ai, Rizal, Abdullah, Hajir,
Ali, Pr.Ratna, Pr. Salma, serta puluhan orang luka berat akibat
dianiaya/disiksa (diinjak-injak, dipukul, diikat) dan ditelanjangi (kemaluannya
diinjak), seperti antara lain : Andang, Ato, Ayub, M. Saher, M. Guntur, M.
Fadli, M. Rusli, M. Irsan, Rustam S.K, Salbingu, Amran Ambo Enre, Sondong,
Bobby Dunggio,Kiki Andri Wijaya, Anjas Gani, Abdullah, Halid, Rendy, Sutami
M.I, Wahyudin, dan lain-lain ( dikenal sebagai Tragedi Mapane Berdarah).
Sekedar informasi, mereka semua bukan pelaku kriminal, bukan teroris, bukan
pula kelompok orang yang tergolong DPO.! Pada tahun 2003 lalu ana mengalami
penyiksaan hebat oleh oknum-oknum polisi saat
ditahan di beberapa Polsek yang ada di kota Palu. Bayangkan, ana
disangka melakukan tindak pidana di wilayah hukum Parimo tapi ana dibawa ke
Palu lalu ditahan di Polsek-Polsek yang ada dan dipindah seenak mereka sendiri,
dari satu sel tahanan Polsek ke sel tahanan Polsek lainnya. Ana di pukul,
diinjak-injak seperti hewan dan perlakuan mereka itu tidak pernah ana lupakan
seumur hidup. Belum lagi pada peristiwa tanggal 11 dan 22 Januari 2007, ada
belasan nyawa pemuda-pemuda Muslim Poso (Tato, Idrus, Maulana, juga om Gam dan
lain-lain) ditembak dan dibiarkan meregang nyawa tanpa ada upaya memberi
pertolongan. Pada peristiwa tanggal 11 Januari 2007 itu, Dedi Parsan tewas
ditembak tapi beberapa bagian tubuhnya robek karena sangkur. Pada 22 Januari
2007 tersebut, Udin (kala itu 16 Tahun/adik kandung Basri, salah seorang DPO)
juga tewas saat dalam penanganan oleh serombongan oknum polisi, padahal saat
ditangkap, Udin dalam keadaan sehat walafiat dan selang sehari kemudian
dipulangkan dalam bentuk jenazah yang lehernya patah dan wajah lebam! Pada Desember 2012, seorang pemuda Muslim Poso
yang bernama Andi, ditembak di Bima NTB lalu jenazahnya dibawa ke Jakarta dan 1
bulan kemudian baru di pulangkan dan dikuburkan di Poso, sungguh tragis! Demikian
halnya Ahmad (kakak kandung Andi) juga Halid, keduanya tutup usia secara
dramatis tanpa terlebih dulu dibawa ke pengadilan untuk membuktikan
kesalahannya, padahal peraturan perundang-undangan di republik ini tegas
menyebut asas Praduga Tidak Bersalah! Mereka tidak membawa senjata api atau bom
yang membahayakan, tapi kenapa harus di tembak mati! Belum lagi puluhan kaum
Muslimin Poso yang ditangkap dari segala penjuru Poso kemudian dibawa dan
ditahan di Mako Brimob Depok atau Polda Metro Jaya lalu diadili di PN Jakarta
Utara atau PN Jakarta Selatan atau PN Jakarta Pusat, selanjutnya menjalani
pidana pada lembaga-lembaga pemasyarakatan yang ada di pulau Jawa sampai
sekarang. Semua mereka sengaja dipisahkan dari sanak keluarga dan dipaksa
meninggalkan tanah kelahirannya, perlakuan yang hampir mirip dengan apa yang
dilakukan pemerintah kolonial Belanda pada masa penjajahan terhadap
pahlawan-pahlawan bangsa seperti Tuanku Imam Bonjol atau Pangeran Diponegoro,
yang ditangkap dan dibuang hingga meninggal dunia di tempat nan jauh dari tanah
kelahirannya. Tapi sampai hari ini, tidak satupun oknum polisi yang melakukan
kekerasan dan atau kejahatan terhadap kaum Muslimin tersebut diseret ke
pengadilan dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Seolah-olah apa yang mereka
lakukan bukan merupakan kejahatan dan oknum-oknum tersebut adalah warga negara
kelas satu yang kebal hukum. Mengapa tidak satupun pembela hak asasi manusia
mempersoalkan cara penghukuman model pemerintah kolonial Belanda tersebut? Hal lain
yang perlu ana sampaikan kepada khalayak ramai adalah semua tersangka teroris
khususnya dari Poso -juga dari seluruh pelosok Indonesia- “wajib hukumnya”
didampingi (sebagai Kuasa Hukum) oleh Advokat/Pengacara yang ditunjuk dan
dibayar oleh Densus 88. Ini merupakan keanehan dan keprihatinan yang perlu
mendapat perhatian, karena kuasa hukum tersebut “digaji” oleh Densus 88, maka
pelanggaran dan pelecehan hukum yang terjadi hanya didiamkan dan dianggap angin
lalu oleh Advokat/Pengacara tersebut. Mereka hanya diam dan tidak pernah
keberatan ataupun memprotes tentang pemindahan tempat sidang yang nyata-nyata
melanggar Pasal 84 ayat (1) KUHAP tersebut.
Apa yang melatari sehinga Densus 88 menunjuk
dan membayar honor Pengacara bahkan hampir semua kebutuhan (mulai dari tiket
pesawat Palu-Jakarta- Palu, tempat tingggal di Jakarta hingga kendaraan)
semuanya ditanggung oleh Densus 88. Padahal kelaziman ketentuan dalam KUHAP,
seorang tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri Penasehat Hukum untuk
mendampinginya. Masih banyak deretan kejahatan dan pelanggaran terhadap kaum
Muslim yang dilakukan oleh oknum-oknum kepolisian khususnya Densus 88 yang
telah menyakiti ana sebagai bagian dari kaum Muslim. Karena ayam sudah berkokok
menjelang subuh, penulis memberi nasehat : Agar tidak ada lagi korban yang
tewas, bagaimana kalau ente hadapi saja proses hukum yang nantinya dituduhkan,
dan sampaikan segala yang menjadi “tuntutan” soal ketidakadilan tersebut nanti
di pengadilan? Dengan kening yang berkerut, akhirnya Santoso memberi jawaban :
“insyaAllah akan ana pertimbangkan dalam beberapa hari...! wallahu alam
bissawab.
*) Dosen Fakultas Hukum
Untad.