Perihal MAKAR...!

     


    Perihal MAKAR...!

     

    Cogatitionis poenam nemo patitur

    “Tiada seorangpun dapat dihukum karena apa yang dipikirkan”

     

         Sampai hari ini bangsa Indonesia telah lebih  71 tahun lamanya menyatakan diri  sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Cita-cita luhur perjuangan kemerdekaan sebagaimana tersurat dalam Pembukaan Undang-Undang dasar 1945 adalah berkehidupan kebangsaan yang bebas, dengan mewujudkan suatu pemerintahan negara yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Berbagai macam peristiwa dan kejadian nasional telah mewarnai sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Tiga ratus lima puluh tahun dijajah oleh Belanda, dan dimasa itu terselip pula bangsa-bangsa asing lain (Inggris dan Jepang) turut berupaya untuk memiliki negeri kita yang kaya raya ini. Atas izin Allah Swt yang meridhoi perjuangan para pahlawan bangsa, maka pada tanggal 17 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta atas nama Bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Bangsa Indonesia.

          Namun dalam perjalanannya, ternyata perjuangan bangsa Indonesia tidak cukup sampai disitu, karena pada tanggal 18 September 1948 dengan pidato berapi-api, Muso, pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) secara terbuka dan secara resmi melakukan perebutan kekuasaan di Madiun terhadap kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pidato tersebut, Muso menyatakan antara lain sebagai berikut :“.....pada tanggal 18 September 1948 penduduk Madiun telah menyatakan mengambil oper kekuasaan ditangannya......” (Pinardi, Peristiwa Coup Berdarah PKI September 1948, 1966 :15).

         Kemudian Kartosoewirjo memproklamirkan berdirinya “Negara Islam Indonesia” pada tanggal 4 Agustus 1949 ( disusul Kahar Mudzakkar di Sulawesi Selatan 17 Agustus 1951, lalu Tengku Daoed Beureueh di Aceh tanggal 20 September 1953). Menyusul kemudian tanggal 25 April 1950, Maluku Selatan memproklamirkan dirinya sebagai negara yang merdeka dengan pentolannya Dr. Christian Robert Steven Soumokil (mantan Jaksa Agung Indonesia Timur). Republik Maluku Selatan (RMS) menetapkan J.H Manuhutu sebagai Presiden dan Albert Wairisal sebagai Perdana Menteri.  Kemudian disusul tanggal 2 Maret 1957 di Sulawesi Utara-Tengah ada pemberontakan PERMESTA (Perdjuangan Rakjat Semesta) yang dipimpin Letkol Ventje Sumual. Ada pula peristiwa penembakan atas diri Presiden Republik Indonesia (Bung Karno) pada tanggal 30 November 1957, dikenal dengan Peristiwa Cikini, namun Soekarno selamat. Selanjutnya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera pada tanggal 15 Februari 1958. Lalu kemudian yang paling fenomenal peristiwa berdarah 30 September 1965 yang lebih dikenal dengan nama Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (PKI), yang hari-hari terakhir ini ada upaya untuk memutarbalikkan fakta antara lain dengan menghilangkan frasa “PKI” sehingga hanya Gerakan 30 September.

          Selain peristiwa-peristiwa tersebut diatas, masih ada beberapa peristiwa lain seperti pemberontakan Andi Aziz 5 April 1950 di Makassar, Gerakan Aceh Merdeka  4 Desember 1976 hingga tercapai kesepakatan damai pada medio 2005 silam. Adapula Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Benny Wenda sejak 1963 (Perjanjian New York) hingga hari ini. Bahkan salah satu dedengkot OPM, Enden Wanimbo menyatakan perang terbuka terhadap semua orang Indonesia yang ada di Papua (22/5/2015).

          Peristiwa-peristiwa tersebut pada dasarnya merupakan perebutan kekuasaan pemerintah yang sah ke dalam kekuasaannya. Sesuai dengan rumusan dari pasal-pasal 106, 107 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 106 KUHP :”Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun”

         Pasal 107 KUHP ayat (1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lima belas tahun. Ayat (2) Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

         Lantas apa sesungguhnya yang dimaksud dengan “makar”? KUHP tidak memberi defenisi atau pengertian, namun hanya memberikan suatu penafsiran tentang istilah “makar” sebagaimana tersebut dalam Pasal 87 KUHP :” Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti yang dimaksud dalam pasal 53” (Moeljatno, 2007 : 36). Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa unsur terpenting dari makar untuk melakukan suatu perbuatan adalah : 1) Niat dan 2) Permulaan pelaksanaan. Catatan penting yang perlu digarisbawahi adalah semua nama-nama pemimpin gerakan makar diatas adalah komandan pasukan setidak-tidaknya pimpinan partai besar, dan tokoh berpengaruh.

     

    PREMATURE

    Jumat 2/12 dini hari beberapa jam sebelum Aksi Bela Islam III dilaksanakan, Mabes Polri melakukan penangkapan terhadap 10 orang yang selama ini dikenal kritis terhadap rezim Jokowi. Kesepuluh orang tersebut, 8 diantaranya yakni AD, E, ADT, KZ, FH, RA, RS, dan SBP disangka melakukan tindakan makar sebagaimana diatur dalam Pasal 107 juncto Pasal 110 jo Pasal 87 KUHP. Selain tiga pasal itu, AD juga dijerat dengan Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa di hadapan umum. Sementara terhadap JA dan RK disangka melanggar Pasal 28 UU ITE, keduanya disangka menyebarkan berita bohong dan menyesatkan. Berdasarkan keterangan Kombes Rikwanto (Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri) ada dua dasar utama –bukan Dua Alat Bukti- penetapan ke-10 tersangka itu yaitu data informasi elektronik dan sejumlah hal terkait pertemuan untuk merencanakan aksi (Kompas, 3/12). Pada segmen kali ini, ada hal yang menarik untuk didiskusikan yaitu Surat Sri Bintang Pamungkas yang ditujukan kepada MPR, DPR dan TNI yang berisi mengenai aspirasi untuk  mengganti pemerintahan yang sah (Media Indonesia, 3/12). Surat tersebut dianggap telah memenuhi unsur makar, pada tahapan permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering). Benarkah demikian? Ataukah terlalu premature untuk menetapkan status tersangka makar hanya karena surat yang isinya hanya penyampaian aspirasi tersebut?


    TINJAUAN TEORI HUKUM PIDANA

         Dalam doktrin hukum pidana maupun yurisprudensi hukum pidana diadakan perbedaan antara “perbuatan persiapan” (voorbereidingshandeling) dan “perbuatan pelaksanaan (uitvoeringshandeling). Apakah yang dimaksud dengan pelaksanaan di sini, adalah pelaksanaan kehendak  ataukah pelaksanaan kejahatan? Maka menurut Tresna, pelaksanaan itu harus diartikan sebagai pelaksanaan dari kejahatannya dengan mendasarkan pada kata”selesainya”, perkataan mana hanya dapat diartikan selesainya kejahatan dan bukan selesainya kehendak (Tresna, 1959:25)

         Menurut MvT batas yang tegas antara perbuatan persiapan dan perbuatan pelaksanaan tidak dapat ditetapkan dalam undang-undang. Untuk mencegah persoalan kapankah perbuatan itu merupakan perbuatan persiapan dan kapan sudah merupakan perbuatan pelaksanaan ada dua teori, yaitu : 1) Teori Subyektif, dan 2) Teori Obyektif. Menurut Teori Subyektif di dalam mencari rumusan bagi arti permulaan pelaksanaan adalah menitikberatkan pada maksud dari seseorang dalam melakukan kejahatan. Bahwa sudah ada permulaan pelaksanaan jika sudah ada kepastian niat dari si pembuat, sehingga ukuran atau dasar yang dipergunakan adalah kehendak atau watak (mentalitet) pembuat. Teori ini diikuti oleh van Hamel. Sementara Teori Obyektif menitikberatkan pada sifat berbahayanya perbuatan yang dilakukan oleh pembuat. Teori ini mengemukakan sebagai dasar “straf baarheit” dari percobaan itu bahaya yang ditimbulkan oleh perbuatan percobaan (perbuatan pelaksanaan) bagi kepentingan-kepentingan hukum yang dilindungi oleh ketentuan-ketentuan pidana yang bersangkutan. Teori ini diikuti oleh Simons. (Djoko Prakoso, 1985 : 26)

         Tentunya kita sekalian bebas untuk memilih salah satu dari dua teori tersebut guna proses penegakan hukum, namun terlepas dari teori-teori itu, kiranya menjadi renungan bagi rezim Jokowi, sesungguhnya banyak hal yang harus segera dilakukan untuk menyelamatkan NKRI yang sekarang jadi rebutan kekuatan asing. Ada baiknya Jokowi membuka kembali catatan terkait model kepemimpinan semua Presiden RI, mulai Soekarno, Soeharto, hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Sebab penggunaan pasal makar bagi anak bangsa yang selalu kritis dan sedikit “nakal” mengingatkan kembali model pemerintahan otoriter ala rezim Soeharto dengan Orde Baru nya. Selama 32 tahun memimpin negeri ini, ABRI (saat itu) dan Polri dipergunakan untuk melanggengkan kekuasaan dan bukan untuk mengabdi bagi kesejahteraan rakyat. Kiranya perlu dibuka lembaran bersahaja saat Presiden ke-6 RI, yang hampir setiap hari dicaci maki bahkan secara terang-terangan dan terbuka, Fadjroel Rachman ingin menjatuhkan Presiden SBY. Namun apa yang terjadi, SBY  tidak panik dan paranoid sehingga tak ada perintah untuk menangkap Fadjroel Rachman. Atau model kompromi melalui undangan makan juga perlu dilakukan seperti halnya undangan makan siang bagi pelaku pembakaran Masjid di Tolikara beberapa waktu yang lalu.

     

    PENUTUP

        Tersangka KZ dan kawan kawan tentu tidak diragukan lagi jiwa patriotisme dan nasionalisme, bahkan dikenal anti komunis. Saking cinta dan bhaktinya pada Bangsa dan rakyat Indonesia, maka mereka memberi peringatan kepada rezim Jokowi untuk segera melakukan langkah taktis yang cepat agar tidak disebut sebagai boneka dari pemodal asing yang merongrong kedaulatan negara. Sekalipun ada pertanyaan kritis terkait apa parameter yang bisa digunakan untuk mengategorikan AD, E, ADT, KZ, FH, RA, RS, dan SBP juga JA dan RK sebagai orang berbahaya pelaku makar? Sebab, KZ sudah lama pensiun dan tak punya pasukan. AD hanya pimpinan group band. SBP sudah hampir uzur dan tidak memiliki massa fanatik. RS hanya pekerja seni yang biasa-biasa saja. Bandingkan dengan pemimpin makar seperti tersebut pada alinea diatas?wallahu alam bissawab.

    *)Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako.

    LihatTutupKomentar