PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PERLINDUNGAN HUKUM PROFESI DOKTER



    PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PERLINDUNGAN HUKUM PROFESI DOKTER

    Oleh : Harun Nyak Itam Abu (Dosen Fakultas Hukum UNTAD)

         Kebutuhan manusia terhadap pertolongan pengobatan untuk menyelamatkan nyawanya merupakan hal yang mendasar yang diperlukan setiap makhluk hidup insani. Oleh karena itu, diperlukan pihak lain  yang mempunyai keahlian untuk memberikan pertolongan kepadanya agar terbebas dari penyakit yang dideritanya tersebut. Dokter merupakan ilmuwan yang telah dididik secara profesional untuk memberikan pertolongan kepada seseorang yang membutuhkan pelayanan medisnya. Pendidikan kedokteran telah memberikan bekal knowledge (pengetahuan), skill (keterampilan) dan professional attitude (perilaku profesional) bagi peserta didiknya untuk dibentuk sebagai dokter yang berkompeten dengan didasari perilaku profesi yang selalu siap  memberikan pertolongan kepada sesamanya.

          Namun hasrat memberikan pertolongan kepada sesamanya tersebut, tidaklah semulus  yang dicita-citakan oleh para pengemban profesi kedokteran ini. Ancaman pidana menghantui harapan mulianya tersebut. Pidana penjara, kurungan dan denda yang dikenakan kepada pengemban profesi kedokteran merupakan ancaman yang diskriminatif yang khusus diancamkan kepada profesi dokter, yang tidak dialami oleh profesi lainnya. Hakim atau Advokat yang salah dalam menegakkan hukum yang mungkin mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, tidak akan dipidana seberat pidana yang dialami oleh seorang dokter. Deretan ancaman pidana yang dapat dikenakan bagi profesi dokter yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),  Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Didalam undang-undang tersebut, ada beberapa pasal yang berisi tentang ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana yang dapat diancamkan dalam pelaksanaan praktik kedokteran.

         Hubungan yang terjadi antara dokter dan pasien merupakan hubungan perikatan, sehingga terdapat unsur kesepakatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Dengan demikian menimbulkan hak dan kewajiban. Tiap manusia sebagai subyek hukum mempunyai hak dan kewajiban. Tindakan atau perbuatan dokter dan dokter gigi sebagai subyek hukum dalam pergaulan masyarakat, dapat dibedakan antara tindakannya sehari-hari yang tidak berkaitan dengan profesi dan tindakan yang berkaitan dengan pelaksanaan profesinya sebagai dokter. Demikian pula dengan tanggung jawab hukum seorang dokter, yaitu tanggung jawab  yang tidak berkaitan dengan profesi, dan tanggung jawab yang terkait dengan pelaksanaan profesinya. Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit, termasuk didalamnya pelayanan medis yang dilaksanakan atas dasar hubungan individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan penyembuhan. Dalam hubungan antara dokter dan pasien tersebut terjadi transaksi terapeutik artinya masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis yang sebaik-baiknya bagi pasien. Pelayanan medis ini dapat berupa penegakan diagnosis dengan benar sesuai prosedur, pemberian terapi, melakukan tindakan medik sesuai standar pelayanan medik, serta memberikan tindakan wajar yang memang diperlukan untuk kesembuhan pasiennya. Adanya upaya maksimal yang dilakukan dokter ini adalah bertujuan agar pasien tersebut dapat memperoleh hak yang diharapkannya dari transaksi yaitu kesembuhan ataupun pemulihan kesehatannya.  Namun adakalanya hasil yang dicapai tidak sesuai dengan harapan masing-masing pihak. Dokter tidak berhasil menyembuhkan pasien, adakalanya pasien menderita cacat atau bahkan sampai terjadi kematian dan tindakan dokterlah yang diduga sebagai penyebab kematian tersebut. Dalam hal terjadi peristiwa yang demikian inilah dokter sering kali dituduh melakukan kelalaian yang pada umumnya dianggap sebagai malpraktik medik.

          Tanggung jawab yang timbul berkaitan dengan pelaksanaan profesi dokter dan dokter gigi demikian luas, sehingga dokter juga harus mempunyai pengetahuan tentang hukum, mengerti dan memahami ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku terkait dengan pelaksanaan profesinya, termasuk tentang pemahaman hak-hak dan kewajiban dalam menjalankan profesinya sebagai dokter. Sebab penguasaan ilmu dan keterampilan saja tidaklah cukup bagi dokter dan dokter gigi karena bisa saja terjadi seorang dokter yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang tinggi dibidang keahliannya, benar-benar menggunakan ilmu dan keterampilannya guna menolong pasien demi kemanusiaan tanpa dipengaruhi pertimbangan finansial, namun karena perasaan tidak puas pasien atas upaya penyembuhan yang dilakukan oleh dokter tersebut, bisa berujung pada gugatan atau tuntutan pasien terhadap dokter yang bersangkutan ke pengadilan dengan dugaan telah melakukan malpraktik medik.

         Kesadaran dokter terhadap kewajiban hukumnya baik terhadap diri sendiri maupun orang lain dalam menjalankan profesinya harus benar-benar dipahami oleh dokter sebagai pengemban hak dan kewajiban. Kewajiban hukum pada intinya menyangkut apa yang boleh  dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh seorang dokter, atau apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan dalam menjalankan profesi dokter.

         Kewajiban hukum dokter mencakup kewajiban hukum yang timbul karena profesinya dan kewajiban yang timbul dari perjanjian terapeutik yang dilakukan dalam hubungan dokter dengan pasien. Kewajiban tersebut mengikat setiap dokter yang selanjutnya menimbulkan tanggung jawab hukum bagi diri dokter yang bersangkutan. Tanggung jawab hukum yang harus dipenuhi dokter pada dasarnya meliputi 3 bentuk pertanggungjawaban, yaitu :
    • Pertanggungjawaban di bidang Hukum Perdata, antara lain :Buku III BW tentang Hukum Perikatan (Pasal 1365, dll)
    • Pertanggungjawaban  di bidang Hukum Administrasi dimuat dalam UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran
    • Pertanggungjawaban di bidang Hukum Pidana, antara lain :
    -          Kitab Undang Undang Hukum Pidana (UU No.1/1946) ; Pasal 267 (1), 322;
    -          Ketentuan Pidana dalam UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran;
    -          Ketentuan Pidana dalam UU No.36/2009 tentang Kesehatan
    2.      

    Berkenaan dengan  uraian menyangkut bentuk-bentuk pertanggungjawaban hukum seorang dokter/dokter gigi dalam menjalankan profesinya tersebut diatas, salah satu diantaranya adalah pertangungjawaban hukum dalam bidang Hukum pidana. Namun sebelum membahas lebih jauh mengenai pertangungjawaban dalam Hukum Pidana, ada baiknya ditelisik beberapa hal terkait dengan Hukum Pidana ;

    PENGERTIAN HUKUM PIDANA

    Banyak sarjana yang mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian Hukum Pidana, satu diantaranya Moeljatno memberi definisi bahwa Hukum Pidana adalah bagian dari hukum yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan :
    -          Perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman sanksi berupa suatu pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut;
    -          Kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi  pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
    -          Dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.(S.R. Sianturi, 1986 : 14)

    Adapun tujuan hukum pidana :

    1. Untuk menakut-nakuti setiap orang agar jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik (yang dilarang);
    2. Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik (yang dilarang) menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkungannya (R. Abdoel Djamali, 2000:157)
    1.    

    PENGERTIAN TINDAK PIDANA

    Tindak pidana oleh sebagian sarjana disebut sebagai terjemahan kata strafbaar feit, yang juga dapat diterjemahkan sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana, delik, dsb. Oleh Prof. Simons, strafbaar feit dirumuskan sebagai :
    1. Harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan  sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum;
    2. Agar suatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi unsur dari delik seperti dirumuskan dalam undang-undang;
    3. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakekatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum.
     

     Unsur-unsur tindak pidana terdiri dari (Djamali, 2000:159) :

    • Unsur obyektif :

    Yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan menimbulkan akibat yang dilarang dengan ancaman hukuman. Titik utama dari unsur obyektif adalah tindakan atau perbuatannya. 

    • Unsur subyektif :

    Yaitu perbuatan seseorang yang menimbulkan akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang. Unsur subyektif ini lebih mengutamakan kepada pelaku yang dapat terdiri dari satu orang ataupun beberapa orang.

    Dalam konteks praktik kedokteran , unsur terjadiya tindak pidana dimulai ketika ada seorang dokter melakukan perbuatan yang sesuai dengan larangan yang tercantum dalam undang-undang yang diancam dengan hukuman.
    Sebagai contoh misalnya seorang dokter/dokter gigi melakukan praktik kedokteran tanpa Surat Izin Praktik. Keadaan semacam ini dapat disebut sebagai tindak pidana karena terpenuhinya  persyaratan sebagaimana dikemukakan oleh R. Abdoel Djamali tersebut diatas sebagai berikut :
              a.       Dokter/dokter gigi melakukan perbuatan yang dipahami oleh orang lain sebagai peristiwa yaitu melakukan praktik kedokteran.
        b.      Perbuatan itu sesuai  dengan yang tercantum di dalam ketentuan hukum yaitu pasal 36 juncto Pasal 76 UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran.
         c.       Terbukti dokter/dokter gigi telah melakukan kesalahan yaitu melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki Surat Izin Praktik (SIP) yang dapat dipertanggungjawabkan oleh dokter/dokter gigi tersebut.
        d.      Bagi dokter/dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran tanpa SIP, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak  Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) sebagaimana tercantum dalam Pasal 76 UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran.

    JENIS-JENIS TINDAK PIDANA (DELIK)

         A .    DELIK DOLUS DAN DELIK CULPA

    Delik dolus merupakan delik yang dilakukan dengan sengaja, contoh Pasal 338 KUHP : “dengan sengaja menyebabkan matinya orang lain.
    Delik culpa merupakan perbuatan pidana yang tidak sengaja atau merupakan kealpaan/kelalaian, contoh Pasal 359 KUHP: “karena kelalaiannya/kekhilafannya menyebabkan orang mati...”
    Perbedaaan kesengajaan dan kealpaan.
    Mengenai kesengajaan, KUHP tidak menjelaskan apa arti kesengajaan tersebut. Dalam Memorie van Toelichting (MvT), kesengajaan diartikan yaitu melakukan perbuatan yang dilarang dengan dikehendaki dan diketahui.

    Dalam tindakannya, seorang dokter terkadang harus dengan sengaja menyakiti atau menimbulkan luka pada tubuh pasien, misalnya : seorang ahli dokter kandungan yang melakukan pembedahan Sectio Caesaria untuk menyelamatkan ibu dan janin. Ilmu pengetahuan (doktrin) mengartikan tindakan dokter tersebut sebagai penganiayaan karena arti dan penganiayaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. Didalam semua jenis pembedahan sebagaimana sectio caesare tersebut, dokter operator selalu menyakiti penderita dengan menimbulkan luka pada pasien yang jika tidak karena perintah Undang-Undang “si pembuat luka” dapat dikenakan sanksi pidana penganiayaan. Oleh karena itu, didalam setiap pembedahan, dokter operator haruslah berhati-hati agar luka yang diakibatkannya tersebut tidak menimbulkan masalah kelak di kemudian hari. Misalnya terjadi infeksi nosokomial (infeksi yang terjadi akibat dilakukannya pembedahan) sehingga luka operasi tidak bisa menutup. Bila ini terjadi dokter dianggap melakukan kelalaian atau kealpaan.

    Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan, akan tetapi juga bukan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Dalam kealpaan sikap batin seseorang menghendaki melakukan perbuatan akan tetapi sama sekali tidak menghendaki ada niatan jahat dari petindak. Walaupun demikian, kealpaan yang membahayakan keamanan dan keselamatan orang lain tetap harus dipidanakan.

    Moeljatno menyatakan bahwa kesengajaan merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan dengan menentang larangan, sedangkan kealpaan adalah kekurang perhatian pelaku terhadap obyek dengan tidak disadari bahwa akibatnya merupakan keadaan yang dilarang, sehingga kesalahan yang berbentuk kealpaan pada hakekatnya sama dengan kesengajaan hanya berbeda gradasi saja.


          B.     DELIK COMMISSIONIS DAN DELIK OMMISIONNIS

    Delik Commissionis merupakan tindak pidana yang terjadi karena seseorang berbuat sesuatu (melakukan sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan pidana, misalnya mencuri( 362 KUHP), menggelapkan (372 KUHP), atau menipu (378 KUHP)

    Dalam praktik kedokteran  misalnya melakukan praktik kedokteran tanpa SIP (Pasal 76 UU Praktik Kedokteran), melakukan praktik kedokteran tanpa membuat rekam medis (Pasal 79 huruf b UU Praktik Kedokteran).
    Delik ommissionis adalah perbuatan yang dikualifikasi sebagai tindak  pidana karena seseorang tidak berbuat atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dia lakukan. Misalnya Pasal 164, 224 KUHP.

    Dokter/dokter gigi dapat juga terkena delik ommissionis berdasarkan Pasal 79 huruf c UU Praktik kedokteran, misalnya tidak memberikan pertolongan darurat atas dasar perikemanusian, padahal ia mengetahuitidak ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya (Kewajiban dokter >Pasal 51 huruf d UU Praktik Kedokteran), tidak menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau ilmu kedokteran gigi yang menjadi kewajiban dokter sebagaiman tercantum didalam pasal 51 huruf e UU Praktik Kedokteran.

    Selain kedua delik tersebut, Moeljatno (200: 76) menyisipkan lagi istilah delikta commissionis peromissionis commisa yaitu tindak pidana yang umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat juga dilakukan dengan tidak berbuat sesuatu, misalnya seorang ibu yang ingin menghilangkan nyawa bayinya dengan tidak memberi air susu/makanan bayi. 

    Seorang dokter/dokter gigi yang sengaja tidak memberikan obat kepada pasien yang menderita penyakit kronis yang telah menerima pelayanan medis rutin dari dokter/dokter gigi tersebut juga dapat dikategorikan ke dalam bentuk delikta commissionis peromissionis commisa.

            d.      Delik Materiil dan delik Formil 

            e.       Delik Umum dan delik khusus

            f.       Delik Umum dan delik Aduan

            g.      Dst.


    LihatTutupKomentar