Hukum Agraria

    Hukum Agraria


    Orintasi kerakyatan yang menjadi semangat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) paling tidak jika ditilik pada beberapa pasal yang berpifak pada rakyat, serta ditetapkan UU No. 56 2/1960 tetang perjanjian Bagi Hasil (tanah pertanian) dan UU No. 56 Prp/1960 tetang Penetapan Luas Tanah Pertanian sedikit demi sedikit terkikis oleh sifat kapitkalisti. Konflik muncul dari perbedaan kepentingan antara rakyat banyak yang membutuhkan tanah sebagai sumber pokok kehidupan, dengan pihak-pihak lain yang membutuhkan tanah tersebut untuk kegiatan ekonomi dalam skala besar. Meski tanah memang langka karena tidak bias diperbarui , silang sengketa antara rakyat dengan pemodal ini lebih disebabkan oleh ekspansi modal secara besar-besar. Dalam kontek ini, para pemodal diuntungkan oleh kebijakan ekonomi yang lebih condong pada pertumbuhan ketimbang pemerataan ekonomi. Inilah yang melatar belakangi perlu diselenggarakan seminar ini kata ketua Panitia Irwan Hayat QH. seminar ini terselenggara atas kerjasama Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fak. Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta (UJB) dengan Forum Silaturahim Keluarga Mahasiswa Madura Yogyakarta. Pada hari Senen, (29/6) di Auditorium Universitas Janabdara.

    Seminar tersebut dibuka oleh Wakil Rektor I UJB Dr. Cungki Kusharjito, MP, menyampaikan bahwa masalah tanah merupakn masalah yang sangat pelik dan jika tidak hati-hati akan dapat menimbulkan pertentangan dan pertengkaran, untuk itu dalam seminar ini dharapakan dapat menghasilkan Sesuatu masukan masalah pertanahan di DIY khususnya maupun nasional.

    Kesempatan Triyono, SH (kepala Kantor Pertanahan Yogyakarta menyampaikan bahwa untuk meningkatkan pelaksanaan pelayanan pensertipikatan tanah dan program penguatan hak-hak rakyat atas tanah di Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta, di antaranya: meningkakan pemahaman aparat tentang konsep pembaruan agrarian serta menggiatkan mencari/memperoleh dukungan anggaran baik dari APBN maupun APBD Kota Yogyakarta; mengembangkan kerjasama lintas sector serta memfasilitasi pembentukan kelompok masyarakat pertanahan dalam rangka sosialisasi program kepada pemerintah da DPRD kota Yogyakarta; memperkuat/melengkapi data melalui survey data penguasaan tanah rakyat miskin dan berkoordinasi dengan instansi terkait dalam rangka pelayanan pensertipikatan tanah bagi masyarakat miskin di kota Yogyakarta.

    Dr. Nurhasan Ismail, SH, M.Si menyampaikan pada hakekatnya, kasus pertanahan dapat dikategorikan kedalam konflik hokum dan konflik kepentingan. Pembedaan ini sangat penting jika penyelesaian yang ditempuh tidak hanya sekedar menghentikan bentrok fisik dan keresahan social yang muncul dari konflik pertanahan serta pemberian kepastian dan perlindungan hokum bagi pihak yang berkonflik. Namun penyelesian itu juga hendaknya berimplikasi positif bagi penciptaan dan peningkatan kemakmuraan warga masyarakat.

    Lebih lanjut Nurhasan untuk menyelesaikan konflik hukum dapat ditempuh dengan salah satu cara diantara a. pengajuan gugatan kepada pengadilan untuk meminta kepada hakim menilai adanya kesalahan dan menetapkan kebenaran berkenaan dengan objek konflik, b. penyelesaian melalui acara di luar pengadilan seperti negosiasi yang dilakukan langsung melalui musyawarah antara pihak-pihak yang berkonflik atau dilakukan dengan melibatkan pihak ke tiga baik sebagai mediator atau sebagai arbitrer. c. Penyelesaian yang dilakukan secara internal oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional terutama terhadap kesalahan administrative yang menyebabkan merugikan pemilik tanah dengan cara memperbaiki atau menyesuaikan data fisik dan yuridis yang dinilai salah.

    Cara penyelesaian konflik kepentingan Nurhasan (Dosen Fak. Hukum UGM) menegaskan cara efektif untuk menyelesaikan konflik ini adalah sikap keberpihakan para pengambil kebijakan di bidang pertanahan terhadap kepentingan pihak yang lemah yang sungguh-sungguh lapar dan memerlukan tanah. Pemerinth harus menempatkan diri sebagai pelaksana Negara yang harus mewujudkan semangat tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan menanggalkan semangat tanah untuk menyengsarakan rakyat.

    Sedangakan Dr. H Budi Untung, SH., MM (Dosen Fak. Hukum UJB) konflik pertanahan muncul karena a. Konkordasi hukum dan adanya penyesuaian aturan.

    Jaman hindia belanda--Politik pertanahan--pengadaannya dengan agraris wet

    Dengan adanya asas konkordansi -- Untuk orang pribumi dengan menggunakan hokum adat sedangkan yang bukan dengan BW

    Tujuan hukum untuk menjamin kepastian hokum bagi orang2—akan berakibat pada Tertib administrasinya

    Di Indonesia banyak sekali politik2 yang dilakuan sehingga membuat bingung warganya.

    Hukum Pertanahan Nasional

    Karakteristik Hukum Pertanahan Nasional:

    1. Didasarkan pada hukum adat yang memberikan kepastian hukum.
    2. Hukum pertanahan harus up to date artinya mengikuti pekembangan Bangsa Indonesia.
    3. Harus bisa memfungsikan sumber alam bagi kemakmuran bangsa Indonesia.
    4. Harus dijiwai Pancasila
    5. Harus merupakan penjabaran dari Pasal 33 ayat (3) UUD’45


    Heru Suyanto, SH., M.Si (Wkil dari Badan Pertanahan DIY) BPN ingin memastikan hak2 atas tanah di yogyakarta. Melalui Pembaharuan agrarian dan Penguatan hak rakyat

    Dalam sejarah, di DIY UUPA sudah berlangsung sejak 1984. sudah 80% berserifikat. Yogyakrta sudah dapat dikatakan sebagai acuan di kota2 lain. Haya tinggal menyesuaikan dengan konsep UUPA. BPN sedang melakuan pendataan di kelurahan. Sampai saat ini belum ada penguasaan tahan dari rakyat miskin. Kita harus bisa menjadikan kemakmuran dari kita


    LihatTutupKomentar