Tindak Pidana Perbuatan Cabul


    Pengertian Perbuatan Cabul

    Perbuatan Cabul adalah Segala ancaman wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun pada orang lain mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang seksual.

     

    Misalnya, mengelus-elus atau menggosok-gosok penis atau vagina, memegang buah dada, mencium mulut seorang perempuan dan sebagainya. 

     

    Bahkan persetubuhan pun dapat disebut dengan perbuatan cabul. Kecuali dalam Pasal 289. Mengapa begitu? Karena apabila perbuatan memaksa ditujukan untuk bersetubuh, dan persetubuhan terjadi bukan Pasal 289 yang timbul, akan tetapi pemerkosaan untuk bersetubuh (Pasal 285) (Menurut Adami Chazawi (2005 : 80)).



    Terdapat perbedaan definisi pencabulan pada berbagai Negara. Bila melihat definisi pencabulan yang diambil dari Amerika Serikat, maka definisi pencabulan yang diambil dari The National Center on Child Abuse and Neglect US,  ’sexual assault’ adalah “Kontak atau interaksi antara anak dan orang dewasa dimana anak tersebut dipergunakan untuk stimulasi seksual oleh pelaku atau orang lain yang berada dalam posisi memiliki kekuatan atau kendali atas korban”. Termasuk kontak fisik yang tidak pantas, membuat anak melihat tindakan seksual atau pornografi, menggunakan seorang anak untuk membuat pornografi atau memperlihatkan alat genital orang dewasa kepada anak.



    Sedangkan Belanda memberikan pengertian yang lebih umum untuk pencabulan, yaitu persetubuhan di luar perkawinan yang dilarang yang diancam pidana. Indonesia sendiri tidak memiliki pengertian kata ’pencabulan’ yang cukup jelas. Bila mengambil definisi dari buku Kejahatan Seks dan Aspek Medikolegal Gangguan Psikoseksual, maka definisi pencabulan adalah semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan seksual sekaligus mengganggu kehormatan kesusilaan. Namun, tidak ada definisi hukum yang jelas yang menjelaskan arti kata pencabulan itu sendiri, baik dalam KUHP, UU Perlindungan Anak maupun UU anti KDRT.[1]



    Ketentuan mengenai perbuatan cabul diatur dalam pasal289 KUHP, sebagai berikut: Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.


    Kamus Besar Bahasa Indonesia[2] memuat arti kata cabul yaitu “keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan)”. Dalam Kamus Lengkap, S Wojowasito, Tito Wasito dimuat artinya dalam Bahasa Inggris, yaitu “indecent, dissolute , poenographical”.



    Persepsi terhadap kata cabul dan perbuatan cabul sendiri tidak dimuat dalam KUHP. J. M. Van Bemmelen[3]Leden Marpaung, 2008 : 64) terhadap arti kata cabul mengutarakan antara lain :


    Pembuat undang-undang sendiri tidak memberikan keterangan yang jelas tentang pengertian cabul dan perbuatan cabul dan sama sekali menyerahkan kepada hakim untuk memutuskan apakah suatu tindakan tertentu harus atau dapat dianggap sebagai perbuatan cabul atau tidak.[4]



    Walaupun dalam KUHP tidak dirumuskan pengertian perbuatan cabul, namun banyak ahli hukum yang mencoba mendefinisikan perbuatan cabul. R. Soesilo[5]  memberikan definisi perbuatan cabul yaitu :


    Segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya; cim-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dsb. Persetubuhan masuk pula dalam pengertian cabul.



    Definisi yang tidak jauh berbeda mengenai perbuatan cabul dijelaskan pula dalaam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 1993 (RUU KUHP), yaitu “segala perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan atau perbuatan lain yang keji dan semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin”. Andi Hamzah (2009 : 22) mengartikan perbuatan cabul sebagai “perbuatan melanggar perasaan malu”.



    Muh. Anwar (2006 : 231) mengemukakan bahwa “semua yang melanggar kesusilaan/kesopanan, tetapi juga setiap perbuatan terhadap badan baik badan sendiri maupun badan orang lain melanggar kesopanan adalah perbuatan cabul”.[6]



    Definisi Muh. Anwar diatas dijelaskan bahwa perbuatan cabul dapat dilakukan terhadap badan sendiri maupun orang lain. Lebih tegas Adami Chazawi (2005 : 80) mengemukakan perbuatan cabul sebagai:


    Segala ancaman wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun pada orang lain mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang seksual. Misalnya, mengelus-elus atau menggosok-gosok penis atau vagina, memegang buah dada, mencium mulut seorang perempuan dan sebagainya. Bahkan persetubuhan pun dapat disebut dengan perbuatan cabul. Kecuali dalam Pasal 289. Mengapa begitu? Karena apabila perbuatan memaksa ditujukan untuk bersetubuh, dan persetubuhan terjadi bukan Pasal 289 yang timbul, akan tetapi pemerkosaan untuk bersetubuh (Pasal 285).



    Menurut pendapat penulis sendiri perbuatan cabul merupakan segala perbuatan yang hanya sepihak yang berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat menimbulkan nafsu seksual.



    Dari uraian mengenai perbuatan cabul diatas, terlihat bahwa beberapa pakar mengartikan perbuatan cabul dalam artian yang luas karena persetubuhan juga merupakan bagian dari perbuatan cabul. Hal ini sesuai dengan komentar para penulis Belanda (Wirjono Prodjodikoro, 2008 :118), bahwa “perbuatan yang dipaksakan dalam Pasal 289 (perbuatan cabul) merupakan pengertian umum dari bersetubuh dari Pasal 285 sebagai perbuatan khusus”.



    Berdasarkan uraian tersebut, nampak bahwa perbuatan cabul pada pokoknya meliputi segala perbuatan yang melanggar kesusilaan yang dapat merangsang nafsu birahi kelamin termasuk juga bersetubuh. Hal ini dihubungkan dengan sulitnya pembuktian persetubuhan khususnya tentang unsur telah terjadinya persetubuhan (Adami Chazawi, 2005 : 80). Dimana terdapat beberapa pendapat.



    Menurut Arrest Hoge Raad (R. Soesilo,1991 : 209) bahwa yang dimaksud dengan persetubuhan yaitu “ peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki harus masuk kedalam anggota perempuan”.[7]



    Dari pengertian tersebut jelas bahwa persetubuhan itu terjadi setelah alat kelamin laki-laki masuk kedalam alat kelamin perempuan sampai mengeluarkan spermaa dan dapat mengaakibaatkan kehamilan.



    Menurut M. tirtaamidjaja (Leden Marpaung, 2008 : 53) diartikan sebagai :

    Persentuhan sebelah dalam dari kemaluan si laki-laki dan perempuan, yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan. Tidak perlu bahwa telah terjadi pengeluaran air mani dalam kemaluan si perempuan.



    Bersetubuh menurut Leden Marpaung (2008 : 53)berarti bahwa “penis telah penetrasi (masuk) ke dalam vagina”. [8]Dalam pengertiannya ini tidak dijelaskan apakah disyaratkan terjadi pengeluaran sperma yang dapat menyebabkan kehamilan.



    Mengenai perbuatan cabul dan persetubuhan adami Chazawi (2005 : 80) mengemukakan bahwa:

    Pengertian perbuatan cabul lebih luas dari pengertian bersetubuh. Sebagaimana pengertian bersetubuh menurut Hoge Raad (HR) yang mengandung pengertian perpaduan alat kelamin perempuan, dimana disyaratkan masuknya penis kedalam liang vagina, kemudian pria mengeluarkan sperma sebagaimana biasanya membuahkan kehamilan. Sementara itu, apa bila memenuhi salah satu syarat saja, misalnya penis belum masuk spermanya sudah keluar, kejadian ini bukan persetubuhan namanya, tetapi perbuatan cabul sehingga bila dilakukan dengan memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, kejadian itu adalah perkosaan berbuat cabul menurut Pasal 289 ini


    Bertitik tolak dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perbuaatan cabul pada pokoknya meliputi segala perbuatan yang melanggar kesusilaan yang dapat merangsang nafsu birahi kelamin yang termasuk juga persetubuhan. Hal ini dihubungkan dengan sulitnya pembuktian perkosaan bersetubuh  khususnya tentang unsur telah terjadinya persetubuhan. Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai persetubuhan menurut putusan HR diatas, dimana disyaratkan masuknya penis diliang vagina, kemudian pria mengeluarkan sperma sebagaimana biasanya membuahkan kehamilan jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka bukan merupakan persetubuhan melainkan perbuatan cabul.



    Catatan Kaki:

    • [1]http://yuyantilalata.blogspot.co.id/2012/10/tindak-pidana-pencabulan.html Diakses 12 april 2017 pukul 22.30 wita
    •  [2] W.J.S. Poerwadarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2001, hlm 432
    •  [3] Leden Marpaung, 2008 , Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Penerbit  Sinar Grafik, Jakarta, hlm 74
    • [4] ibid
    • [5] R. Soesilo, 1997, Kitab Undang undang Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa, Jogyakarta, hlm 49
    • [6] Muh. Anwar, 2006. Hukum Pidana Bagian Khusus, Penerbit Alumni, Bandung
    • [7] R. Soesilo, 1991. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Penerbit Politeia, Bogor
    •  [8] Ibid



    LihatTutupKomentar