KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur penulis Panjatkan kepada Tuhan yang maha kuasa karena atas karunianya yang tiada taranya telah dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan MAKALAH yang berjudul “KONSEP HAK KEPEMILIKAN TANAH HUKUM BARAT DENGAN KONSEP HAK KEPEMILIKAN TANAH HUKUM INDONESIA (UUPA) yang merupakan salah satu tugas hukum agraria yang di berikan oleh dosen.
Dalam makalah ini kami membahas mengenai konsep kepemilikan atas tanah berdasarkan kaca mata ( sudut pandang ) hukum barat dan kaca mata indonesia yang berdasarkan hukum adat yang merupakan hukum asli indoneia sehingga di jadikan landasan dasar filosofis hukum nasional pertanahan indonesia yaitu UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA yang di singkat UUPA.
Dalam menyelesaikan makalah ini, penulis menemukan sedikit hambatan seperti kurangnya literatur dan masih sedikitnya wawasan penulis, tetapi atas dorongan dan bimbingan yang di berikan oleh dosen pembimbing bapak DR H Supriadi S.H. M.Hum saya ucapkan banyak terimakasih karena telah membina kami dengan baik dan sabar sehingga penulis dapat menemukan jati dirinnya sebagai bhakta tuhan dan sebagai nasionalis indonesia.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, namun demikian telah memberikan manfaat bagi Penulis. Akhir kata Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Kritik dan saran yang bersifat menbangun sangat di butuhkan penulis sebagai bahan koreksi diri, karena tidak ada manusia yang luput dari kesalahan.
Palu, 17 oktober 2016
Penulis
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Latar belakang
Indonesia sebagai negara agraris haruslah memiliki konsep-konsep dasar pemahaman mengenai hak milik atas tanah berdasarkan cara pandang indonesia sebagai negara berkultur sosialis yaitu asas ke gotong-royongan, bukan berdasarkan hukum barat yang individualis liberal seperti hak eingendom atau hak perseorangan.
Hukum pertanahan indonesia bukanlah berdarkan kosep hukum barat warisan belanda tetapi berdasarkan hukum adat. Karena ketika waktu penyusunan Undang-undang pokok agraria, pembentuk undang-undang di parlemen memasukan hukum adat sebagai landasan filosofis, walaupun masih ada ada anggapan bahwa UUPA adalah produk hasil batan PKI, tetapi nyatanya masih berlaku hingga sekarang. UUPA adalah produk hukum buatan anak bangsa asli, berdasarkan konsep pemikiran hukum asli indonesia mengenai pertanahan yaitu Hukum Adat. Sehingga undang- undang ini sangat cocok dan sesuai dengan budaya indonesia yang penuh keanekaragaman.
Hukum pertanahan nasional merupakan peraturan hukum yang sangat vital, karena tanah merupakan unsur penting dalam hidup manusia. Untuk itu kesalahan sedikit terhadap pemahaman mengenai konsep hak milik, akan berdampak buruk terhadap sistem hukum itu sendiri terutama mengenai hukum tanah. Akhir-akhir ini banyak masyrakat tidak paham mengenai konsep hak milik, bahkan oleh pemerintah itu sendiri, sehingga terjadi kesalahan paradigma yang menyebabkan terjadinya kekacauan sistem hukum itu sendiri. Itu semua terjadi karena masyrakat keliru dalam memahami konsep hak milik berdasarkan hukum pertanahan indonesia (UUPA).
Kebanyakan masyarakat cenderung memandang konsep hak milik berdasarkan hukum barat. Ini terjadi karena pengaruh globalisai paham indiviualistik-liberal yang menuntut kebebasan individu. Sehingga masyarakat beranggapan bahwa hak milik itu mutlak atau tidak bisa di ganggu gugat, padahal menurut UUPA semua tanah memiliki fungsi sosial, ini berarti di dalam hak milik individu di situ ada kepemtingan bersama, dan di dalam kepentingangan bersama itu untuk kebaikan individu itu sendiri, semua tanah dapat diambil untuk kepentingan umum atau kepentingan bersama rakyat.
Di dalam hukum adat yang dianut asas kepentingan masyarakat lebih utama dari individu, di dalam kepentingan masyarakat atau kelompok sudah ada kepentingan individu. Kalau hukum barat itu cenderung individual sentris, yaitu kepentingaan individu di atas kepentingan masyarakat atau kelompok, sehingga kepentingan kelompok itu d isingkirkan. Antara barat dan timur itu saling bertentangan, kita sebagai bangsa timur harus menjunjung tingggi budaya dan tradisi luhur kita walaupun di era globalisasi barat, jika kita meninggalkan budya kita sendiri, kita pasti akan musnah.
Rumusan Masalah
- Bagaimana sejarah hukum agraria di indonesia?
- Apa yang di maksud dengan konsep hak milik tanah berdasarkan hukum barat ?
- Apa yang di maksud dengan konsep hak milik tanah berdasarkan hukum indonesia (UUPA) ?
Tujuan penulisan
- Untuk menumbuhkan kembali pemahaman konsep hak milik berasarkan hukum indonesia (UUPA)
- Agar masyarakat dapat memahami perbedaan konsep hak milik antara hukum barat dengan hukum indonesia
PEMBAHASAN
Sejarah Hukum Agraria Indonesia
Sebelum membahas mengenai konsep hak milik alangkah baiknya terlebih dahulu di bahas sejaarahnya. Karena melalui sejarah kita bisa mengetahui kejadian di masa lalu. Hukum Agraria Indonesia mengalami sejarah yang panjang. Mulai dari jaman sebelum penjajahan bangsa barat, masa penjajahan kolonial Belanda, hinga era kemerdekaan indonesia.
Sebelum masa penjajahan, hukum pertanahan yang berlaku adalah hukum adat. Hukum adat adalah hukum asli indonesia yang mengatur segala kehidupan masyarakat adat. Termasuk mengenai pertanahan. Dalam masyarakat adat telah ada penguasaan dan pemilikan tanah yang di atur sesuai dengan ketentuan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Ketentuan yang mengatur mengenai penguasaan atas tanah yang tedapat di dalam masyarakat bercirikan tidak tertulis, karena hukum adat adalah hukum yang tumbuh dan berkembang dari kebiasaan masyarakat adat.
Hak milik adat pada prinsipnya sudah ada dan melekat pada masyarakat hukum adat yang tersebar di seluruh Indonesia dan diberlakukan turun temurun. Secara ilmiah hak milik adat nanti dilukiskan dan digambarkan oleh para pakar hukum Belanda yang melakukan penelitian tentang adat dan hukum adat. Snouck Hurgoniye pakar pertama yang menemukan istilah adatrecht dalam bukunya De Atjehers dan het gayolan, yang membuat perhatian terhadap hukum adat sebagai ilmu pengetahuan hukum semakin meningkat. Peningkatan perhatian terhadap hukum adat juga terkait dengan pengkajian tentang hukum tanah adat dan hak milik adat. Van Vollenhoven dalam bukunya De Ontdekking Van Het Adatrecht menggambarkan tentang hukum tanah adat adalah hukum yang tumbuh di tengahtengah rakyat sendiri, dan dirasakan oleh masyarakat adat itu sendiri.
Konsep kepemilikan masyarakat adat yang merupakan kepemilikan komunal yaitu kepemilikan bersama seluruh anggota persekutuan hukum. Kepemilikan yang bersifat komunal dalam arti apapun dasarnya masyarakat adat dapat berkata sebidang tanah tersebut adalah kepunyaanku. Oleh sebab itu hubungan pemilik perorangan dan persekutuan hukum tidak bisa terpisahkan, merupakan suatu kesatuan yang utuh. Masyarakat adat lebih mengutamakan asas kebersamaan.
Hak milik merupakan kekayaan materil dan immateril dari suatu persekutuan hukum yang bersifat religius magis. Hubungan religius magis menyebabkan kedudukan dan kepemilikan suatu benda bukan hanya berhubungan dengan pemilik tapi dengan roh-roh leluhur. Jadi dalam konsep hak milik adat, hak milik atas tanah oleh perorangan merupakan bagian dari hak milik persekutuan hukum, selama seseorang menjadi anggota persekutuan hukum, maka orang tetap memiliki hak atas tanah. Hal ini merupakan perbedaan yang mendasar dengan kepemilikan menurut hukum barat yaitu kepemilikan pribadi atau privasi yang tidak ada sangkut paut dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum. Jadi sebelum penjajahan, hukum pertanahan yang berlaku adalah hukum adat.
Di era masa penjajahan bangsa Barat, bangsa Belanda menjajah bangsa Indonesia, Belanda mendatangkan peraturan hukum pertanahan yang berlaku di negaranya ke indonesia, yang kemudian di berlakukan terhadap masyarakat indonesia. Dengan demikian, keberadaan hukum agraria yang di bawa dari Belanda menggeser kedudukan dari hukum agraria yang telah di akui dan di taati oleh masyarakat adat tesebut.’
Oleh karena iu, dengan hadirnya pemerintahan hindia belanda, dengan sendirinya tanah-tanah yang ada di indonesia di atur oleh dua peraturan, yaitu peraturan adat yang tunduk pada hukum adat dan peraturan tanah yang tunduk pada hukum belanda , misalnya hak opstal, hak erpach, hak eigendom. Dengan adanya dua peraturan mengenai pertanahan, maka terjadilah dualisme dalam pengaturan hukum pertanahan di indonesia.
Akibat dri dualisme hukum pertanahan ersebut menyebabkan kekacauan hukum, dan meyebabkan tabrakan hukum, sehingga masyarakat menjadi kebingungan Sejarah Hukum agraria barat tersebut hanya mengatur sebatas perbuatan-perbuatan hukum yang dimungkin terhadap tanah-tanah yang berasal dari hukum agraria barat. (Catatan Kaki: Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 41. Karya ilmiah : Jemmy Sondakh, HAK MILIK ATAS TANAH MENURUT HUKUM ADAT (Eksistensi Pemanfaatan dan Tantangannya dalam Hukum Indonesia), Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado, 2014)
Sehingga tanah eigondom misalnya tidak dapat digadaikan menurut hukum agraria adat. Sejarah Hukum agraria saat itu belum sepenuhnya mengatur tanah-tanah dengan hak-hak Indonesia, meski ada beberapa tanah-tanah agrarisch eigendom milik kota Yogyakarta, Surakarta, dan tanah-tanah grant di Sumatra Timur.
Sejarah Hukum agraria adat mengatur tanah-tanah di Indonesia sepanjang tidak diadakan ketentuan khusus untuk hak-hak tertentu. Karena tidak semua tanah-tanah Indonesia adalah tanah-tanah yang mempunyai status sebagai hak-hak asli adat, tetapi ada juga yang berstatus buatan Belanda seperti tanah agrarisch eigondom. Hak tersebut ialah hak milik, yaitu hak Indonesia yang subjeknya terbatas pada orang-orang dari golongan Timur Asing, terutama Timur Asing Tionghwa.
Sifat Individualistis hukum barat yang di bawa Belanda dalam sejarah hukum agraria ini dapat diketahui dalam pengertian tentang hak eigendom sebagai hak atas benda yang penuh dan mutlak. Hak eigendom adalah hak yang memberi wewenang penuh untuk menikmati penggunaan tanah untuk berbuat bebas terhadap tanah itu dengan kekuasaan penuh, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya yang ditetapkan oleh badan-badan penguasa yang berwewenang dan tidak mengganggu hak-hak orang lain. Sejarah Hukum agraria barat dengan jelas menempatkan hak eigendom telah memberi wewenang kepada pemilik tanah yang bisa berbuat bebas dengan tanah yang dimilikinya. Dengan hak tersebut pemilik tanah bisa berbuat bebas untuk mempergunakan maupun tidak. Oleh karena itu hukum agraria barat ini tidak dapat terus dipertahankan.
Pada masa penjajahan jepang, sejarah hukum agraria yang berlaku sebelum masa penjajahan Jepang masih tetap berlaku, karena masa penjajahan yang begitu singkat, yaitu kurang lebih 3,5 tahun belum sempat terpikirkan untuk mengadakan perombakan terhadap hukum agraria, yaitu mengubah hukum pertanahan sisa peninggalan belanda di indonesia.
Tidak banyak yang dapat diuraikan tentang sejarah hukum agraria pada jaman Jepang, keculai kekacauan dan keadaan yang tidak menentu terhdap penguasaan dan hak- hak atas tanah sebagaimana layaknya pada keadaan perang. Mereka juga memaksakan agar tanah- tanah pertanian meningkatkan produksinya, yang mengakibat kerusakan pada tanah. Pemerintah jepang dalam melaksanakan kebijakan pertahanan dapat dkatakan hampir sama dengan kebijakan pemerintah hindia belanda. Penduduk jepang mengeluarkan suatu kebijakan yang dituangkan dalam Osamu Serey nomor 2 tahun 1944, dan Osamu Serey yang terakhir nomor 4 dan 25 tahun 1944.
Selanjutnya pada masa kemerdekaan indonesia, mulailah disusunya Undang-undang Pokok Agraria sebagai satu-satutunya hukum nasional yang mengatur mengenai pertanahan. Hukum pertanahan masa kolonial sudah tidak sesuai lagi dangan bangsa indonesia yang merdeka, karena hukum warisan kolonial melanggar rasa keadilan masyarakat dan tidak sesuai dengan budaya indonesia yang komunal-sosialis berdasarkan hukum adat. Di hapusnya hukum kolonial tesebut, maka berakhirlah dualisme hukum mengenai pertanahan.
Konsep Pemilikan Tanah Berdasarkan Hukum Barat
Konsep penguasaan dan pemilikan tanah menurut hukum barat berlandaskan pada konsepsi yang liberal-individualistik yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada individu guna memenuhi kebutuhan masing-masing. Keadaan i tu menimbulkan paham -individualistik yang ajarannya menekankan pada nilai utama pribadi, sehingga masyarakat hanya merupakan satu sarana untuk mencapai tujuan-tujuan pribdi.
Sifat Individualisme yang didasari pada konsepsi liberal seperti di Eropa Barat memandang hak milik perorangan sebagai hak yang tertinggi. Demikian pula, dengan hak milik atas tanah yang merupakan hak penguasaan tanah tertinggi yang disebut dengan Hak Eigendom (eigendom recht). Menurut konsep hukum hukum tanah barat, hak eigendom atas tanah merupakan hak primer yang bersumber pada kedudukan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang mempunyai hak untuk menikmati dan memiliki kekayaan alam yang diciptakan oleh Tuhan baginya.
Hukum tanah barat bersumber dari Burgerlijk Wetboek atau beberapa literatur Indonesia menyebutnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Berhubungan dianutnya asas konkordansi, maka Burgerlijk Wetboek yang berlaku di Belanda kemudian juga diberlakukan di Indonesia. Pengertian hak eigendom dalam Burgerlijk Wetboek adalah hak yang paling sempurna. Dalam sistem hukum tanah barat yang berkonsepsi individualistik, maka hak penguasaan atas tanah yang tertinggi ini adalah hak milik pribadi yang disebut dengan hak eigendom.
Di dalam KUH Perdata, yang merupakan induk dari ketentuan hukum yang mengatur hubungan yang secara pribadi, di anut asas perlekatan, yaitu asas yang melekatkan suatu benda pada benda pokoknya. Asas perlekatan ini terdiri atas perlekatan horizontal atau mendatar dan perlekatan vertikal. Asas perlekatantersebut di atur dalamperumusan pasal 500, pasal 506, dan pasal 507 KUH perdata.
Menurut Soebekti, asas perlekatan yang di anut oleh KUH Perdatahal mana terlihat dalam rumusan Pasal 500, pasal 506, pasal507 KUH Perdata. Berdasarkan asas asesi maka bend-benda yang melekat pada benda pokok, secara yuridis harus dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari benda pokoknya.
Dalam asas perlekatan ini, memberikan hak yang begitu luas pada individu dan kebebasan yang seluas luasnya. Asas ini mengandung arti bahwa individu bebas melakukan apapun terhadap tanah miliknya, semua benda, yang ada baik secara vertikal maupun horizontal menjadi hak milik individu secara mutlak dan tidak (Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 4-6) dapat di ganggu gugat baik oleh pemerintah, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang dan hak orang lain. Bahkan sumber daya alam yang berada di bawahnya di kuasai oleh individu.
Dalam hukum barat juga di kenal yang namanya hak eingendom atau hak perseorangan atas tanah Setiap orang yang mempunyai hak eigendom atas tanah dapat berbuat apa saja atas tanah tersebut, baik untuk menjual, menggadaikan, menghibahkan, bahkan merusakkannya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau hak orang lain.
Selain itu, berdasarkan konsepsi hukum barat, pada saat tanah masih cukup dan dianggap merupakan tanah tidak bertuan (res nullius), maka atas dasar hak asasi yang dikaruniakan kepadanya oleh sang pencipta, setiap individu dengan cara menguasai secara fisik (occupasi) sebidang tanah tak bertuan, akan menciptakan hubungan hukum antara dirinya dengan tanah tersebut, kemudian menjadi haknya atau eigendomnya.
Konsep hukum barat tersebut mempengaruhi sistem penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia, khususnya pada masa penjajahan Belanda. Dalam masa penjajahan ini, peraturan hukum pertanahan yang diberlakukan sangat dipengaruhi oleh Hukum Barat termasuk peraturan hukum pertanahan. Sebagaimana dipahami, bahwa sifat hukum barat adalah individualistik, maka hukum yang diberlakukan di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) juga bersifat individualistis, yaitu sistem hukum yang berasal dari masyarakat Eropa, khususnya dari Perancis yang kapitalistik yang tercermin dalam Code Civil Perancis. Oleh karena, Belanda pernah dijajah oleh Perancis, maka akibatnya Code Civil Perancis ini pun diberlakukan di Belanda pada tahun 1811 hingga 1 Oktober 1838. Code Civil itu menegaskan bahwa hak milik itu memberikan kemampuan yang seluas-luasnya untuk menikmati benda yang merupakan hak miliknya. Di samping itu memberikan pula penguasaan yang semutlak-mutlaknya atas benda yang dimilikinya.
Secara sejarah, bahwa ketika Bangsa Belanda untuk pertama kalinya datang ke Indonesia dalam misi perdagangan, mereka belum memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan penguasaan tanah. Barulah ketika Inggris datang ke Indonesia yang kemudian mencoba mencari pembenaran (jutification) secara ilmiah mengenai hubungan kekuasaan mereka dengan tanah di Indonesia, dengan menggunakan suatu teori yang disebut dengan “Teori Domein”.
Teori Domein ini untuk pertama kalinya diterapkan oleh Thomas Stamford Raffles. Teori ini diterapkan untuk memberikan landasan hukum dan mempertanggungjawabkan pungutan (pajak) yang diadakannya pada waktu menjabat Lieutenant Governor (Gubernur Jenderal) di Jawa pada masa pemerintahan sisipan Inggris Tahun 1811-1816.
Raffles sebagai gubernur jenderal menginginkan agar langkah politiknya memperoleh pembenaran, baik secara hukum maupun secara ilmiah, maka Raffles memerintahkan kepada Collin Mackenzei untuk mengadakan penelitian mengenai pemilikan tanah di daerah-daerah swapraja di Jawa. Hasilnya menunjukkan bahwa ternyata semua tanah yang dikuasai oleh rakyat adalah milik raja, sedangkan rakyat hanya sekadar memakai dan menggarapnya. Atas dasar hasil laporan itu, maka Raffles menyatakan bahwa tanah-tanah di daerah kekuasaannya semuanya adalah milik Raja di Jawa. Dengan demikian, karena kekuasaan telah berpindah dari Pemerintah Inggris, maka sebagai akibat hukumnya hak-hak pemilikan atas tanah tersebut dengan sendirinya beralih pula kepada Raja Inggris. Oleh karena itu, tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan oleh rakyat itu bukan miliknya, melainkan milik Raja Inggris, sehingga mereka wajib memberikan sesuatu kepada Raja Inggris sebagaimana sebelumnya diberikan kepada Raja-Raja mereka sendiri. Hal yang menjadi kewajiban untuk diberikan tersebut dikenal dengan istilah landrente Raffles.
Sistem penarikan pajak bumi yang diterapkan oleh Raffles dengan nama landrente itu tidak langsung dibebankan kepada petani, tetapi pada desa. Kepala Desa diberikan kekuasaan untuk menetapkan jumlah sewa yang wajib dibayar oleh tiap petani. Selain itu, Kepala Desa juga diberikan kekuasaan penuh dengan mengadakan perubahan pada pemilikan tanah oleh para petani, jika hal itu diperlukan guna memperlancar landrente. Dalam hal ini, Kepala Desa berwenang untuk mengurangi luasnya atau mencabut penguasaanya, jika petani yang bersangkutan tidak mau atau tidak mampu membayar landrente yang ditetapkan baginya. Tanah yang bersangkutan akan diberikan kepada petani lain yang sanggung untuk memenuhinya.
Teori Domein Raffles ini kemudian diteruskan penerapannya oleh Belanda, terutama untuk membenarkan negara memberikan tanah kepada pihak swasta untuk keperluan memperluas usaha dagangnya. Landasan hukum penerapan teori domein adalah Agrarische Wet yaitu suatu undang-undang keagrariaann yang dibuat di Negeri Belanda yang diundangkan dalam Staatsblad 1870 No. 55 (disingkat dengan S.1870-55) yang bertujuan untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada pihak swasta untuk berkembang di Hindia Belanda, khususnya dalam hal penguasaan hak atas tanah. Berdasarkan ketentuan Agrarische Wet tersebut, maka diundangkanlah suatu peraturan pelaksanaanya dalam suatu Koningklijk Besluit yang lebih dikenal dengan Keputusan Agraria (Agrarische Besluit) yang diundangkan dalam Staatsblad 1870 No. 118.[6]
Boedi Harsono menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam Pasal 1 Agrarische Besluit dimuat suatu pernyataan asas yang sangat penting bagi perkembangan dan pelaksaan Hukum Tanah Administrasi Hindia Belanda. Asas tersebut dinilai kurang kurang menghargai, bahkan mengebiri/”memperkosa” hak-hak rakyat atas tanah yang bersumber pada Hukum Adat. Asas tersebut dikenal dengan “Asas Domein Verklaring” bahwa:
“behoundens opvolging van de tweede en derde bepaling der voormelde wet, blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle ground, waarop niet door anderen regt van eigendom wordt bewezen, domein van de Staat is.”
Jika diterjemahkan, maksudnya adalah dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 2 dan 3 Agrarische Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein (milik) negara.
Pernyataan domein dalam Agrarische Besluit yang semula hanya diberlakukan di Jawa dan Madura, tetapi kemudian diberlakukan juga untuk daerah pemerintahan langsung di luar Jawa dan Madura, dengan suatu ordonansi yang diundangkan dalam S.1875-199a. Sehubungan dengan itu, dalam perundang-undangan agraria dikenal “Pernyataan Domein yang Umum” (Algemene Domein Verklaring). Dengan pernyataan domein ini, maka negara sebagai pemilik tanah, boleh menyewakan tanah kepada pemilik modal swasta bagi usaha perkebunan besar berdasarkan Burgerlijk Wetboek (BW).
Selain pernyataan domein yang berlaku umum, juga dikenal “Pernyataan Domein yang Khusus” (Special Domein Verklaring) yang menentukan bahwa semua tanah kosong dalam daerah pemerintahan langsung adalah domein negara, kecuali diusahakan oleh penduduk asli dengan hak-hak yang bersumber pada hak membuka hutan.
Mengenai tanah-tanah negara ini, kewenangan untuk memutuskan pemberiannya kepada pihak lain hanya ada pada pemerintah, tanpa mengurangi hak yang sudah dipunyai oleh penduduk untuk membukanyaBerdasarkan asas domein verklaring, maka negara dalam memberikan hak-hak tertentu kepada perusahaan-perusahaan swasta berupa hak erfpacht, opstal, bruiklen, dan lainnya bertindak sebagai pemilik perdata, bukan bertindak sebagai penguasa. Demikian juga terhadap hak eigendom, negara tidak memberikan hak tersebut kepada pemohon, tetapi hak eigendom negara dipindahkan kepada pihak yang memintanya dengan pembayaran harganya kepada negara. Dalam konteks asas domein verklaring, pembuktian kepemilikan hak atas tanah adalah ketika seseorang atau badan hukum berperkara dengan negara mengenai soal kepemilikan tanah, maka yang bersangkutanlah yang berkewajiban untuk membuktikannya, bahwa tanah sengketa adalah miliknya, termasuk ketika negara yang mengajukan gugatan.
Domein Verklaring (Pernyataan Kepemilikan) berbunyi bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan hak eigendom/kepemilikannya, adalah domein/milik Negara. Prof. Boedi Harsono menyatakan Domein Verklaring memperkosa hak-hak rakyat pribumi sebab tanah hak eigendom hanya dipegang oleh orang-orang Barat dan Timur Asing, sehingga Do m ein V e r kla rin g adalah ‘sarana’ pemerintah Hindia Belanda merampas tanah-tanah rakyat pribumi yang tidak memiliki bukti tertulis karena mereka memiliki tanah turun menurun secara adat dan itu tidak didaftarkan.
Kedudukan hak milik dalam hukum barat yang disebut dengan hak eigendom tersebut sangat kuat. Dalam Buku II Burgerlijk Wetboek yang mengatur hukum benda yang setelah berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peratuaran Dasar-Dasar Pokok Agraria (UUPA) sudah dinyatakan tidak berlaku lagi sepanjang mengenai bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan mengenai hipotik. Pasal 570 BW menegaskan bahwa hak eigendom adalah hak untuk leluasa menikmati kegunaan suatu benda, dan untuk berbuat bebas terhadap benda yang bersangkutan dengan kekuasaan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya, yang ditetapkan oleh pengusa yang berwenang dan tidak mengganggu hak-hak pihak lain, semuanyaitu terkecuali pencabutan hak-hak untuk kepentingan umum, dengan pemberian ganti kerugian yang layak menurut peraturan perundangundangan
Konsep hak milik berdasarkan hukum barat ini memberikan kewenangan individual yang dimiliki demikian luas dan kuat, sehingga terhadap hak milik atas tanah yang mereka punyai bersifat mutlak (absolut) dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun juga, kecuali apabila hak atas tanah itu akan dimanfaatkan untuk kepentingan umum dengan memberikan ganti kerugian yang layak.
Jika individu itu tidak menghendaki, atau menyerahkan tanahnya untuk kepentingan umum, pemerintah tidak dapat menggugatnya seperti melakukan penggusuran atau pencabutan hak milik. Karena jika pemerintah melakukan itu, maka dianggap melanggar kebebasan individu. Di dalam hak milik barat ini biasanya mengabaikan kepentingan bersama, jadi jika konsep ini di berlakukan di indonesia maka sangat bertentangan sekali dengan budaya indonesia yang berdasarkan asas ke gotong-royongan sebagai Eka sila indonesia yang lebih mengutamakan kepentingan bersama.
Konsep kepemilikan Tanah Berdasarkan Hukum Indonesia (UUPA)
Tuhan Yang Maha Kuasa telah menganugerahkan tanah yang begitu subur dan kaya akan sumber daya alam. Sehingga kita sebagai bangsa indonesia harus lebih bersyukur atas karunia Tuhan yang tiada taranya dan begitu melimpah.
Konsep hak milik indonesia berdasarkan hukum adat. Hukum adat merupakan hukum yang bersifat komunalistik-sosialis, karena indonesia adalah bangsa timur. Hukum adat memandang konsep hak milik sebagai hak bersama, contohnya dalam hak ulayat. Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia karena jiwa dan pola pembentukannya disesuaikan dengan kebudayaan masyarakat Indonesia. Menurut Soepomo keunikan disebabkan oleh karena keanekaragaman penduduk dan keseragaman tidak perlu didasarkan pada sistem hukum barat.
Konsep penguasaan dan pemilikan tanah menurut hukum Indonesia sebagai bangsa timur berlandaskan pada konsepsi yang komunal –Sosialis yang menganggap kepentingan kelompok l ebih utama di bandingkan individu. Di dalam paham sosialis tidak ada namanya kebebasan individu. Karena jika individu di bebaskan maka akan dapat mengganggu nilai-nilai kebersamaan dalam kelompok. Di dalam paham komunalistik menurut hukum adat, individu tidak di berikan hak seluas-luasnya. Masyarakat adat lebih mengutamakan komunal sentris, yaitu kelompok sebagai pusat kehidupan bersama yang penuh kerukunan, seperti yang ada dalam masyarakat pengayuban atau persekutuan masyarakat adat.
Komunalisme di dasari oleh konsepsi sosialis seperti di asia dan eropa timur memandang hak milik bersama sebagai hak milik tertinggi, bukan individu seperti dalam pandangan barat. Demikian pula dengan huku indonesia yaitu UUPA yang berdasarkan hukum adat menegaskan dalam pasal 6 Undang-undang Pokok Agraria “ semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial “. Ini menegaskan bahwa dalam hak milik pribadi atas individu memiliki fungsi sosial untuk kepentingan umum. Sehingga tidak ada namanya hak mutlak seperti di dalam hak eingendom barat. Jika sewaktu-waktu tanah itu di butuhkan untuk kepentingan umum, sepertiuntuk membangun infrastruktur maka dapat di ambil pemerintah dengan pembayaran ganti rugi.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18 B ayat (2), dijelaskan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional yang ada di dalamnya, Pasal 28 I ayat (3) semakin mempertegas tentang pengakuan negara terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional. Berdasarkan hal tersebut maka hukum adat beserta hak-hak yang terkait dengan hukum adat telah mendapatkan tempat yang utama dalam sistem hukum di (Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 344) Indonesia. Pada prinsipnya dengan pengakuan atas hukum adat tentu terkait dengan pengakuan terhadap seluruh eksistensi hak adat yang ada. Salah satu aspek hukum adat yang penting untuk dikaji yaitu hak atas tanah adat terutama hak milik.
Hak milik menjadi penting sebagai kajian karena hak milik adalah hak yang terkuat dan terpenuh dari semua hak atas tanah yang ada. Bagaimana konsep suatu hak milik adat terbentuk, apa dasar pemikiran tentang hak tersebut serta bagaimana pemanfaatan dari hak tersebut merupakan hakekat kajian keilmuan dari hak milik adat.
Hak milik adat sebagai suatu hak penguasaan dan pemanfaatan atas tanah dibentuk berdasarkan hukum adat dan kemauan masyarakat adat setempat. Terbentuknya hak milik adat didasarkan pada pandangan hidup suatu masyarakat adat yang disebut persekutuan hukum. Persekutuan hukum merupakan kelompok masyarakat adat pembentuk hukum adat yang tersebar di seluruh Indonesia.
Sesuai dengan pembagian dari Van Vollenhoven dimana Indonesia telah dibagi dalam 19 wilayah hukum adat dimana tiap-tiap wilayah mempunyai konsep dan karakter adat dan hukum adat masing-masing. daerah dengan daerah lain. Struktur berpikir dalam pembentukan norma hukum adat dinamakan “kearifan lokal” (indigenius knowledge) menjadi ciri khas dari suatu hukum yang diberlakukan pada masyarakat adat di wilayah tertentu. Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia karena jiwa dan pola pembentukannya disesuaikan dengan kebudayaan masyarakat Indonesia. Menurut Soepomo keunikan disebabkan oleh karena keanekaragaman penduduk dan keseragaman tidak perlu.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 telah memberikan pengakuan terhadap hukum tanah adat dan masyarakat hukum adat. Dengan pengakuan dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) maka hak-hak adat atas tanah disejajarkan kekuatan mengikatnya dengan hak menurut hukum perdata dan hukum lainnya. Kesejajaran tersebut menunjukkan bahwa hak milik atsa tanah adat mempunyai kekuatan (power) dan kewenangan (authority) yang tidak bisa diabaikan. Hak (right) adalah kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) yang berdasarkan atas hukum (law). Hak adalah tuntutan yang dapat diajukan seseorang terhadap orang lain sampai kepada batas-batas pelaksanaan hak tersebut. Semua hukum mengharapkan adanya hak dan sebaliknya semua hak mentaati adanya hukum yang berlaku.
Pada dasarnya hak milik adalah seperangkat hak yang melibatkan hubungan kompleks mengenai siapa yang memiliki hak dan kapan hak tersebut dapat diterapkan.
Hak milik adat adalah hak yang lahir karena adanya persekutuan hukum adat. Itulah sebabnya hak milik adat tidak bisa terpisahkan daripada persekutuan hukum. Hak milik terkait dengan kepentingan orang, per orangan dan persekutuan hukum adat dan (Karya ilmiah : Jemmy Sondakh, HAK MILIK ATAS TANAH MENURUT HUKUM ADAT (Eksistensi Pemanfaatan dan Tantangannya dalam Hukum Indonesia), Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado, 2014) hubungan hukum terhadap sesuatu objek atau benda. Hak milik yang timbul dari tradisi dan ciri khas hukum adat terdapat otoritas yang dilimpahkan kepada pemilik hak milik dari hukum adat yang bersifat magis religius. Magis religius yang dimaksud bahwa kekuatan mengikat dari kepemilikan suatu hak bukan hanya pada objek atau benda tetapi pada kekuatan gaib atau kepercayaan yang melekat pada hak yang diberikan.
Hukum pertanahan indonesia yaitu Undang-Undang pokok Agraria yang bertumpu pada hukm adat mengaanut asas pemisahan horizontal (horizontale scheiding), di mana hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atasnya.
Menurut Djuhaendah Hasan; “asas perlekatan vertikal tidak di kenal dalam hukum adat,karena mengenal asas lainnya yaitu asas pemisahan horizontal di mana tanah-tanah terlepas dari segala sesuatuatu yang melekat padanya. Didalam hukum adat, benda terdiri atas benda tanah dan benda bukantanah, dan yang di maksud dengan tanah memang hanya tentang tanah saja (demikian pula pengaturan hukum tanah dalam UUPA) sesuatu yang melekat dengan tanah di masukkan dalam pengertian benda bukan tanah dan terhadapnya tidak berlaku ketentuan benda tanah”. Jadi hukum adat mengandung prinsip pemisahan horizontal yang integral dan konsokuen bagi seluruh masalahnya, khusunya yang berhubungan dengan benda seta tanaman yang ada di atasnya.
Hukum adat mengenai tanah milik membedakan antara tanah dan rumah atau bangunan yang ada di atasnya. Tanah dan rumah batu yang di dirikan di atasnya di pandang terpisah bukan sebagai kesatuan hukum seperti dalam hukum barat. Sehingga dalam UUPA di kenal namanya Hak Guna Bangunan dan dalam perpajakan ada pajak bangunan, yang menandakan pemisahan antara tanah dengan benda yang ada di atasnya. Konsep ini begtu mengutamakan kebersamaan dan kerukunan, jika ada salah satu masyarakat yang tidak memiliki tanah mereka bisa menumpang dengan mendirikan rumah panggung yang bisa di angkat. Sikap tolong menolong itulah yang menandakan keramahan masyarakat indonesia yang di penuhi dengan ras persatuan yang menjunjung tinggi asas kegotong royongan, yang melakukan kegiatan apapun secara bersama-sama contohnya ketika melakukan kerja bhakti.
Bukti di anutnya asas pemisahan horizontal ini oleh masyarakat indonesia bahkan sampai sekarang adalah contohnya di Sulawesi tengah, khususnya di kota Palu, penduduk disana menganut asas pemisahan. ini di buktikan secara , ketika membeli sebidang tanah, di atas tanah tersebut terdapat lima pohon kelapa, ternyata pemilik memisahkan antara harga tanah dengan harga pohon kelapa tersebut.Dengan demikian, ternyata asas pemisahan horizontal ini, hampir semua masyarakat di sutu daerah di seluruh indonesia mengakui keberadaannya, temasuk suku Bugis. (Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 6-7)
Di dalam Undang-undang Pokok Agraria juga di jelaskan konsep hak milik atas tanah. Pada pasal 33 ayat (1) UUD 1945, dikatakan bahwa: “bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara”. Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam UUPA (pasal 1 ayat 2) memberi wewenang kepada negara untuk :
- mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan memeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
- menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
- menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum (UUPA, pasal 4 ayat 1). pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Jenis-jenis hak-hak atas tanah di sebutkan dalam pasal 16 UUPA yaitu: Hak Milik. Hak Guna Usaha, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah., Hak Memungut Hasil Hutan. Pasal ini memberikan gambaran kepada masyarakat mengenai hak-hak atas tanah apa saja yang ada di dalam UUPA.
Landasan Hukum Agraria ialah ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 45 merupakan sumber hukum materiil dalam pembinaan hukum agraria nasional. Hubungan Pasal 33 (3) UUD 45 dengan UUPA:
- Dimuat dalam Konsideran UUPA, Pasal 33 (3) dijadikan dasar hukum bagi pembentukan UUPA dan merupakan sumber hukum (materiil) bagi pengaturannya. “bahwa hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong”.
- Dalam penjelasan UUPA angka 1. “hukum agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan dari pada asas kerohanian, Negara dan cita-cita Bangsa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya harus merupakan pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Garis-garis besar dari pada haluan Negara….” Pengaturan keagrariaan atau pertanahan dalam UUPA yaitu untuk mengatur pemilikan dan memimpin penggunaannya, harus merupakan perwujudan dan pengamalan dasar negara pancasila dan merupakan pelaksanaan dari UUD 45 dan GBHN.Bahwa UUPA harus meletakkan dasar bagi hukum agraria nasional yang akan dapat membawa kemakmuran, kebahagiaan
PENUTUP
Kesimpulan
Sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria di indonesia, telah terjadi dualisme hukum pertanahan di indonesia. Yaitu di masa penjajahan, dengan hadirnya pemerintahan hindia belanda, dengan sendirinya tanah-tanah yang ada di indonesia di atur oleh dua peraturan, yaitu peraturan adat yang tunduk pada hukum adat dan peraturan tanah yang tunduk pada hukum belanda , misalnya hak opstal, hak erpach, hak eigendom. Dengan adanya dua peraturan mengenai pertanahan, maka terjadilah dualisme dalam pengaturan hukum pertanahan di indonesia. Dualisme hukum pertanahan ini adalah antara Hukum Barat dengan Hukum adat. Akibat dri dualisme hukum pertanahan ersebut menyebabkan kekacauan hukum, dan meyebabkan tabrakan hukum, sehingga masyarakat menjadi kebingungan
Sebelum masa penjajahan, hukum pertanahan yang berlaku adalah hukum adat. Hukum adat adalah hukum asli indonesia yang mengatur segala kehidupan masyarakat adat. Di era masa penjajahan bangsa Barat, bangsa Belanda menjajah bangsa Indonesia, Belanda mendatangkan peraturan hukum pertanahan yang berlaku di negaranya ke indonesia, yang kemudian di berlakukan terhadap masyarakat indonesia. Dan ketika indonesia merdeka, pemerintah indonesia telah berupaya membentuk undang-undang yang khusus mengatur mengeanai pertanahan, yaitu Undang-undang Pokok Agraria yang di singkat UUPA. Kehadiran UUPA ini merupakan suatu penantian yang panjang dari bangsa indonesia, sebagai UU buatan asli indonesia dengan konsep kepemilikan berdasarkan Hukum adat. Dengan demikian lahirnya UU ini telah menciptakan Unifikasi hukum dan kepastian hukum kepada rakyat indonesia mengenai pertanahan sehingga secara otomatis menghapus dualisme hukum di Indonesia.
Dari dua peraturan hukum tersebut menghasilkan dua konsep kepemilikan tanah di indonesia yaituKonsep kepemilikan Berdasarkan Hukum Barat dan konsep kepemilikan Berdasarkan Hukum Indonesia (UUPA). Konsep penguasaan dan pemilikan tanah menurut hukum barat berlandaskan pada konsepsi yang liberal-individualistik yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada individu guna memenuhi kebutuhan masing-masing, seperti Hak Eigendom. Sedangkan Konsep hak milik indonesia berdasarkan hukum adat. Hukum adat merupakan hukum yang bersifat komunalistik-sosialis, karena indonesia adalah bangsa timur, yang menganggap kepentingan kelompok l ebih utama di bandingkan individu. Di dalam UUPA ini di buktikan dalam pasal 6 yang menyatakan “ semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial “. Ini menegaskan bahwa dalam hak milik pribadi atas individu memiliki fungsi sosial untuk kepentingan umum. Sehingga tidak ada namanya hak mutlak seperti di dalam hak eingendom barat. Jika sewaktu-waktu tanah itu di butuhkan untuk kepentingan umum, sepertiuntuk membangun infrastruktur maka dapat di ambil pemerintah dengan pembayaran ganti rugi.
Saran
Kita sebagai warga negara Indonesia harus mempunyai semangat Nasionalisme dan patriotisme yang tinggi yaitu dengan mencintai indonesia sepenuh hati dan ber bhakti kepada bangsa dan negara. Mengenai hukum pertanahan kita sebagai bangsa indonesi harus memahami konsep kepemilikan berdasarkan hukum indonesia yang ada di dalam UUPA dan menerapkannya, dan janganlah kita berpikir berdasarkan Hukum Barat yang individualistik karena bertentanngan dengan budaya dan tradisi serta kebiasaan-kebiasaan kita yang bersifat sosialis. Kita sebagai warga negara harus mampu memahami suatu produk hukum berupa undang-undang, misalnya, tentu di dasarkan pada alasan-alasan tertentu yang merupakan rasion d”etre UU tersebut. Tidak ada suatu UU dilahirkan tanpa suatu alasan.
Alasan Lahirnya Undang-undang yang merupakan jiwa Undang-undang. Iulah yang harus di pahami oleh masyarakat maupun penegak hukum. Tidak adanya pemahaman atau kegagalan dalam memahami jiwa suatu undang-umdang sebagai produk hukum dapat berakibat fatal pada penerapan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang. Untuk itu kita harus mampu memahami konsep kepemilikan yang di kandung dalam UUPA agar tidak terjadi kesalahan penerapan.
Contohnya ketika pemerintahan jokowi, yang lagi gempar-gemparnya membangun infrastruktur di seluruh Indonesia, pasti membutuhkan pembebasan lahan, kita sebagai warga negara yang baik serahkanlah saja tanah kita yang di butuhkan negara untuk membagun infrastruktur dan janganlah kita menghambatnya hanya karena keegoisan pribadi yang indiviualistik. Karena pemerintah membangun infrastuktur untuk kepentingan Umum, yaitu kepentinga kita juga. Tapi anehnya ada saja orang-orang yang beda haluan selalu ingin menghambat bahkan menjelek-jelekkannya sampai ke dunia pers. Orang-orang seperti itu harus disingkirkan karena dapat menggangu stabilitas dan keamanan bangsa indonesia untuk maju dalam hal pembangunan ekonomi dan infrasruktur. Mungkin hanya itu saran dari penulis, semoga bermanfat bagi bangsa dan negara.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
- Supriadi. 2015. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika
Karya Ilmiah :
- Jemmy Sondakh. 2014. Hak Milik Milik Atas Tanah Menurut Hukum Adat (Eksistensi Pemanfaatan dan Tantangannya dalam Hukum Indonesia). Manado: Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi
Internet:
- http://arsyadswair.blogspot*com/2013/07/konsep- pemilikan-tanah-berdasarkan_2.html?m=1
- https://adityoaribowo.wordpress*com/2014/06/03/sekilas-tentang-hak-milik/
- https://id.m.wikipedia*org/wiki/hak_atas_tanah