Makalah Hukum Agraria Tentang Penyelesaian Konflik Sengketa Pertanahan


    KATA PENGANTAR

    Puja dan puji syukur kami Panjatkan kepada Tuhan yang  maha kuasa karena atas karunianya yang tiada taranya  telah dilimpahkan kepada penulis sehingga kami  dapat menyelesaikan tugas kelompok makalah Hukum Agraria yang berjudul “Penyelesaian Konflik Sengketa Pertanahan” yang  merupakan salah satu tugas kelompok makalah Hukum Agraria  yang di berikan oleh dosen.


    Makalah ini di susun semaksimal mungkin oleh kami dengan harapan, dapat memberikan banyak  manfaat berupa Pengetahuan dan Wawasan bagi kami yang mendapatkan tugas kelompok makalah Hukum Agraria yang di berikan oleh Dosen  yang di tuangkan dalam makalah ini. Semoga berguna juga dalam proses pembelajaran dan  menambah  pengetahuan Mahasiswa Fakultas Hukum Tentang Antropologi Hukum.


    Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena pepatah menyatakan “Tak ada gading yang tak retak” dan kami juga dalam tahap berproses sehingga harap di maklumi, namun demikian telah memberikan manfaat bagi  Kami untuk berkembang. Akhir kata  Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Kritik dan saran yang bersifat menbangun sangat dibutuhkan kami sebagai bahan koreksi diri, karena tidak ada manusia yang luput dari kesalahan.


    Palu, 28 November 2018


    Penulis



    BAB I
    PENDAHULUAN

    Latar Belakang

    Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. Pun pada saat manusia meninggal dunia masih memerlukan tanah untuk penguburannya Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha memiliki dan menguasainya. Dengan adanya hal tersebut maka dapat menimbulkan suatu sengketa tanah di dalam masvarakat. Sengketa tersebut timbul akibat adanya perjanjian antara 2 pihak atau lebih yang salah 1 pihak melakukan wanprestasi. 


    Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat .Ketentuan mengenai tanah juga dapat kita lihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang biasa kita sebut dengan UUPA. Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang/badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


    Mencuatnya kasus-kasus sengketa tanah di Indonesia beberapa waktu terakhir seakan kembali menegaskan kenyataan bahwa selama 62 tahun Indonesia merdeka, negara masih belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) baru sebatas menandai dimulainya era baru kepemilikan tanah yang awalnya bersifat komunal berkembang menjadi kepemilikan individual.


    Terkait dengan banyak mencuatnya kasus sengketa tanah ini, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto mengatakan, bahwa terdapat sedikitnya terdapat 2.810 kasus sengketa tanah skala nasional. Kasus sengketa tanah yang berjumlah 2.810 kasus itu tersebar di seluruh indonesia dalam skala besar. Yang bersekala kecil, jumlahnya lebih besar lagi.


    Rumusan Masalah

    Untuk memberikan arah, penulis bermaksud membuat suatu perumusan masalah sesuai dengan arah yang menjadi tujuan dan sasaran penulisan dalam paper ini. Perumusan masalah menurut istilahnya terdiri atas dua kata yaitu rumusan yang berarti ringkasan atau kependekan, dan masalah yang berarti pernyataan yang menunjukkan jarak antara rencana dengan pelaksanaan, antara harapan dengan kenyataan. Perumusan masalah dalam paper ini berisikan antara lain :

    1. Apa arti dari sengketa Tanah?
    2. Bagaimana penyelesaian kasus penyelesaian sengketa tanah antara militer dengan warga masyarakat di jawa timur?
    3. Sejauh mana kekuatan sertifikat sebagai alat bukti dalam penyelesaian sengketa tanah?



    C. Tujuan Penelitian

    Adapun beberapa tujuan penelitian dari paper ini yaitu :

    1. Untuk mengetahui sejauh mana kekuatan sertifikat sebagai alat bukti dalam penyelesaian sengketa tanah.
    2. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian terbaik terhadap tanah yang dijadikan obyek sengketa tersebut.
    3. Guna menambah wawasan dan pengetahuan bagi para mahasiswa mengenai cara menangani suatu sengketa atas tanah .
    4. Dapat bermanfaat dan memberikan informasi tentang bagaimana proses penguasaan tanah, jaminan hukumnya, serta penyelesaian mengenai sengketa tanah bagi para mahasiswa.


    BAB II
    PEMBAHASAN

    Pengertian Sengketa Tanah

    Akhir-akhir ini kasus pertanahan muncul ke permukaan dan merupakan bahan pemberitaan di media massa. Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat bervariasi yang antara lain :

    • Harga tanah yang meningkat dengan cepat.
    • Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan / haknya.
    • Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah.


    Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan respons / reaksi / penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah). Menurut Rusmadi Murad, pengertian sengketa tanah atau dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu : 

    Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.


    Pendekatan Antropologi Hukum

    Pendekatan Antropologi Hukum Berbicara mengenai pendekatan, adalah berbicara bagaimana cara suatu ilmu pengetahuan mendekati obyek/sasaran kajiannya. Pendekatan AH setidaknya ada tiga yaitu, holistik, empiris, dan komparatif. Pendekatan holistik artinya, AH melihat gejala sosial yang ada dengan kacamata menyeluruh, dari berbagai sudut pandang, tidak stereotip, yaitu hukum dipandang bukan hanya hukum secaraan sich, tetapi dilihat dari sudut pandang dan kaitan fungsinya dengan yang lain, misalnya ekonomi, politik, sosial, agama dan lain sebagainya. Sebagai ilmu perilaku/empiris, AH lebih menitik-beratkan pada kenyataan-kenyataan hukum yang nampak dalam situasi atau peristiwa hukum (law in actions) tidak hukum dalam peraturan perundangan tertulis (law in book ). Dalam arti lain, AH sebagai ilmu empiris mempunyai konsekuensi bahwa teorinya harus didukung oleh fakta yang relevan atau setidaknya terwakili secara representatif. Mengikuti pendekatan sejarah, maka metode komparatif dapat dilakukan dengan cara penelitian sinkronis ( generalizing approach) maupun penelitian diakronis (descriptive approach). Dalam penelitian sinkronis, mencari prinsip persamaan diantara berbagai kebudayaan. Sedangkan metode komparatif yang diakronis, meneliti suatu masyarakat tertentu dari waktu ke waktu atau perkembangan suatu masyarakat tertentu. 



    Penyelesaian Sengketa Tanah

    Cara penyelesaian sengketa tanah melalui BPN (Badan Pertanahan Nasional) yaitu:

    Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim / pengaduan / keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat / Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.

    Kasus pertanahan meliputi beberapa macam antara lain :

    1. mengenai masalah status tanah,
    2. masalah kepemilikan, 
    3. masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya. 


    Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di atas, pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan penelitian dan pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat. Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka Badan Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota setempat letak tanah yang disengketakan. Bilamana kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur, kewenangan dan penerapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari keyakinannya memang harus distatus quokan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 tahun 1984. 


    Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun 1984, maka diminta perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan status quo atau pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB) dari Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal 126).


    Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan setempat hendak melakukan tindakan status quo terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya bertindak hati-hati dan memperhatikan asas-asas umum Pemerintahan yang baik, antara lain asas kecermatan dan ketelitian, asas keterbukaan (fair play), asas persamaan di dalam melayani kepentingan masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang bersengketa.


    Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional untuk dimintakan penyelesaiannya, apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu, bilamana penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.


    Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi di dalam penerbitannya. Yang menjadi dasar hukum kewenangan pembatalan keputusan tersebut antara lain :

    1. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
    2. Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
    3. Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.
    4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1999.


    Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/ badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sebagian besar diajukan langsung oleh yang bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan sebagian diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan. 


    Kekuatan Pembuktian dalam Penyelesaian Sengketa Tanah

    Pembuktian, menurut Prof. R. subekti, yang dimaksud dengan membuktikan adalah Meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. 


    Kekuatan Pembuktian, Secara umum kekuatan pembuktian alat bukti tertulis, terutama akta otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu:

    1. Membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
    2. Kekuatan pembuktian materiil. Membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.
    3. Kekuatan mengikat. Membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.


    Oleh karena menyangkut pihak ketiga, maka disebutkan bahwa kata otentik mempunyai kekuatan pembuktian keluar.


    SERTIFIKAT

    Sertifikat adalah buku tanah dan surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

    Kekuatan Pembuktian Sertifikat, terdiri dari :

    Sistem Positif

    Menurut sistem positif ini, suatu sertifikat tanah yang diberikan itu adalah berlaku sebagai tanda bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan satu – satunya tanda bukti hak atas tanah.


    Sistem Negatif

    Menurut sistem negatif ini adalah bahwa segala apa yang tercantum didalam sertifikat tanah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) dimuka sidang pengadilan. 



    Hal – Hal yang Menyebabkan Terjadinya Sengketa Tanah

    Menurut Kepala BPN Pusat, setidaknya ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah:

    1. Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya adalah ada tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki sertifikat masing-masing. 
    2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani/penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga murah.
    3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian orang menganggap remeh dengan memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah ini, padahal persoalan ini merupakan persoalan yang harus segera di carikan solusinya. Kenapa demikian? karena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya konflik antar ras, suku dan agama. Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan.



    BAB III
    PENUTUP

    KESIMPULAN

    Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat bervariasi yang antara lain :

    1. Harga tanah yang meningkat dengan cepat.
    2. Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan / haknya.
    3. Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah.


    Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan respons / reaksi / penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah).


    Dalam mengkaji kasus hukum tersebut dengan menggunakan pendekatan antropologi hukum, yang dimana pendekatan merupakan bagaimana cara suatu ilmu pengetahuan mendekati obyek/sasaran kajiannya. Pendekatan Antropologi Hukum setidaknya ada tiga yaitu, holistik, empiris, dan komparatif. Pendekatan holistik.


    Awal mula timbulnya kasus pertanahan tersebut karena adanya klaim / pengaduan / keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu.


    Selanjutnya, terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional untuk dimintakan penyelesaiannya, apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu, bilamana penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.


    Kemudian mengenai kekuatan pembuktian, secara umum kekuatan pembuktian terletak pada alat bukti tertulis, terutama akta otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian yaitu pertama Kekuatan pembuktian formil, kedua Kekuatan pembuktian materiil, dan yang ketiga Kekuatan mengikat. Dengan demikian sertifikat merupakan alat bukti tertulis yang dapat menunjukkan suatu tanda bukti berupa hak kepemilikan atas tanah. Adapun penyebab utama terjadinya sengketa tanah di indonesia yaitu karena bnyak tanah di Indonesia belum tersetifikasi secara merata dan penguasan tanah yang berlebih oleh mereka yang mempunyai banyak uang, masalah berikutnya yaitu mengenai sertifikasi tanah yng tidak jelas yg menimbulkan sertifikat ganda dan yang terakhir karena sertifikat hnya formalitas belaka, sehingga banyak lahan yang tidak produktif  yang tidak dikelola.


    Saran

    Untuk menghindari terjadinya konflik sengketa pertanahan yang dikarenakan klaim mengklaim kepemilikan atas hak suatu tanah di perlukannya suatu distribusi tanah yang merata di Indonesia dengan program reforma agraria yang efektif, misalnya program sertifikasi tanah rakyat yang dilakukan oleh BPN secara besar-besaran agar setiap tanah di Indonesia memiliki sertifikat. Jika terjadi sengketa pertanahan maka harus diselesaikan secara restoratif justice yaitu berupa musyawarah dan mediasi dengan suasana kekeluargaan yang sejuk karena pada dasarnya kita semua bersaudara sebagai bangsa Indonesia. Mengenai harga tanah yang semakin mahal sementara banyak generasi muda sebagai generasi penerus memerlukan tanah untuk berkehidupan, untuk menyelesaikan masalah tersebut penulis sedikit memberikan saran kepada pemerintah untuk memulai dan mengembangkan program jangka panjang yaitu menumbuhkan kota-kota baru yang tidak hanya berpusat pada jawa sentris yang semakin padat tetapi Indonesia sentris sehingga penyebaran penduduk merata dan dapat meningkatkan perekonomian rakyat yang berkeadilan, contohnya disini Presiden Soekarno berupa pembentukan Ibu kota baru Indonesia di Palangkaraya.


    LihatTutupKomentar