PENDAHULUAN PERTANGGUNGJAWABAN SISTEM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA
Pertanggungjawaban merupakan ujung dari siklus anggaran, setelah perencanaan dan pelaksanaan. Inti dalam pertanggungjawaban adalah evaluasi, evaluasi kinerja, dan akuntabilitas. Dalam mempertanggungjawabkan keuangan Negara yang dipercayakan Rakyat, Pemerintah menggunakan Laporan Keuangan sebagai alat pertanggung jawaban. Informasi yang terkandung dalam Laporan Keuangan yang dibuat Pemerintah dipergunakan untuk kepentingan masyarakat umum, wakil rakyat, serta Pemerintah sendiri.
DASAR HUKUM PERTANGGUNGJAWABAN SISTEM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara mengatur pemeriksaan keuangan negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Undang-Undang ini bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, di mana perlu dilakukan pemeriksaan oleh satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri, sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 23E Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya peraturan hukum yang mengatur mengenai BPK yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
PEMBAHASAN DAN PENGERTIAN PERTANGGUNGJAWABAN SISTEM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA
Berdasarkan pasal 1 angka (7) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara, yang dimaksud dengan “Tanggung Jawab Keuangan Negara adalah kewajiban Pemerintah untuk melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan, dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan”. Selanjutnya pasal 1 angka (9) yang di maksud dengan “Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 56 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara”. Sedangkan Laporan kinerja merupakan bentuk akuntabilitas dari pelaksanaan tugas dan fungsi yang dipercayakan kepada setiap instansi pemerintah atas penggunaan anggaran.
UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, khususnya pasal 30-32 menjelaskan tentang bentuk pertanggungjawaban keuangan negara. Dalam ketentuan tersebut, baik Presiden maupun Kepala Daerah (Gubernur/Bupati /Walikota) diwajibkan untuk menyampaikan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD kepada DPR/DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK selambat-lambatnya 6 bulan setelah tahun anggaran berakhir (Bulan Juni tahun berjalan). Laporan keuangan tersebut setidak-tidaknya berupa Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang mana penyajiannya berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), dengan lampiran laporan keuangan perusahaan negara/BUMN pada LKPP dan lampiran laporan keuangan perusahaan daerah/BUMD pada LKPD.
Bentuk pertanggungjawaban keuangan negara dijelaskan secara rinci pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah. Khususnya pada pasal 2, dinyatakan bahwa dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD, setiap Entitas Pelaporan wajib menyusun dan menyajikan Laporan Keuangan dan Laporan Kinerja. Ketentuan ini tentunya memberikan kejelasan atas hirarki penyusunan laporan keuangan pemerintah dan keberadaan pihak-pihak yang bertanggung-jawab didalamnya, serta menjelaskan pentingnya laporan kinerja sebagai tambahan informasi dalam pertanggungjawaban keuangan negara.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 ditetapkan bahwa pihak yang wajib menyusun dan menyajikan laporan keuangan disebut dengan Entitas Pelaporan. Instansi pemerintah yang termasuk entitas pelaporan adalah: (i) Pemerintah pusat, (ii) Pemerintah daerah, (iii) setiap Kementerian Negara/Lembaga, dan (iv) Bendahara Umum Negara. Entitas pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri dari satu atau lebih entitas akuntansi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan. Sedangkan Entitas akuntansi adalah unit pemerintahan yang berkewajiban menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan, namun laporan keuangan yang dihasilkannya untuk digabungkan pada Entitas Pelaporan. Instansi yang termasuk entitas akuntansi antara lain kuasa Pengguna Anggaran, termasuk entitas pelaksana Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan, untuk tingkat pemerintah pusat, serta SKPD, Bendahara Umum Daerah (BUD) dan kuasa Pengguna Anggaran tertentu untuk tingkat pemerintah daerah.
Selain itu, entitas pelaporan juga wajib menyusun dan menyajikan laporan kinerja sebagai tambahan informasi dalam pertanggungjawaban keuangan APBN/APBD. Laporan kinerja berisi ringkasan informasi tentang input, process, output, outcome, benefit dan impact dari setiap kegiatan/program yang dijalankan oleh pemerintah, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui tingkat ekonomis, efisiensi dan efektifitas kegiatan/program pemerintah. Pertanggungjawaban di bagi menjadi dua yaitu :
PERTANGGUNGJAWABAN APBN
Pertanggungjawaban keuangan negara sebagai upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan Negara. Sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 bahwa Presiden memegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam melaksanakan tugas kepemerintahannya, Presiden (dalam hal ini Pemerintah) memerlukan dana untuk pembiayaannya dalam bentuk APBN. Pada hakekatnya APBN tersebut merupakan mandat yang diberikan oleh DPR RI kepada Pemerintah untuk melakukan penerimaan pendapatan negara dan menggunakan penerimaan tersebut untuk membiayai pengeluaran dalam melaksanakan kepemerintahannya mencapai tujuan-tujuan tertentu dan dalam batas jumlah yang ditetapkan dalam suatu tahun anggaran tertentu. APBN ditetapkan tiap-tiap tahun dengan Undang-Undang dan setiap Undang-Undang menghendaki persetujuan bersama DPR RI dengan Presiden. Sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, Pemerintah berkewajiban memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN yang telah disetujui oleh DPR (pasal 30 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 dan ketentuan dalam setiap Undang-Undang APBN).
Mandat yang diberikan oleh DPR itu harus dipertanggungjawabkan. Sebelum terbitnya Undang-Undang No.17 tahun 2003, pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN diwujudkan dalam bentuk Perhitungan Anggaran Negara (PAN). Dalam menyusun PAN ini, Menteri Keuangan ditugasi untuk Mempersiapkan PAN berdasarkan laporan keuangan departemen-lembaga. Hal ini mengacu pada pasal 69 ICW yang menyatakan bahwa Pemerintah membuat suatu Perhitungan Anggaran dengan menyebutkan tanggal penutupannya. Setelah terbitnya Undang-Undang No.17 tahun 2003 pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN berubah dari PAN menjadi Laporan Keuangan. Laporan Keuangan ini disusun dengan menggunakan standar akuntansi pemerintahan yang mengacu pada international public sector accounting standard(IPSAS).
APBN Sebagaimana telah dinyatakan di atas bahwa sesuai pasal 55 dari Undang-Undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal bertugas menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Pusat untuk disampaikan kepada Presiden dalam rangka memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. Sebelumnya Menteri/Pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang Menteri Keuangan menyampaikan laporan keuangan yang meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan yang dilampiri laporan keuangan Badan Layanan Umum pada kementerian negara/lembaga masing-masing kepada Menteri Keuangan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Sebagai entitas pelaporan, laporan keuangan kementerian Negara/lembaga tersebut sebelumnya telah diperiksa BPK dan diberi opini atas laporan keuangan.
Oleh Menteri Keuangan laporan-laporan atas pertanggungjawaban pengguna anggaran/pengguna barang tersebut dikonsolidasikan menjadi Laporan Keuangan Pemerintah Pusat sebagai bagian pokok dari RUU tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN yang akan disampaikan Presiden kepada DPR. DPR melalui alat kelengkapannya yaitu komisi akan membahas RUU Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN dengan pihak pemerintah. Pembahasan dilakukan dengan memperhatikan hasil pemeriksaan semester dan opini BPK. Berdasar hasil pembahasan tersebut, DPR memberikan persetujuannya dan menyampaikan persetujuan atas RUU tersebut kepada Pemerintah untuk diundangkan.
Bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN disusun dan disajikan sesuai standar akuntansi pemerintah sebagaimana ditentukan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah (PSAP) yang disusun oleh suatu komite yang independen, yaitu Komite Standar Akuntansi Pusat dan Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan. Saat ini telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah (PSAP).
PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN DAERAH/ APBD
Laporan Semesteran
Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang membuat laporan keuangan semesteran yang terdiri dari laporan realisasi semester pertama dan prognosis 6 (enam) bulan berikutnya Disampaikan kepada Kepala Daerah paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah berakhirnya semester pertama (10 Juli). Gubernur/bupati/walikota membuat laporan keuangan semesteran yang terdiri dari laporan realisasi semester pertama dan prognosis 6 (enam) bulan berikutnya Disampaikan kepada DPRD paling lambat 1 (satu) bulan setelah berakhirnya semester pertama (31 Juli)
Laporan Akhir Tahun
Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Pejabat Pengelola Keuangan Daerah menyusun laporan keuangan pemerintah daerah untuk disampaikan kepada gubernur/bupati/walikota dalam rangka memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang didahului dengan laporan keuangan (yang meliputi laporan realisasi anggaran, neraca, dan catatan atas laporan keuangan) dari Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang yang dilaporkan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang memberikan pernyataan bahwa pengelolaan APBD telah diselenggarakan berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai dan akuntansi keuangan keuangan telah diselenggarakan sesuai derngan standar akuntansi pemerintahan
Laporan Keuangan yang dibuat Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (terdiri Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, Catatan Atas Laporan Keuangan dilampiri dengan laporan Kinerja dan Ikhtisar Laporan Keuangan BUMD) disampaikan gubernur/bupati/walikota kepada Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Oleh Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah laporan-laporan atas pertanggungjawaban pengguna anggaran/pengguna barang tersebut dikonsolidasikan menjadi Laporan Keuangan Pemerintah Daerah sebagai bagian pokok dari Raperda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang akan disampaikan gubernur/bupati/walikota kepada DPRD.
Kepala Daerah menyampaikan Raperda tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD berupa Laporan Keuangan kepada DPRD paling lama 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan Keuangan yang disampaikan oleh Kepala Daerah kepada DPRD adalah Laporan Keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Persetujuan DPRD terhadap Raperda pertanggungjawaban yang telah diaudit BPK paling lambat diberikan 1 (satu) bulan sejak disampaikan atau akhir bulan Juli.
Rancangan Perda tentang pertanggung jawaban pelaksanaan APBD dan rancangan peraturan Kepala daerah tentang penjabaran pertanggung jawaban pelaksanaan APBD sebelum ditetapkan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri/ Gubernur untuk dievaluasi paling lama 3 (tiga) hari kerja dan penyampaian hasil evaluasi oleh Menteri Dalam Negeri/Gubernur paling lama 15 (limabelas) hari kerja.
Kepala Daerah dan DPRD menyempurnakan hasil evaluasi sebelum ditetapkan, paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi