Resume Perbandingan Hukum Pidana


    Tentang:

    • Hubungan Perbandingan Hukum Pidana dengan berbagai Negara, Sosiologi Hukum, dan Sejarah Hukum serta Macam-macam Perbandingan Hukum.
    • Metode Perbandingan Hukum dan Objek Kajian Perbandingan Hukum.
    • Legal System, Legal Tradition dan Legal Family serta Landasan Penentuan Klasifikasi Sistem Hukum
    • Family Law : Civil Law : Sejarah Perkembangan, Karakteristik, serta Negara yang Menganut
    • Family Law : Common Law : Sejarah Perkembangan, Karakteristik, serta Negara yang Menganut.


    Hubungan Perbandingan Hukum Pidana dengan berbagai Negara, Sosiologi Hukum, dan Sejarah Hukum serta Macam-macam Perbandingan Hukum.

    Istilah perbandingan hukum menurut Barda Nawawi Arief dalam bahasa asing,diterjemahkan sebagai berikut:

    1. Comparative law (bahasa Inggris) 
    2. Vergleihende rechstlehre (bahasa Belanda) 
    3. Droit compare (bahasa Perancis)


    Istilah ini, dalam pendidikan tinggi hukum di Amerika Serikat, sering diterjemahkan lain, yaitu sebagai conflict law atau dialih bahasakan, menjadi hukum perselisihan, yang artinya menjadi lain bagi pendidikan hukum di indonesia. Istilah yang dipergunakan dalam penelitian hukum ini, adalah perbandingan hukum pidana. Istilah ini sudah memasyarakat di kalangan teoritikus hukum di indonesia, dan sudah sejalan dengan istilah yang dipergunakan untuk hal yang sama dibidang hukum pidana, yaitu perbandingan hukum pidana.


    Menurut Barda Nawawi Arief dalam bukunya mengutip beberapa pendapat para ahli hukum mengenai istilah perbandingan hukum, antara lain:

    1. Rudolf B. Schlesinger mengatakan bahwa, perbandingan hukum merupakan metoda penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh penetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu. Perbandingan hukum bukanlah perangkat peraturan dan asas-asas hukum dan bukan suatu cabang hukum, melainkan merupakan teknik untuk menghadapi unsur hukum asing dari suatu masalah hukum.  
    2. Winterton mengemukakan, bahwa perbandingan hukum adalah suatu metoda yaitu perbandingan suatu sistem-sistem hukum dan perbandingan tersebut menghasilkan data sistem hukum yang dibandingkan. 
    3. Gutteridge menyatakan bahwa perbandingan hukum adalah suatu metoda yaitu metoda perbandingan yang dapat digunakan dalam semua cabang hukum. Gutteridge membedakanantara comparatif law dan foreign law (hukum asing), pengertian istilah yang pertama untuk membandingkan dua sistem hukum atau lebih, sedangkan pengertian istilah yang kedua, adalah mempelajari hukum asing tanpa secara nyata membandingkannya dengan sistem hukum yang lain.  
    4. Perbandingan hukum adalah metoda umum dari suatu perbandingan dan penelitian perbandingan yang dapat diterapkan dalam bidang hukum. Para pakar hukum ini adalah: Frederik Pollock, Gutteridge, Rene David, dan George Winterton  
    5. Lemaire mengemukakan, perbaningan hukum sebagai cadang ilmu pengetahuan (yang juga mempergunakan metoda perbandingan) mempunyai lingkup (isi) dari kaidah-kaidah hukum, persamaan dan perbedaannya, sebabsebabnya dan dasar-dasar kemasyarakatannya. 
    6. Ole Lando mengemukakan antara lain bahwa perbandingan hukum mencakup “analysis and comparison of the laws”. Pendapat tersebut sudah menunjukkan kecenderungan untuk mengakui perbandingan sebgai cabang ilmu hukum. 
    7. Definisi lain mengenai kedudukan perbandingan hukum dikemukakan oleh Zwiegert dan kort yaitu :”comporative law is the comparable legal institutions of the solution of comparable legal problems in different system”. (perbandingan hukum adalah perbandingan dari jiwa dan gaya dari sistem hukum yang berbeda-beda atau  lembaga-lembaga hukum yang berbeda-beda 
    8. atau penyelesaian masalah hukum yang dapat diperbandingkan dalam sistem hukum yang berbeda-beda). 
    9. Barda Nawawi Arief yang berpendapat perbandingan hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari secar sistematis hukum (pidana) dari dua atau labih sistem hukum dengan mempergunakan metoda perbandingan.


    Perbandingan hukum sebagai disiplin hukum sekaligus sebagai cabang ilmu hukum, pada awalnya dipahami sebagai salah satu metoda pemahaman sistem hukum, di samping sosiologi hukum dan sejarah hukum. Ketiga metoda pemahaman sistem hukum tersebut berkaitan erat satu dengan lainnya. Di dalam perkembangannya, ketiga metoda tersebut telah dipergunakan lebih luas lagi sejalan dengan perkembangan tuntutan kebutuhan hukum masyarakat yang meningkat, sehingga pada akhirnya kedudukannya menjadi disiplin hukum tersendiri. Namun demikian sampai saat ini, di kalangan teoritikus hukum masih terdapat perbedaan pendapat tentang kedudukan perbandingan hukum. Ada pendapat yang menyebut, perbandingan hukum sebagai metoda dan perbandingan hukum sebagai disiplin atau cabang ilmu hukum  Dilihat dari fungsi perbandingan hukum yang fungsional terdapat empat tujuan mempelajari perbandingan hukum, yakni : 1) tujuan yang praktis; 2) tujuan sosiologis; 3) tujuan politis; dan 4) tujuan pedagogis.  Kegunaan studi perbandingan hukum adalah : unifikasi hukum; harmonisasi hukum; mencegah adanya chauvinisme hukum nasional; memahami hukum asing; dan pembaharuan hukum.

       

    Kenyataan menunjkan bahwa tiap negara mempunyai kebudayaan dan hukumnya sendiriyang berbeda dengan hokum dan kebudayaan Negara lainnya, misalkab hokum Anglo Saxon berbeda dengan hukm Eropa Continental, berbeda pula dengan hokumhukum Negara sosialis, nbahkan hokum menurut BW yang berlaku di Indonesia berbeda dengan hokum adapt kita. Untuk mengetahui adanya perbedaan dan persamaan itu serta utuk mengetahui latar belakangnya, perbandingan hokum mempunyai peranan penting. Tujuan Perbandingan Hukum belum ada kesepakatan antara para ahli , sebagaimana Soeroso,SH yang mengutip pendapat Main dalam bukunya “Village Communities” dan Pollack dalam bukunya “ The History of Comparative Jurisprudence” mengatakan bahwa tujuan perbandingan hokum adalah membantu menyelusuri asal-usul perkembanagan daripada konsepsi hokum yang sama di seluruh dunia. Sementara Randall mengatakan bahwa tujuan daripada perbandingan hokum diantaranya; 

    • Usaha mengumpulkan berbagai informasi mengenai hokum asing. 
    • Usaha mendalami pengalaman-pengalaman yang dibuat dalam studi hokum asing dalam rangka pembaharuan hukum.


    Studi Perbandingan Hukum, merupakan ilmu yang sama tuanya dengan disiplin ilmu hukum itu sendiri, namun dalam perkembangannya studi Perbandingan Hukum baru tampak pada abad ke-19 sebagai cabang ilmu khusus dari disiplin ilmu hukum.


    Secara intensif disiplin ilmu hukum berawal di Eropa yang di pelopori oleh Montesquice (Perancis), Mansfeld (Inggris), dan Von Feuerbac, Thibaut, dan Gans (Jerman). Kemudian muncul beberapa insitusi yang concern dalam pengembangan Comperative Legal Study, yaitu Institute Perbandingan Hukum di Colleg de France pada tahun 1832, pada tahun 1846 menyusul Institute Perbandingan Hukun di University of Paris.


    Dalam istilah inggris Perbandingan Hukum disebut :

    • Comperative Law  :  mempelajari berbagai system hukum asing dengan maksud untuk membandingkannya.
    • Comperative Jurisprudence : suatu studi mengenai prinsip-prinsip ilmu hukum dengan melakukan perbandingan berbagai macam sistem hukum. · 
    • Foreign Law  : mempelajari hukum asing dengan maksud semata-mata mengetahui sistem hukum asing itu sendiri dengan tidak secara nyata bermaksud untuk membandingkannya dengan sistem hukum lain.


    Sejarah Perbandingan Hukum 

    Menurut sejarahnya orang yang pertama melakukan perbandingan hukum adalah orang Yunani, seperti Plato dan Aristoteles. Sebaliknya, orang romawi kurang perhatian terhadap perbandingan hukum karena merasa mempunyai superioritas sistem hukum dan politik. Perbandingan hukum pidana yang pertama muncul adalah karya orang Jerman yang terdiri atas 15 Jilid. Dua tahun kemudian, Wolfgang Mittermaier, Hegler dan Kohlrauch menyusun KUHP umum Jerman. Jerman memang dikenal sebagai pusat pengembangan perbandingan hukum pidana yang berlanjut sampai sekarang di Universitas Freidburg sebagai pusat perbandingan hukum.


    Perbandingan hukum merupakan ilmu yang setua ilmu hukum itu sendiri, namun perkembangannya sebagai ilmu pengetahuan baru pada abadabad terakhir. Pada awalnya minat terhadap studi perbandingan hukum masih bersifat perseorangan kemudian berkembang dalam bentuk kelembagaan. Kemudian di Inggris dan Prancis dibentuk Institut Perbandingan Hukum. Menurut Prof Gutteridge, Bapak pelopor Comparative Law ialah Montesqueieu, karena dialah yang pertama kali menyadari bahwa the rule of law tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang abstrak, tetapi juga harus dipandang sebagai suatu latar belakang historis dari lingkungan dimana hukum itu berfungsi. Uraian diatas menunjukan bahwa kita jangan melihat hukum dalam bentuknya yang abstrak atau hukum dalam bentuknya yang tertulis maupun tidak tertulis saja, karena hanya akan melahirkan sikap kaku, tetapi harus melihat apakah hukum tersebut dapat digunakan untuk menyelesaiakan masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat sesuai dengan lingkungan maupun budayanya. Apabila hal itu dikaitkan dengan Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam suku bangsa, bahasa, agama,budaya, dan adat istiadat, maka hukum harus memperhatikan keanekaragaman serta tidak perlu mempersoalkan perbedaan-perbedaan tersebut. Sebaliknya hukum harus mampu menyatukan dan mengelola keanekaragaman masyarakat tersebut menjadi hukum nasional sesuai dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika.


    SOSIOLOGI HUKUM

    Sistem hukum yang modern haruslah merupakan hukum yang baik, dalam arti hukum tersebut harus mencerminkan rasa keadilan bagi para pihak yang terlibat/diatur oleh hukum tersebut. Hukum tersebut harus sesuai dengan kondisi masyarakat yang diaturnya. Hukum tersebut harus dibuat sesuai dengan  prosedur yang ditentukan. Hukum yang baik harus dapat dimengerti atau dipahami oleh para pihak yang diaturnya.


    Perbandingan hukum adalah ilmu pengetahuan yang memperbandingkan sistem hukum yang berlaku didalam satu atau beberapa mayarakat dengan tujuan melakukan pembinaan hukum.


    Pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa kepada sosiologi hukum harus diberikan suatu fungsi yang global, artinya sosiologi hukum harus menghasilkan suatu sintesa antara hukum sebagai sarana organisasi sosial dan hukum sebagai sarana dari keadilan. Didalam fungsi tersebut maka hukum dapat memperoleh bantuan yang tidak kecil dari sosiologi hukum didalam mengidentifikasi konteks sosial dimana hukum tadi diharapkan berfungsi.



    Metode Perbandingan Hukum dan Objek Kajian Perbandingan Hukum.

    Ada satu buku klasik yang ditulis oleh Konrad Zweigert dan Hein Kotz (ditranslasi ke dalam bahasa Inggris oleh Tony Weir, 1987) berjudul “Introduction to Compartive Law”.  Dalam buku ini, kedua penulis dari Universitas Hamburg Jerman ini membedakan dua jenis metode perbandingan hukum, yang disebutnya sebagai: (1) macro-comparison, dan (2) micro-comparison.


    Zweigert dan Kotz (1987: 4-5) memberi penjelasan tentang perbandingan makro itu sebagai berikut:

    Comparative lawyers compare the legal systems of different nations. This can be done on a large scale or on a smaller scale. To compare the spirit and style of different legal systems, the methods of thought and procedures they use, is sometimes called macro-comparision. Here instead of concentrating on individual concrete problems and their solutions, research is done into methods of handling legal materials, procedures for resolving and deciding disputes, or the roles of those engaged in the law.


    Contoh dari perbandingan makro ini adalah jika peneliti mengangkat isu mengenai teknik penemuan hukum yang digunakan oleh hakim di dalam sistem peradilan Indonesia dan Malaysia. Karena kedua negara itu menganut tradisiHukum yang berbeda, maka menarik juga untuk mengetahui bagaimana hakimhakim di kedua negara itu, misalnya dalam melakukan penafsiran hukum tatkala terjadi pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar (konstitusi). Dapat pula dilakukan perbandingan makro terkait model-model pembentukan hukum yang dilakukan oleh lembaga legislatif, atau mengenai pendekatan-pendekatan kodifikasi untuk bidang hukum tertentu.


    Lalu, tentang perbandingan mikro, menurut keduanya adalah sebagai berikut: “Micro-comparison, by contrast, has to do with specific legal institutions or problems, that is, with the rules used to solve actual problems or particular conflicts of interests.” Misalnya, dapat diteliti tentang kapan suatu produsen harus diminta pertanggungjawaban atas cacat tersembunyi dari barang-barang yang dijualnya kepada konsumen, atau apakah seorang anak luar nikah dapat menjadi ahli waris? Pertanyaan-pertanyaan ini dikaji dari perspektif dua atau lebih sistem hukum yang berbeda.


    Tentu saja, tatkala harus mengkjai perbandingan mikro, latar belakang yang lebih makro dari sistem-sistem hukum yang ingin diperbandingkan itu sering harus dideskripsikan juga. Artinya, dalam perbandingan mikro, tidak tertutup kemungkinan harus dilakukan juga perbandingan makro. Namun, apapun pilihan yang harus dilakukan, tiga hal di bawah ini harus ditetapkan terlebih dulu.


    Pertama, harus jelas di antara sistem-sistem hukum itu mana sistem hukum yang dijadikan pijakan dan mana yang menjadi sistem hukum pembanding. Sebagai ahli hukum Indonesia, kita tentu menjadikan sistem hukum Indonesia sebagai titik pijakan. Artinya, sistem hukum Indonesia merupakan primum comparandum. Sekali lagi, di sini sistem hukum Indonesia itu bisa dalam skala makro atau mikro. Lalu ada sistem hukum yang dijadikan sebagai pembanding atau secundum comparatum. Juga bisa dalam skala makro atau mikro. Hal lain adalah dasar pembandingnya atau tertium comparationis.


    Lensa yang dipakai oleh pijakan comparandum dan comparatum harus sama. Jika yang satu makro, maka yang lain juga harus makro. Jika yang satu mikro, maka demikian juga dengan yang lainnya. Prinsip dalam perbandingan adalah harus terbangun komparasi yang apple-to-apple. Oleh sebab itu, hal yang mutlak perlu adalah memastikan apa yang mau diperbandingkan. Inilah tertium comparationis itu. Apabila yang akan diperbandingkan adalah pranata hukum waris Islam, maka pranata itu harus benar-benar ditelaah dulu kesamaannya di dalam sistem-sistem hukum tersebut. Dapat saja terjadi keduanya memang sama-sama ada di sistem-sistem hukum tersebut, tetapi belum tentu bisa diperbandingan secara apple-to-apple. Boleh jadi karena yang satunya sudah lama sekali ada dan diterapkan, sementara yang satunya baru diterapkan, atau bahkan belum berlaku sama sekali. Ketidakhati-hatian untuk menelaah terlebih dulu karakteristik tertium comparationis ini kerap menjadi jebakan.


    Hal lain adalah soal subjektivitas. Oleh karena peneliti sering menggunakan sistem hukum negaranya sendiri untuk dipakai sebagai comparandum, maka subjektivitas kerap muncul tanpa diduga. Hal ini terjadi karena satu sistem hukum lebih dikuasai atau dipahami daripada sistem yang lain. Dalam perkembangan sekarang, peneliti perbandingan hukum tidak selalu harus menggunakan pijakan (titik berdiri) pada sistem hukumnya sendiri. Dapat saja peneliti berdiri di sudut yang netral untuk membandingkan dua atau lebih sistem hukum dengan tidak sama sekali melibatkan sistem hukum dari negaranya (yang notabene lebih dikuasainya).


    Michael Bogdan mengemukakan sebagai berikut : Membandingkan sistem-sistem hukum yang berbeda-beda dengan tujuan menegaskan persamaan dan perbedaan masingmasing : bekerja dengan menggunakan persamaan dan perbedaan yang telah ditegaskan itu, misalnya, menjelaskan asal-usulnya, mengevaluasi solusi-solusi yang dipergunakan dalam sistem-sistem hukum yang berbeda, mengelompokkan sistem-sistem hukum, atau mencari kesamaan inti dalam sistem-sistem hukum tersebut, dan menguraikan masalahmasalah metodologis yang muncul sehubungan dengan tugastugas ini, termasuk masalah-masalah metodologis yang terkait dengan studi hukum luar negeri.


    Metode perbandingan hukum menurut Konrad Zweigert dan Kurt Siehr sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief dalam bukunya yang berjudul   “Perbandingan Hukum Pidana, yaitu: Kritis, karena para comparatis (sarjana perbandingan hukum) sekarang tidak mementingkan perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan dari berbagai tata hukum (legal orders) sematamata sebagai fakta, tetapi yang dipentingkan ialah “apakah Realistis, karena perbandingan hukum bukan saja meneliti perundangundangan, keputusan peradilan dan doktrin, tetapi juga semua motif yang nyata yang menguasai dunia, yaitu yang bersifat etis, psikologis, ekonomis, dan motifmotif dari kebijakan legislatif; dan  Tidak dogmatis, karena perbandingan hukum tidak hendak terkekang dalam kekakuan dogma seperti sering terjadi pada tiap tata hukum.


    Soenarjati H, mengemukakan bahwa perbandingan hukum merupakan suatu metode penyelidikan. Metode yg dipakai adalah membandingbandingkan salah satu lembaga hukum dari sistem hukum yg satu dgn lembaga hukum yg lain, yg kurang lebih mempunyai kesamaan. Dengan membandingkannya kedua lembaga/sistem hukum itu ditemukan adanya unsur-unsur yg sama tapi juga dapat ditemukan adanya unsur-unsur yg berbeda. Perbandingan hukum dapat mengarah kepada sejarah hukum, filsafat hukum dan juga sosiologi hukum.


    Perbandingan hukum sebagai metode, yaitu perbandingan hukum dianggap sebagai suatu cara untuk menelaah hukum secara komprehensif dengan menguji juga sistem, kaidah, pranata dan sejarah hukum lebih dari satu Negara atau lebih dari satu sistem hukum, meskipun sama-sama masih berlaku dalam satu Negara.


    G. Guitens Bourgois mengemukakan Perbandingan hukum sebagai berikut :

    “Perbandingan hukum adalah metode perbandingan yang diterapkan pada ilmu hukum. Perbandingan hukum bukanlah ilmu hukum, melainkan hanya suatu metode studi, suatu metode untuk meneliti sesuatu, suatu cara kerja, yakni perbandingan. Apabila hukum itu sendiri terdiri atas seperangkat peraturan, jelaslah bahwa “hukum perbandingan” (vergelijkende recht) itu tidak ada. Metode untuk membanding-bandingkan aturan hukum dari berbagai sistem hukum tidak mengakibatkan perumusan aturan-aturan yang berdiri sendiri, tidak ada aturan hukum perbandingan”. Perbandingan hukum sebagai suatu mettode pendekatan mengandung arti, bahwa ia merupakan suatu cara pendekatan untuk lebih memahami objek atau masalah yang diteliti. Oleh karena itu, para sarjana menggunakan istilah metode perbandingan hukum bukan hukum perbandingan dengan menetapkan metode studi atau suatu cara kerja dalam melakukan perbandingan.


    Sunaryati Hartono mengemukakan Perbandingan hukum sebagai berikut :

    “Perbandingan hukum bukanlah suatu bidang hukum tertentu seperti midalnya hukum tanah, hukum acara, akan tetapi sekedar merupakan cara penyelidikan suatu metode untuk membahas suatu persoalan hukum, dalam bidang manapun juga. Jika kita hendak membahas persoalan yang terletak dalam bidang hukum perdata, atau hukum pidana mau tidak mau harus membahas persoalan umum yang merupakan dasar dari keseluruhan sistem hukum dan ilmu hukum itu.”

    Van Apeldoom menyatakan, bahwa : “Objek ilmu hukum adalah hukum sebagai gejala kemasyarakatan, dan tidak hanya menjelaskan apa yang menjadi ruang lingkup dari hukum itu sendiri, tetapi juga menjelaskan hubungan antara gejala hukum dengan gejala sosial lainnya”. 


    Untuk mencapai tujuannya itu, maka digunakan metode sosiologis, sejarah dan perbandingan hukum:

    1. Metode sosiologis, untuk meneliti hubungan antara hukum dengan gejala sosial lainnya. 
    2. Metode sejarah untuk meneliti perkembangan hukum, dan 
    3. Metode perbandingan hukum, untuk membandingkan pelbagai tertib hukum dari bermacam-macam masyarakat. 


    Soerjono Soekanto mengemukakan, ketiga metode tersebut saling berkaitan dan hanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisah-pidahkan. 

    • Metode sosiologis tidak dapat diterapkan tanpa metode sejarah, karena hubungan antara hukum dengan gejala sosial lainnya merupakan hasil dari suatu perkembangan (zaman dahulu), metode perbandingan hukum juga tidak boleh diabaikan karena hukum merupakan gejala dunia. 
    • Metode sejarah memerlukan bantuan dari metode sosiologis, karena perlu diteliti faktor sosial yang mempengaruhi perkembangan hukum. 
    • Metode perbandingan tidak membatasi diri pada perbandingan yang bersifat deskriptif, tetapi diperlukan data tentang berfungsinya atau efektivitas hukum, sehingga diperlukan metode sosiologis untuk mengetahui perkembangan hukum yang diperbandingkan.


    Hessel E. Yntema menyatakan Perbandingan hukum  :

    “Perbandingan hukum hanyalah nama lain untuk ilmu hukum dan bagian integral dari bidang yang lebih luas dari ilmu pengetahuan sosial seperti cabang ilmu pengetahuan lain ia mempunyai pandangan kemanusiaan yang universal : ia memandang, meskipun tekniknya berbeda, bahwa masalah keadilan pada dasarnya sama menurut waktu dan tempat di seluruh dunia”. (Comparative law is simply another name of social science. For, like another branches of science, it has a universal humanistic outlook : it contenplates that, while techniques may vary, the problem of justice are basically the in the time and space throughout the world).


    G.J. Sauveplaanne mengemukakan Perbandingan hukum : 

    “metode fungsional menambah pada perbandingan hukum suatu dimensi sosiologis. Ini tidak berarti, bahwa pertandingan hukum sama dengan sosiologi hukum. Perbandingan hukum tidak hanya bergerak di bidang penelitian empiris, akan tetapi juga berusaha untuk mencapai tujuannya di bidang hukum sendiri, yang menuju kepada perbandingan dan penilaian kritis bahan yang ditemukan.”


    Pendekatan yang dipergunakan dalam melakukan perbandingan hukum bila dilihat dari objek studi perbandingan hukum, yaitu:

    Perbandingan Hukum Substantif, yaitu memperbandingkan antara 2 (dua) atau lebih dari hukum substantive (misalnya, Perbandingan tentang Hukum Pidana, Kontrak, Hukum Tata Negara dan lain sebagainya); dan Perbandingan Infrastruktur Hukum, yaitu memperbandingkan infrastruktur dari hukum (misalnya, kultur, sejarah, sumber hukum dan lainnya).


    Cara Melakukan Perbandingan Hukum

    Perbandingan hukum adalah suatu proses mempelajari dan memahami serta mensejajarkan konsep-konsep berdasarkan pendekatan fungsional dan pendekatan pemecahan masalah yang meliputi unsur-unsur suatu sistem hukum beserta segala persamaan dan perbedaannya sebagai titik tolak perbandingan dalam melakukan pembandingan terhadap satu sama lain yang dapat diperbandingkan. Pembandingan terhadap dua sistem hukum atau lebih dilakukan untuk dapat menemukan perbedaan dan persamaan, seperti pembandingan antara dua sistem hukum pidana yang diterapkan pada masyarakat masing-masing negara, misalnya KUHP dari dua negara. Dalam hal ini, maka harus ada unsur-unsur yang diperbandingkan antara dua sistem hukum pidana dari dua negara yang masuk dalam keluarga hukum yang berbeda, yaitu antara sistem hukum yang masuk ke dalam keluarga hukum civil law dengan sistem hukum yang masuk dalam keluarga hukum common law. Pada umumnya, perbandingan hukum pidana dilakukan terhadap ketentuanketentuan umum dan asas-asas hukum pidana tanpa membandingkan perumusan tindak pidana dalam KUHP yang berlaku pada masing-masing negara tersebut. Apabila diperhatikan jenis-jenis kejahatan dalam KUHP di berbagai negara tersebut, terdapat kejahatan yang dapat dipandang netral, artinya semua negara memandang perbuatan itu dapat dipidana, misalnya pencurian, pembunuhan, penipuan, dan perkosaan. Jenis kejahatan tersebut terdapat pada KUHP semua negara, yang berbeda hanyalah jenis sanksi pidananya.


    Sedangkan jenis kejahatan baru yang timbul setelah adanya perkembangan masyarakat dan kemajuan teknologi, misalnya kejahatan komputer, cyber crime, money laundring, terorisme, dan kejahatan lingkungan hidup. Kejahatan tersebut juga merupakan kejahatan yang bersifat netral. Perbedaan ancaman pidana terhadap jenis kejahatan yang sama disebabkan karena perbedaan budaya dan perbedaan tingkat kesadaran hukum masyarakat yang berbeda sesuai tingkat SDM warga masyarakatnya.


    Metode Pembandingan Hukum Pidana (KUHP) 

    Dalam perumusan kejahatan, tidak selalu perbuatan buruk atau tidak buruk dimasukan dalam rumusan KUHP setiap negara tetapi ada pertimbangan lain, misalnya ketertiban umum, sehingga perbuatan tersebut perlu diancam dengan pidana walaupun bukan merupakan perbuatan buruk. Begitu pula kejahatan ada yang bersifat netral dan yang bersifat tidak netral, khususnya kejahatan di bidang ideologi, agama, dan kesusilaan. Dalam memperbandingkan hukum pidana ada sarjana yang menyatakan, cukup hanya membandingkan bagian ketentuan umum atau asas-asas hukum pidana dari beberapa KUHP tanpa membandingkan perumusan kejahatan atau ketentuan khususnya atau hanya mengutamakan asas hukum pidana suatu bangsa. Namun ada pula yang hanya menyebut asas-asas itu tanpa menjelaskan perbedaan dan persamaannya. Dalam melakukan perbandingan hukum pidana, semestinya perlu menjelaskan tentang perbedaan dan persamaannya. Dalam membandingkan sebaiknya bukan hanya asas legalitas saja tetapi juga perumusan kejahatan atau bagian khususnya. Cara merumuskan kejahatan sangat penting dipelajari, terutama melihat kenyataan di Indonesia, yaitu banyak sekali perumusan kejahatan dalam perundangundangan di luar KUHP yang tidak sesuai dengan maksud asas legalitas. Artinya banyak rumusan yang bersifat ”pasal karet” atau serba meliputi. Oleh karena itu, dalam rangka penyusunan KUHP baru, cara perumusan kejahatan dan ancaman pidana merupakan hal yang penting untuk menghindari rumusan pasal karet dan disparitas pidana.



    OBJEK PERBANDINGAN HUKUM

    Di dalam bukunya “Perbandingan Hukum Perdata” Prof.. H,R.Sardjono,SH mengatakan bahwa para ahli perbandingan hokum tidak terdapat kata sepakat mengenai obyek perbandingan hukum bahkan pada saat sekarang kebanyakan orang beranggapan bahwa perbandingan hukum tidak mempunyai obyek tersendiri tetapi mempelajari hubungan-hubungan social yang telah menjadi obyek studi dari cabang-cabang ilmu hokum yang telah ada. Menurut hemat penulis ungkapan tersebut mungkin didasarkan pada pengertian dan posisi perbandingan hokum sebagai metode penelitian. Sebagai metode peneletian perbandingan hukum dapat dipergunakan disemua cabang ilmu hukum, seperti hukum pidana, hukum pidana, hokum tata Negara dan sebagainya, atas dasar pengertian ini maka obyek perbandingan hokum memang tidak tersendiri artinya masih mempelajari daripada obyek studi dari cabang-cabang ilm hukum yang ada Dalam buku Pengantar Ilmu Hukum, Soeroso menyebutkan bahwa Perbandingan hukum dapat mengarah kebidang sejarah hokum, sosiologi hokum, dan dapat juga mengarah ke filsafat hukum yaitu :

    1. Mengarah ke bidang sejarah hokum apabila yang dibandingkan adalah hukum—yang sifat dan coraknya sama—pada masa lampau dengan hukum pada masa sekarang, misalnya lembaga hokum “milik” dari hukum inggris pada masa sekarang dibandingkan dengan lembaga hukum milik pada masa pertengahan dan pada zaman kuno. 
    2. Perbandingan Hukum dapat menjurus ke arah filsafat hukum apabila persamaanpersamaan, daripada lembaga-lembaga hukum yang dibandingkan merupakan inter dan hakikat dari pada lembaga hukum yang dibandingkan. Misalnya hakikat lembaga hukum perkawinan menurut BW dibandingkan dengan hakikat lembaga hokum perkawinan menurut hokum adat. 
    3. Perbandingan Hukum dapat menjurus ke arah sosiologi hukum apabila dua atau lebih system hukum disuatu Negara dibandingkan dengan system hokum di Negara lain, misalnya system hukum di Afrika dibandingkan dengan system hokum di Indonesia ternyata system hukum di Afrika berlainan dengan system hokum di Indonesia, kebudayaan dan pola politik. Jadi perbedaan kebudayaan dan cara hidup bangsa mengakibatkan system hukum yang berbeda. Dari beberapa keterangan diatas penulis memang sepakat bahwa obyek kajian perbandingan hukum masih mencakup objek studi pada cabang-cabang ilmu hukum yang telah ada.



    Legal System, Legal Tradition dan Legal Family serta Landasan Penentuan Klasifikasi Sistem Hukum

    Pengertian sistem dan Sistem Hukum

    Sebelum membahas mengenai sistem hukum ada baiknya Penulis paparkan terlebih dahulu pengertian dari kata sistem. Kata “sistem” artinya adalah “perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas”.  Sistem hukum menurut Van der poel adalah “sekumpulan unsurunsur yang diantaranya terdapat adanya hubungan-hubungan, dimana unsurunsur yang ditujukan ke arah pencapaian sasaran-sasaran umum tertentu”. Jadi sistem hukum terdiri dari lebih dari satu unsur, dimana antara unsur-unsurnya saling terkait dan terhubung satu sama lain guna mencapai tujuan tertentu. Sistem hukum di dunia ini secara garis besar/umumnya menganut dua sistem hukum yaitu sistem hukum Civil law yang dianut di sebagian Negara-negara eropa daratan beserta jajahanjajahannya dan juga sistem hukum Common Law yang dianut oleh Negara Inggris berserta jajahan-jajahannya. Perbandingan hukum di perlukan untuk memperluas wawasan tentang ragam sistem hukum yang dianut oleh Negara kita maupun Negara lain, sehingga dapat diketahui kelebihan maupun kekurangannya. Adapun hal itu nantinya dapat berguna untuk pembangunan hukum nasional.


    Beberapa sarjana mendefinisikan “sistem” ke dalam beberapa pengertian yang berbeda-beda, tetapi pada dasarnya definisi tersebut saling mengisi dan melengkapi. Secara semantik, istilah sistem diadopsi dari bahasa Yunani, yakni systema yang dapat diartikan sebagai keseluruhan yang terdiri dari macam-macam bagian. D. Keuning mengkompilasi definisi sistem dari berbagai pendapat sarjana diantaranya, Ludwig von Bertalanffy  yang menyatakan systems are complexes of element standing interaction. A.D. Hall/R.E. Fagen menyatakan a system is a set of objects together with relationship between the objects and between the attributes.


    Sistem merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur atau elemen yang saling berinteraksi satu sama lain. Dalam sistem tidak menghendaki adanya konflik antar unssur-unsur yang ada dalam sistem, kalau sampai terjadi konflik maka akan segera diselesaikan oleh sistem tersebut.


    Romli Atmasasmita menyebutkan pengertian  sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.  Definisi dari Jhr. Van der Poel menyebutkan sistem artinya sekumpulan unsur-unsur yang diantaranya terdapat adanya hubungan-hubungan yang ditujukan ke arah pencapaian sasaran-sasaran umum tertentu. Kemudian definisi dari C. West Churman menyatakan...... systems are made up of sets of components that work together for the overall objective of the whole (sistem adalah seperangkat komponen yang bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan umum)4. Menurut Friedman, sebuah sistem adalah sebuah unit yang beroperasi dengan batas-batas tertentu. Sistem ini bisa bersifat mekanis, organis atau sosial.


    Pendekatan sistem dalam dunia pengetahuan, bukanlah pendekatan baru. Menenius Agrippa, pada masa kejayaan Romawi telah menggunakan pendekatan itu untuk menjelaskan esensi suatu negara. Menurutnya ... “ the state, like a living body, is a whole and just as the parts of body are interrelated and require each other’s presence, so with the various strata of society. Konsep ini pernah mengalami kemunduran, sekarang ini menjadi relevan kembali. Menurut Alfred North Whitehead, ini disebabkan karena 3 faktor, yaitu profesionalisme ilmu pengetahuan, diferiansiasi ilmu pengetahuan, dan keterbatasan daya jangkau ilmu pengetahuan terhadap kebutuhan-kebutuhan nyata kehidupan manusia, sebagai akibat dari lemahnya aksiologi dan fungsionalsasi praktis ilmu.


    Teori sistem merupakan sejarah penjelajahan intelektualitas manusia dalam usaha untuk menemukan cara yang paling tepat untuk mempelajari suatu kesatuan yang kompleks (complex entity or system). Ludwig von Bertalanffy tahun 1930, menyatakan bahwa metode sains tradisional sebagai suatu metode sains tidak cukup  memenuhi kebutuhan pemecahan masalah sains (had proved insufficient to deal with theoritical problems). Oleh karena itu sangat dibutuhkan pendekatan baru yang dapat mengatasi metode analitis itu, yaitu melalui teori sistem. Teori sistem umum (general system theory) mempunyai empat ciri, yaitu mampu memenuhi kritiknya terhadap metodologi analitis, mampu melukiskan kekhususan hal yang disebut sistem itu, mampu menjelaskan kekaburan hal-hal yang termasuk dalam suatu sistem dan merupakan teori saintifik.


    Sedangkan sistem hukum  (legal system) menurut J.H. Merryman merupakan  seperangkat operasional yang meliputi institusi, prosedur, aturan hukum, dalam konteks ini ada satu negara federal dengan lima puluh sistem hukum di Amerika Serikat, adanya sistem hukum setiap bangsa secara terpisah serta ada sistem hukum yang berbeda seperti halnya dalam organisasi Masyarakat Ekonomi Eropa dan PBB.


    Pengertian sistem hukum yang lain dikemukakan oleh Bachsan dengan menghubungkannya dengan Stufen Theory dari Hans Kelsen. Sistem hukum merupakan seperangkat kaidah yang tersusun seperti piramid dan yang berhubungan satu dengan yang lainnya ( yang sudah tentu mempunyai tujuan yaitu untuk memperoleh masyarakat yang tertib, adil dan damai). Dengan demikian sistem hukum Indonesia adalah seperangkat peraturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang berhubungan satu dengan yang lainnya untuk mencapai masyarakat Indonesia yang tertib, adil dan damai.


    Menurut Sudikno, hukum merupakan sistem berarti  bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain.8 Sistem hukum merupakan sistem normatif karena juga berisi tentang kaedah atau pernyataan tentang apa yang seharusnya. Diantara bagian-bagian atau unsur-unsur dalam sistem terjadi hubungan khusus yang merupakan tatanan yang khusus pula yang disebut struktur. Struktur menentukan identitas sistem, sehingga unsur-unsur masing-masing dapat berubah, bahkan diganti tanpa mempengaruhi kontuinitas sistem. Sebagai contoh, peraturan dapat berubah, undang-undang diganti, yurisprudensi selalu berkembang, tetapi sistemnya tetap sama.


    Untuk melakukan perbandingan hukum, terlebih dahulu harus mempelajari sistem hukum negara asing secara mendalam karena setiap negara mempunyai sistem hukumnya sendiri. Klasifikasi sistem hukum yang ada di dunia tersebut dinamakan dengan keluarga hukum, meskipun belum ada kesepakatan kriteria penggolongan keluarga hukum. 

    Selanjutnya bahwa yang menentukan klasifikasi ialah gaya dari sesuatu sistem hukum atau kelompok sistem hukum sehingga kriteria adalah:

    1. Asal dan perkembangan historis. 
    2. Cara pemikiran hukum yang spesifik. 
    3. Lembaga hukum yang karakteristik.
    4. Sumber-sumber hukum dan interpretasinya. 
    5. Faktor-faktor ideologis


    Kelima keluarga besar hukum itu adalah sebagai berikut: 

    1. Sistem Eropa Kontinental dan Amerika Latin (System of Law Civil)
    2. Sistem Anglo-American (Common Law Sistem) 
    3. Sistem Timur Tengah (Middle East System) seperti Irak, Yordania, Arab Saudi.
    4. Sistem Timur Jauh (Far East System) seperti China dan Jepang. 
    5. Sistem negara-negara sosialis. (Sosialist Law System)


    Perkembangan terakhir dengan bubarnya Uni Soviet, penyebutan negara sosialis sebagai keluarga sendiri menjadi kurang relevan. Khusus mengenai perbandingan hukum pidana, ada kecenderungan sesudah globalisasi, sistem hukum negara-negara pada umumnya hanya terbagi dua, yaitu sistem hukum pidana Eropa  Kontinental (Civil Law) serta sistem Anglo Saxon dan Anglo-Amerika (Common Law).

     

    Barangkali negara-negara Arab yang masih konservatif seperti Arab Saudi yang dapat digolongkan ke dalam keluarga hukum Islam. Adapun negara-negara Arab bekas jajahan Eropa, pada umumnya menganut hukum pidana mirip ke Eropa Kontinental dengan warna Islam, khususnya menyangkut delik agama dan kesusilaan.


    Mempelajari stelsel hukum dunia merupakan hal yang sangat penting dalam mengungkapkan unsur-unsur persamaan dan perbedaan dari berbagai sistem hukum yang berlaku dewasa ini. Marc Ancel membedakan sistem hukum dunia menjadi 5 jenis hukum yang dikelompokkan dalam satu keluarga berdasarkan asal-usulnya, sejarah perkembangannya serta metode penerapannya (their origin, their historis development and their methods of application).


    Stelsel Hukum Civil Law 

    Pada mulanya negara Eropa tergabung pada sistem Eropa Kontinental. Ciri khusus dari stelsel hukum Eropa Kontinental atau civil law yakni: 

    1. Hukum merupakan produk legislatif. 
    2. Sangat dipengaruhi oleh persepsi hukum romawi. 
    3. Semua sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law dikodifikasi dalam suatu peraturan perundang-undangan. 
    4. Keputusan pengadilan dalam sistem hukum kontinental atau civil law bukan sumber hukum yang pertama tetapi hanya keterangan mengenai hukum. 
    5. Dalam commom law memberi tempat yang sangat penting pada pengadilan sedangkan pada sistem Eropa Kontinental atau civil law tidak demikian, hukum tidak hanya penuntutan tetapi sebagaian besar mengenai fungsi umumnya. 
    6. Dualisme hukum kebiasaan dan kepatutan sebagaimana dalam commom law tidak dikenal dalam sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law. 
    7. Semua sistem civil law berbeda dalam substansi dan prosedur antara hukum perdata dengan hukum administrasi.


    Stelsel Hukum Common Law 

    Sistem hukum commom law mulanya berasal dari kebiasaan di Inggris kemudian berkembang sejak abad XI. Sistem hukum commom law dikenal juga dengan istilah Anglo Saxon atau Anglo Amerika. Pada dasarnya sistem hukum ini menekankan pada unwritten law. Sistem hukum commom law mempunyai ciri-ciri: 

    1. Sebagian hukum commom law adalah hasil dari pertumbuhan historis yang terlaksana secara bertahap sehingga masih mempunyai dan menunjukkan unsur-unsur feodalnya. 
    2. Putusan pengadilan dalam sistem hukum commom law adalah salah satu sumber hukum yang sangat penting. 
    3. Dualisme hukum kebiasaan dalam kepatutan dengan sistem hukum commom law yang diakui dan ini tidak dikenal dalam sistem civil law. 
    4. Semua hukum civil law berbeda dalam substansi dan prosedur dalam hukum perdata dan hukum administratif, hukum commom law menolak pembagian dalam dua bagian ini dan berpegang setidak-tidaknya dalam teori, pada prinsipnya berlaku asas perlakuan yang sama di muka hukum. 
    5. Sistem hukum commom law memberi tempat yang sangat penting dan istimewa kepada pengadilan. 
    6. Semua sistem commom law masih menundukkan diri berdasarkan kebiasaan sedangkan dalam sistem hukum civil law semua hukum dikodifikasikan, ada dalam peraturan 
    7. perundang-undangan dan merupakan produk hukum legislatif. 
    8. Dalam sistem hukum commom law hakim di pengadilan dapat membuat hukum sendiri dengan melihat kasus-kasus dan fakta-fakta. Hal ini sering diistilahkan dengan judge made law atau case law. Pada hakikatnya hakim berfungsi sebagai legislatif. Meskipun dalam sistem hukum commom law hakim mengikuti the doctrine of precedent (stare dececis) tetapi dalam penggunaan doktrin tersebut hakim harus mempergunakan ukuran: 
    9. Setiap perkara harus bersifat einmalig artinya hanya satu kali saja terjadi dan tidak mungkin persis sama dengan perkara-perkara sebelumnya. Dalam hal ini hakim hanya diwajibkan mengikuti the doctrine of precedent bila ada hal-hal yang berhubungan langsung dengan produk perkara (racio decidendi) sedangkan hal-hal yang bersifat tambahan atau ilustrasi (obiter dicta) dapat mengesampingkannya atau menurut keyakinannya. 


    Harus reasonabless yakni harus dilihat dalam rangka sistem hukum yang bersangkutan dalam rangka kemungkinan atau keadilan. Jadi putusan yang terdahulu kalau tidak reasonabless tidak perlu diikuti. Sistem juri merupakan ciri khas dari commom law yaitu orang-orang sipil yang mendapatkan tugas dari Negara untuk berperan sebagai juri dalam sidang perkara. Juri ditunjuk oleh Negara secara acak dan seharusnya adalah orang-orang yang kedudukannya sangat netral dengan asumsi juri adalah orang awam yang tidak mengetahui sama sekali latar belakang perkara yang disidangkan. Kedua pihak dalam perkara kemudian diberi kesempatan untuk mewawancara dan menentukan juri pilihannya. Seseorang tidak boleh menolak untuk menjadi juri kecuali untuk alasanalasan tertentu seperti adanya conflict interest atau mengenal terdakwa baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam keluarga sistem common law, keaktifan dituntut datang dari para hakim. Undang-undang bukanlah sesuatu yang dapat diandalkan oleh mereka dalam menghadapi situasi terberi (given situation) di pengadilan. Dalam pencarian sumber hukum, perhatian mereka pertama-tama tidak tertuju kepada undang-undang, tetapi lebih kepada konstelasi hubungan para pihak yang bersengketa. Sekalipun ada undang-undang yang dapat dijadikan sumber acuan, hakim tetap diberi kesempatan untuk menemukan hukum lain di luar undang-undang, dengan bertitik tolak dari pandangan subjektifnya atas kasus yang dihadapi. Pada kasus-kasus demikian, hakim dituntut untuk menyelaraskan makna kemanfaatan itu tadi dengan kepentingan masyarakat luas, sehingga tercapai pula dimensi keadilan (Gerechtigkeit) dalamputusannya. Untuk melembagakan semangat berkeadilan inilah, antara lain lalu dihadirkan dewan juri di pengadilan sebagai pranata khas common law. Demikian juga dengan eksistensi pranata equity yang lahir sebagai alternatif dari pengadilan common law. Selanjutnya, agar nilai kepastian hukum juga tercakup dalam putusan hakim, maka asas preseden yang mengikat (the binding force of precedent) diterapkan. Tatkala hakim menjatuhkan putusan, ia dipastikan sudah memperhatikan dengan saksama putusanputusan sebelumnya yang mengadili kasus serupa. Jika tidak ada alasan yang sangat prinsipil, hakim tersebut tidak dapat mengelak kecuali ia juga menjatuhkan putusan yang secara substantif sama dengan putusan sebelumnya.



    Family Law : Civil Law : Sejarah Perkembangan, Karakteristik, serta Negara yang Menganut

    Istilah keluarga sistem hukum (Parent legal system) biasa dipergunakan oleh para ahli perbandingan hukum  (legal comparative) untuk menyebutkan suatu tatanan organisasional yang paling penting (organizational linchpin) dalam rangka penganalisaan sistem-sistem hukum berbagai negara di dunia. Keluarga hukum ini merupakan eponymous models yakni certain laws which can be considered typical and representative of a family which groups a number of law. Dengan demikian, istilah keluarga sistem hukum dapat disamakan dengan sistem-sistem hukum utama (major legal system) atau bahkan cukup ditulis sebagai keluarga hukum (legal family, familie juridique).


    Tradisi sistem hukum Civil law adalah tradisi hukum yang (kemungkinan) paling tua dan paling banyak pengaruhnya serta meluas dipergunakan di dunia ini. Tradisi hukum ini bersumber dari tradisi hukum Romawi yang kemudian terpecah menjadi dua yaitu hukum Romawi.


    Jerman/Germania dan hukum Romawi Prancis  yang dianut oleh sebagian besar Negara eropa beserta jajahannya. Tradisi hukum civil law ini mengandalkan kitab undang-undang (code) sebagai dasar hukum utamanya. Tradisi hukum ini (dianggap) lahir sejak (kira-kira) tahun  450 sebelum Masehi, saat berlakunya “Undang-undang dua belas pasal” atau “twelve table” di Romawi, mekipun begitu banyak yang berpendapat tradisi hukum ini berakar dari kompilasi hukum Romawi “Justisian” yang merupakan kumpulan undang-undang atas perintah Justianus I/Kaisar Romawi Timur pada tahun (kira-kira) 534 masehi. Karena mengandalkan kitab undang-undang sebagai sumber hukum dan dasar hukum utamanya maka sistem hukum Romawi sangat mengandalkan unsur-unsur logis dan sistematika berpikir. Hakim-hakim dalam Tradisi hukum civil law pada umumnya menggunakan cara berpikir deduktif yaitu cara berpikir yang bersifat “umum” menuju ke kesimpulan yang bersifat “khusus” (Munir Fuady. 2005 : 5-6). Contoh cara bepikir deduktif adalah seperti ini :

    • Berdasarkan pasal 362 KUHP , “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”. 
    • Si A telah terbukti mengambil barang milik orang lain tanpa ijin secara melawan hukum 
    • Jadi kesimpulannya si A telah melakukan pencurian dan hakim harus menjatuhkan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah.


    Hakim-hakim dalam tradisi sistem hukum civil law pada umumnya bertindak sebagai corong undang-undang, karena hakim memutus perkara harus berdasarkan undang-undang. Dalam sistem hukum civil law, hukum adalah undang-undang maka diluar undang-undang adalah “bukan hukum”. Kedudukan pembentuk peraturan perundangan dalam sistem hukum civil law sangat penting, karena peraturan perundangan lah satu-satunya sumber hukum yang menjadi pijakan hakim dalam memutus.


    Hukum sipil (civil law) atau yang biasa dikenal dengan Romano-Germanic Legal System adalah sistem hukum yang berkembang di dataran Eropa. Titik tekan pada sistem hukum ini adalah, penggunaan aturan-aturan hukum yang sifatnya tertulis. Sistem hukum ini berkembang di daratan Eropa sehingga dikenal juga dengan sistem Eropa Kontinental. Kemudian disebarkan negara-negara Eropa Daratan kepada daerah-daerah jajahannya.

    Secara umum sistem hukum Eropa Kontinental dibagi menjadi dua, yaitu:

    1. Hukum publik : Dimana negara dianggap sebagai subyek/ objek hukum. 
    2. Hukum privat : Dimana negara bertindak sebagai wasit dalam persidangan/ persengketaan.


    Istlah civil law punya kemungkinan untuk diartikan dalam beberapa makna berbeda. Civil law, dalam satu pengertian, merujuk ke seluruh sistem hukum yang saat ini diterapkan pada sebagian besar negara Eropa Barat, Amerilka Latin, negara-negara di Timur dekat dan sebagian besar wilayah Afrika, Indonesia dan Jepang. Sistem ini diturunkan dari hukum Romawi kuno dan pertama kali diterapkan di Eropa berdasarkan jus civile Romawi (hukum privat yang dapt diaaplikasikan terhadap warga negara dan diantara warga negara di dalam batasan sebuah negara dalam konteks domestik). Sistem ini disebut juga Jus quiritum sebagai lawan dari  Jus Gentium (hukum yang dapat diaplikasikan secara internasional atau antar negara. Selanjutnya, hukum ini dikompilasikan dan dikodifikasikan, sehingga banyak pengamat yang merujuk civil law sebagai hukum kodifikasi yang paling utama.


    Sistem hukum civil sebagai  sistem hukum Barat merupakan konsep hukum modern yang diadopsi hampir oleh masyarakat bangsa-bangsa di dunia. Sebelum memanifestasi sebaagai sistem hukum yang mapan, ternyata di Eropa pada awalnya sistem hukum sipil juga mengalami suatu proses transisi dari sistem hukum yang tidak teratur, kacau, tumpang tindih dan sulit diterapkan.


    David dan Brierly menyebut Civil law sebagai bagian dari keluarga Romano-Germanic, karena meliputi hukum Romawi dan kontribusi dari ilmu hukum Jerman dalam perkembangan gaya yuristik. Negara-negara civil law didasarkan pada kriteria sumber-sumber hukumnya (peraturan, undang-undang dan legislasi utama yang berlaku), karakteristik mode pemikirannya berkenaan dengan masalah hukum, institusi hukum yang berbeda (struktur yudisial, eksekutif, legislatif), ideologi hukum yang fundamental.


    Sistem hukum Civil Law memiliki kelebihan yaitu lebih menjamin kepastian hukum karena sistem hukum ini bersifat tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Kelemahan sistem hukum civil law adalah sistem hukum ini kadangkala kaku dan kurang responsif terhadap kenyataan-kenyataan yang timbul di masyarakat. Hakim hanya berfungsi corong undang-undang padahal pada umumnya peraturan perundangan seringkali tertinggal dari perubahan masyarakatnya.


    Ciri pokok Civil  Law adalah sistem ini menggunakan pembagian dasar ke dalam hukum perdata dan hukum publik. Kategori seperti itu tidak dikenal dalam sistem Common Law. Ciri atau karakteristik dari sistem Civil Law adalah: 

    1. Adanya sistem kodifikasi : Alasan mengapa sistem Civil Law menganut paham kodifikasi adalah antara lain karena demi kepentingan politik Imperium Romawi, di samping kepentingan-kepentingan lainnya di luar itu. Kodifikasi diperlukan untuk menciptakan keseragaman hukum dalam dan di tengah-tengah keberagaman hukum. Agar kebiasaan-kebiasaan yang telah ditetapkan sebagai peraturan raja supaya ditetapkan menjadi hukum yang berlaku secara umum, perlu dipikirkan kesatuan hukum yang berkepastian. Pemikiran itu, solusinya adalah diperlukannya suatu kodifikasi hukum.
    2. Hakim tidak terikat dengan preseden atau doktrin stare decicis, sehingga undangundang menjadi rujukan hukumnya yang utama : Nurul mengutip pendapat Paul Scholten yang mengatakan bahwa maksud pengorganisasian organ-organ negara Belanda tentang adanya pemisahaan antar kekuasaan membuat undang-undang, kekuasaan peradilan dan sistem kasasi serta kekuasaan eksekutif, dan tidak dimungkinkannya kekuasaan yang satu mencampuri urusan kekuasaan lainnya, dengan cara tersebut maka terbentuklah yurisprudensi.
    3. Sistem peradilannya bersifat inkuisitorial: Dalam sistem ini hakim mempunyai peranan yang besar dalam mengarahkan dan memutus suatu perkara. Hakim bersifat aktif dalam menemukan fakta hukum dan cermat dalam menilai bukti.Hakim di dalam sistem Civil Law berusaha untuk mendapatkan gambaran lengkap dari peristiwa yang dihadapainya sejak awal. Sistem ini mengandalkan profesionalisme dan kejujuran hakim.


    Hukum sipil adalah sistem hukum yang paling umum di dunia. Negara-negara yang mendasarkan sistem hukumnya pada Hukum sipil yang dikodifikasikan termasuk:

    Negara : Deskripsi

    1. Albania
    2. Austria
    3. Belanda
    4. Belgium
    5. Bulgaria
    6. Brasil
    7. Chili
    8. Republik Ceko
    9. Denmark
    10. Republik Dominika
    11. Ekuador
    12. Estonia
    13. Finlandia
    14. Guatemala
    15. Haiti
    16. Hongaria
    17. Indonesia
    18. Italia : didasarkan pada Sistem hukum Romawi yang dikodifikasikan, dengan unsur-unsur dari kode hukum Napoleon.
    19. Jepang:mengikuti sistem hukum Eropa, dengan pengaruh Inggris-Amerika.
    20. Jerman
    21. Kolombia
    22. Kroasia
    23. Latvia : Umumnya dipengaruhi oleh Jerman, sebagian pengaruh sistem hukum Rusia dan Soviet.
    24. Lituania : Hukum sipil (civil law), Sistem hukum di Uni Eropa; sebagian pengaruh sistem hukum Rusia dan Soviet
    25. Luxembourg
    26. Makau : didaasrkan pada sistem hukum Portugal yang didasarkan pada tradisi daratan Eropa, yang pada gilirannya dipengaruhi oleh Jerman, juga dipengaruhi oleh Sistem hukum di RRT
    27. Malta : Mulanya didasarkan pada Hukum Romawi dan akhirnya berkembang ke Kode Hukum Rohan, Codex Napoleon dengan pengaruh dari Sistem hukum Italia. Namun Common law Britania juga merupakan sumber dari Sistem hukum Malta, yaitu Hukum publik
    28. Meksiko
    29. Norwegia
    30. Panama
    31. Perancis
    32. Peru
    33. Polandia
    34. Portugal
    35. Rusia
    36. Slowakia
    37. Spanyol
    38. Swedia
    39. Swiss
    40. Thailand
    41. Republik Tiongkok(Taiwan)
    42. Republik Rakyat Tiongkok : didasarkan pada Sistem hukum sipil; yang diambil dari prinsip-prinsip hukum sipil Soviet dan daratan Eropa.
    43. Vietnam :Teori hukum komunis dan Hukum sipil Perancis
    44. Yunani : didasarkan pada Sistem hukum Romawi yang dikodifikasikan



    Family Law : Common Law : Sejarah Perkembangan, Karakteristik, serta Negara yang Menganut.

    Tradisi sistem hukum common law  berasal dari hukum Inggris. Negaranegara yang pernah dijajah dan dipengaruhi oleh Inggris juga menganut sistem hukum ini seperti : Amerika Serikat, Australia, India, Malaysia, Singapur dan lain-lainya. Diduga sistem hukum ini lahir sekitar tahun 1066 Masehi pada masa The Norman Conquest of England. Hakim-hakim dalam sistem hukum Common Law pada umumnya mengandalkan yurisprudensi/precedent sebagai sumber hukum utamanya sehingga dalil-dalilnya bergerak dari kasus-kasus yang nyata dalam masyarakat dan memakai sistem juri. Berkebalikan dengan hakim-hakim dalam sistem civil law yang menggunakan cara berpikir deduktif, hakim dalam sistem hukum common law memakai pola pikir induktif yaitu menarik kesimpulan yag bersifat “umum” dari peristiwa-peristiwa yang bersifat “khusus” (Munir Fuady. 2005 : 6). Contoh cara berpikir induktif adalah sebagai berikut :

    • Si A terbukti mencuri dan dijatuhi pidana lima tahun oleh hakim 
    • Si B terbukti mencuri dan dijatuhi pidana lima tahun oleh hakim 
    • Si C terbukti mencuri dan dijatuhi pidana lima tahun oleh hakim 
    • Jadi kesimpulannya hakim harus menjatuhkan pidana lima tahun bagi orang yang terbukti mencuri.


    Hakim-hakim di Negara yang menganut sistem hukum common law pada umumnya terikat pada putusan-putusan hakim yang terdahulu. Apabila dalam putusan pengadilan terdahulu tidak ditemukan prinsip hukum yang dicari, hakim  dapat memutuskan perkara dengan melakukan penafsiran hukum. Kedudukan hakim dalam sistem hukum common law adalah sangat penting, karena hakim berwenang menafsirkan hukum manakala belum diputuskan oleh hakim-hakim terdahulu.


    Negara-negara common law secara umum adalah negara yang gaya yuristiknya didasarkan pada common law Inggris, yang terutama didirikan berdasarkan sistem kasus atau preseden yudisial, dimana legislasi secara tradisional tidak dianggap sebagai sumber hukum utama, tetapi biasanya dianggap sekedar sarana konsolidasi atau klarifikasi dari peraturan dan prinsip hukum yang secara esensial diturunkan dari hukum kasus dan hukum yang dibuat oleh hakim.


    Pada umumnya sistem hukum common  diasumsikan memiliki perbedaan mendasar dengan sistem hukum civil, tetapi sebenarnya ada juga persamaan yang dimiliki oleh keduanya.Menurut Romli Atmasasmita, sejarah pembentukan hukum di kedua sistem hukum tersebut sama-sama menghendaki adanya satu hukum nasional (unifikasi). Perbedaannya hanyalah terletak pada cara penyampaian cita-cita tersebut. Pada negara Eropa Daratan, cita-cita pembentukan hukum nasional dilakukan melalui kodifikasi. Sementara, pada negara common law khususnya Inggris dilakukan melalui pembentukan hukum kebiasaan.


    Negara-negara yang biasanya diklasifikasikan sebagai yurisdiksi common law adalah Inggris dan Wales, Australia, Nigeria,Kenya, Zambia, Amerika Serikat, Selandia Baru, Kanada dan beberapa dari negara-negara kelompok Timur Jauh, seperti Singapura, Malaysia dan Hongkong. Sedangkan negara-negara civil law termasuk Perancis, Jerman, Italia, Swiss, Austria, negara-negara Amerika Latin, Turki, beberapa negara Arab, Afrika Utara dan Magadaskar.


    Sistem hukum Common Law memiliki kelebihan yaitu lebih responsif terhadap  perubahan di masyarakatnya. Apabila ada peristiwa hukum yang belum pernah diputus oleh hakim terdahulu, maka hakim dapat melakukan penafsiran hukum terhadap peristiwa tersebut. Kelemahan sistem hukum common law adalah kepastian hukum dari sistem ini lemah. Kekuasaan hakim yang besar dapat menimbulkan unsur subjektif dari dalam diri sang hakim. Padahal hakim juga seorang manusia yang dapat salah dalam memutus.


    Ciri atau karakteristik dari sistem Common Law adalah: 

    Yurisprudensi sebagai sumber hukum utama 

    Ada 2 (dua) alasan mengapa yurisprudensi dianut dalam sistem Common Law, yaitu: a. Alasan psikologis Alasannya adalah karena setiap orang yang ditugasi untuk menyelesaikan perkara, ia cenderung sedapat-dapatnya mencari alasan pembenar atas putusannya dengan merujuk kepada putusan yang telah ada sebelumnya dari pada memikul tanggungjawab atas putusan yang dibuatnya sendiri. b. Alasan praktis Diharapkan adanya putusan yang seragam karena sering diungkapkan bahwa hukum harus mempunyai kepastian daripada menonjolkan keadilan pada setiap kasus konkrit.


    Selain itu menurut sistem Common Law, menempatkan undang-undang sebagai acuan utama merupakan suatu perbuatan yang berbahaya karena aturan undang-undang itu merupakan hasil karya kaum teoretisi yang bukan tidak mungkin berbeda dengan kenyataan dan tidak sinkron dengan kebutuhan. Lagi pula dengan berjalannya waktu, undang-undang itu sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan yang ada, sehingga memerlukan intrepretasi pengadilan


    Dianutnya Doktrin Stare Decicis/Sistem Preseden 

    Doktrin ini secara substansial mengandung makna bahwa hakim terikat untuk mengikuti dan atau menerapkan putusan pengadilan terdahulu, baik yang ia buat sendiri atau oleh pendahulunya untuk kasus serupa.


    Maskipun dalam sistem Common Law, dikatakan berlaku doktrin Stare Decisis, akan tetapi bukan berarti tidak dimungkinkan adanya penyimpangan oleh pengadlan, dengan melakukan distinguishing, asalkan saja pengadilan dapat membuktikan bahwa fakta yang dihadapi berlainan dengan fakta yang telah diputus oleh pengadilan terdahulu. Artinya, fakta yang baru itu dinyatakan tidak serupa dengan fakta yang telah mempunyai preseden.



    AdversarySystem dalam proses peradilan

    Dalam sistem ini kedua belah pihak yang bersengketa masing-masing menggunakan lawyernya berhadapan di depan hakim. Para pihak masing-masing menyusun strategi sedemikian rupa dan mengemukakan dalil-dalil dan alat-alat bukti sebanyak-banyaknya di pengadilan. Jadi yang berperkara merupakan lawan antar satu dengan yang lainnya yang dipimpin oleh lawyernya masing-masing.

    Negara : Deskripsi

    1. Amerika Serikat : Sistem peradilan federal didasarkan pada Common law Inggris; masing-masing Negara bagian Amerika Serikat negarga bagian mempunyai sistem hukumnya sendiri yang unik, yang kesemuanya, kecuali (Louisiana) didasarkan pada Common law Inggris.
    2. Australia : didasarkan pada Common law Inggris.
    3. Britania : Hukum Inggris (juga mencakup Wales) dan Sistem hukum Irlandia pada dasarnya adalah common law, dengan pengaruh Romawi awal dan sejumlah aspek hukum Eropa daratan. Skotlandia mempunyai sistemnya sendiri yang unik, Sistem hukum Skotlandia, yang didasarkan pada hukum sipil, dan pada umumnya dianggap campuran.
    4. Hong Kong : didasarkan pada Common law Inggris
    5. India :didasarkan pada Common law Inggris, hukum pribadi yang terpisah berlaku bagi orang-orang Muslim, Kristen, dan Hindu.
    6. Republik Irlandia : didasarkan pada Common law Inggris
    7. Kanada : didasarkan pada Common law Inggris, kecuali di Quebec, yang sistem hukum sipilnya didasarkan pada sistem hukum Perancis.
    8. Pakistan : didasarkan pada Common law Inggris, beberapa aspek Hukum Islam dalam sistem warisan. Hukum suku di FATA.
    9. Selandia Baru : didasarkan pada Common law Inggris
    10. peranap : didasarkan pada Common law Inggris.



    LihatTutupKomentar