Filosofi Hak Menguasai Negara dalam Pandangan Mahkamah Konsitusi
|
Filosofi Hak Menguasai Negara dalam Pandangan Mahkamah Konsitusi |
Ketika sertifikat bukanlah komponen penting dalam penguasaan tanah di Indonesia. Menurut konsep lokal, hubungan antara warga masyarakat tempatan dengan tanah tidak diukur melalui kepemilikan atas sertifikat, melainkan dengan riwayat penggarapan tanah secara turun temurun, pengakuan tokoh-tokoh adat, dan kesaksian tetangga sekitar. Oleh sebab itu, pembuktian penguasaan tanah lebih berpegang pada struktur budaya dibandingkan dengan legal formal.
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) hadir tidak hanya mewakili semangat jaman dan perubahan yang dibawa oleh gerakan politik kenegaraan dan sosial pasca-reformasi. Kelahiran MK juga mengubah struktur kenegaraan yang ada melalui fungsi negative-legislation yang dimilikinya. Melalui fungsi tersebut, MK tidak hanya bermain di wilayah yudikatif, melainkan juga berperan sebagai aktor yang berwenang melakukan evaluasi bahkan membatalkan undang-undang sebagai produk legislatif.
MK melakukan uji materi dalam kapasitasnya sebagai Court of Law sedangkan Mahkamah Agung sebagai Court of Justice. MK difungsikan untuk menjaga konstitusionalitas seluruh undang-undang sebagai produk hukum yang mengikat umum (general and abstract norms), sedangkan Mahkamah Agung bekerja untuk mewujudkan keadilan bagi setiap warga negara Indonesia dan badan badan hukum di dalam sistem hukum Indonesia. MK berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu Mahkamah Agung dikatakan melakukan pengujian legalitas berdasarkan undang-undang, sedangkan MK melakukan pengujian konstitusionalitas berdasarkan UUD 1945.
Berdasarkan Pasal 10 UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, MK memiliki 4 wewenang, antara lain:
- menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
- diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- memutus pembubaran partai politik; dan
- memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
Yang menjadi dasar bagi seseorang dapat mengajukan permohonan uji materi undang-undang terhadap UUD 1945 adalah adanya hak dan/ atau kewenangan konstitusional yang dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang. Berdasarkan penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK ”yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945”
Hak-hak konstitusional antara lain: hak untuk hidup; hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya; hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; dan banyak hak lain yang diatur dalam UUD 1945.
Pemaknaan HMN seharusnya diletakkan pada dimensi filosois yang tidak hanya memberikan kesempatan yang sama bagi setiap individu untuk menguasai tanah, melainkan juga memastikan bahwa individu-individu yang berada dalam posisi yang tidak menguntungkan memperoleh perlakuan yang berbeda dengan individu yang kedudukan sosial dan ekonominya lebih baik. Petani penggarap, orang-orang miskin yang tidak memiliki tanah, dan masyarakat hukum adat adalah beberapa contoh masyarakat yang perlu memperoleh perhatian dan perlakuan khusus yang menjamin hak-hak mereka atas tanah, sehingga dapat memiliki kedudukan yang setara dengan perusahaan-perusahaan besar.
Soekarno sebenarnya telah sejak awal mencetuskan ide demokrasiekonomi sebagai tujuan yang harus dicapai oleh Indonesia, disamping juga adanya demokrasi politik. Dalam pidatonya yang menumental pada sidang BPUPK Tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan “Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tapi politiek-economische democratie, yaitu politieke-democratie dengan sociale rechtvaardigheid. Inilah yang dulu saya namakan socio-democratie.” Demokrasi ekonomi yang diusulkan oleh Soekarno merupakan antitesis dari paham individualisme-liberalisme, induk dari kapitalisme-imperialisme yang cenderung menyerahkan persoalan ekonomi pada mekanisme pasar. Padahal dalam relasi penguasaan sumber daya dan faktor produksi yang serba timpang, mustahil mekanisme pasar dapat mendistribusikan keadilan kepada seluruh orang. Kompetisi yang tercipta hanya akan semakin menekan masyarakat miskin untuk terus berada di bawah elit-elit borjuis dan korporasi.
MK memberikan catatan penting mengenai dasar-dasar pengaturan dalam rangka pengalokasian dan pendistribusian sumber-sumber kehidupan bangsa untuk kesejahteraan: Dalam ketentuan konstitusional sebagai dasar-dasar pengaturan dalam rangka pengalokasian sumber-sumber kehidupan bangsa untuk kesejahteraan, termasuk di dalamnya sumber daya alam, seperti hutan, terdapat hal penting dan fundamental. Pertama, penguasaan negara terhadap cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Kedua, penguasaan negara terhadap bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ketiga, penguasaan negara terhadap sumber daya tersebut, termasuk di dalamnya sumber daya alam, dimaksudkan supaya negara dapat mengatur dalam rangka pengelolaan terhadap sumber day kehidupan tersebut untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik rakyat secara individual maupun rakyat sebagai anggota masyarakat hukum adat.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Dengan adanya anak kalimat “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka sebesarbesar kemakmuran rakyat-lah yang menjadi ukuran utama bagi negara dalam menentukan pengurusan, pengaturan atau pengelolaan atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Di samping itu, penguasaan oleh negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus juga memperhatikan hak-hak yang telah ada, baik hak individu maupun hak kolektif yang dimiliki masyarakat hukum adat (hak ulayat), hak masyarakat adat serta hak-hak konstitusional lainnya yang dimiliki oleh masyarakat dan dijamin oleh konstitusi, misalnya hak akses untuk melintas, hak atas lingkungan yang sehat dan lain-lain (vide PutusanMahkamah Nomor 3/PUUVIII/ 2010 bertanggal 16 Juni 2011.
Dalam prinsip “negara menguasai”, maka dalam hubungan antara negara dan masyarakat, kedudukan masyarakat tidak dapat disubordinasikan berada di bawah negara, karena negara justru menerima kuasa dari masyarakat untuk mengatur tentang peruntukan, persediaan dan penggunaan tanah, serta hubungan hukum dan perbuatan hukum yang bersangkutan dengan tanah.
Pemberian hak kepada negara ini sejatinya merupakan bentuk penegasan bahwa tanah air Indonesia ini merupakan milik negara Indonesia, bukan milik asing. Semangat lahirnya HMN dan UUPA masih kental dengan nuansa politik luar negeri yang menegaskan bahwa pihak asing tidak memiliki tanah di wilayah Indonesia. Semangat tersebut menguat bersamaan dengan semangat uniikasi hukum melalui UUPA dan menyerap hak-hak lain ke dalam sebuah terminologi HMN. Selanjutnya barulah HMN menurunkan kembali hak-hak individual dan komunal sebagai bagian darinya.
Dari penafsiran MK terhadap Pasal 33 UUD 1945 tersebut di atas, HMN cenderung dimaknai sebagai penegasan kedaulatan negara dan bangsa Indonesia atas sumber-sumber agraria yang berada dalam wilayah Indonesia. Penegasan kedaulatan ini dapat berfungsi ganda. Pertama adalah penegasan kedaulatan negara dalam konteks pasca-kolonial yang bertujuan menghilangkan dominasi penguasaan asing atas sumber daya agraria di Indonesia. Kedua, HMN juga merupakan penegasan kedaulatan rakyat atas negara itu sendiri. Bahwa negara sebenarnya diposisikan sebagai penerima kuasa dari seluruh rakyat Indonesia. Jika dianalogikan sebagaimana pemberian kuasa dalam Hukum Perdata, maka dalam melakukan perbuatan hukum, penerima kuasa tidak bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri, melainkan bertindak sebagai representasi Pemberi Kuasa. Negara dalam hal kedudukannya sebagai Penerima Kuasa hanya menjalankan pengurusan kepentingan dari Rakyat Indonesia sebagai Pemberi Kuasa. Dalam pandangan MK, HMN diperlukan bukan untuk menunjukkan superioritas negara atas rakyatnya, namun justru menunjukkan kuasa yang diberikan rakyat kepada negara untuk mengurus kepentingan dan kemakmuran rakyat dalam kaitannya dengan pemanfaatan bumi, air, kekayaan yang terkandung di dalamnya. Bahwa sepanjang menyangkut tanah, maka atas dasar adanya kepentingan yang dilindungi oleh konstitusi itulah dibuat kebijakan nasional di bidang pertanahan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan kemakmuran rakyat, diantaranya berupa pendistribusian kembali pemilikan atas tanah dan pembatasan pemilikan luas tanah pertanian, sehingga penguasaan atau pemilikan tanah tidak terpusat pada sekelompok orang tertentu. Bahwa dengan adanya pembatasan dan pendistribusian demikia berarti sumber ekonomi akan tersebar pula secara lebih merata dan pada akhirnya akan tercapai tujuan pemerataan kemakmuran rakyat. (vid Putusan MK tentang Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal)
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 3/PUU/2010 tentang Pengujian UU No. 27 tahun 2007 memberikan 4 (empat) tolak ukur frasa “sebesar-besarnya” untuk kemakmuran rakyat, adapun tolak ukur tersebut yaitu:
- kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat;
- tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat;
- tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, serta;
- penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Sumber:
Tim Peneliti STPN 2014, ASAS-ASAS KEAGRARIAAN, Yogyakarta: STPN Press, 2015