HUKUM HIBAH SUAMI KEPADA ISTRI



    HUKUM HIBAH SUAMI KEPADA ISTRI

    Hukum Hibah Suami Kepada Istri diatur  dalam Pasal 1678 (KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA) Penghibahan antara suami istri selama perkawinan mereka masih berlangsung, dilarang. Tetapi ketentuan ini tidak berlaku terhadap hadiah atau pemberian berupa barang bergerak yang berwujud, yang harganya tidak mahal kalau dibandingkan dengan besarnya kekayaan penghibah.


    Hal ini menunjukan bahwa ketika penghibahan antara suami istri tersebut dilakukan selama perkawinan masih berlangsung maka, penghibahan tersebut menyalahi ketentuan yang terdapat pada Pasal 1678 KUHPerdata, kecuali barang yang dihibahkan tersebut adalah barang-barang bergerak yang berwujud yang tidak tinggi harganya kalau dibandingkan dengan besarnya kekayaan si penghibah (Pasal 1678 KUHPerdata ayat (2)). 


    Larangan tersebut didasarkan atas pertimbangan demi menghindarkan peralihan hartabenda suami ke dalam harta benda isteri atau sebaliknya yang dilarang oleh pasal 29 ayat 4 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam hal suami-isteri kawin dengan perjanjian perkawinan. Apabila larangan tersebut tidak ada, maka bilamana suami mempunyai banyak utang ia dapat mengalihkan hak milik atas barang-barang yang bernilai kepada isterinya agat tidak dapat didata dan dilelang oleh pengadilan untuk pembayaran utang suami kepada kreditornya


    Akan tetapi Larangan tersebut dapat dilakukan penyimpangan manakala calon suami isteri sebelum melangsungkan perkawinan telah membuat perjanjian perkawinan terlebih dahulu yang isi dari perjanjian perkawinan tersebut adalah memperjanjikan mengenai hibah antara suami isteri tersebut.


    Didalam perjanjian perkawinan dapat diperjanjikan pemberian dari seorang kepada yang lain, pemberian dari suami kepada isterinya ataupun sebaliknya. Dalam hal ini calon suami atau isteri berhak untuk mengadakan perjanjian perkawinan yang isinya memberikan sesuatu kepada pihak yang lain. Dengan syarat bahwa pemberian tersebut tidak merugikan pihak-pihak yang berhak atas legitime portie


    Pasal 168 KUHPerdata menentukan bahwa: “Dalam mengadakan perjanjian perkawinan, kedua calon suami-istri, yang satu kepada yang lain/atau sebaliknya, diperbolehkan memberikan setiap hibah yang demikian, sepantas pertimbangan mereka dengan tak mengurangi kemungkinan akan dilakukan pengurangan pada hibah tadi, sekadar perbuatan itu kiranya akan merugikan mereka yang menurut undang-undang berhak atas suatu bagian mutlak.” 


    Hibah yang dilakukan ialah atas harta benda yang dimiliki oleh suami atau istri, dan dicantumkan dalam akta hibah yang harus dibuat dalam bentuk akta otentik. Hibah dapat juga mengenai sebagian dari harta peninggalan. Pasal 169 KUHPerdata menentukan bahwa:  “Hibah yang demikian ada yang terdiri atas harta benda yang telah tersedia dengan jelas diterangkan pula dalam akta hibahnya, dan ada yang terdiri atas seluruh atau sebagian warisan si yang memberikannya.” 


    Larangan penghibahan tersebut tidak ada gunanya dalam hal suami isteri kawin tanpa perjanjian perkawinan. Dalam hal perkawinan tanpa perjanjian perkawinan menurut pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, maka tidak ada gunanya bagi suami yang banyak utangnya untuk menghibahkan benda-benda, yang bernilai kepada isterinya agar menyelamatkan benda-benda itu dari penyitaan dan pelelangan oleh pengadilan untuk pembayaran utang suami, sebab benda-benda yang dihibahkan itu menjadi harta-bersama yang tidak bebas dari penyitaan dan pelelangan untuk membayar utang suami.


    Pasal-pasal lain dalam KUHPerdata yang berkaitan secara langsung mengenai hibah antara suami istri adalah sebagai berikut:

    1. Pasal 119 yang menyatakan bahwa sejak dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh
    2. tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan suami istri.
    3. Pasal 149 yang menyatakan setelah perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan tidak boleh diubah dengan cara apapun.
    4. Pasal 151 yang menyatakan orang yang belum dewasa dapat melaksanakan penghibahan, dengan bantuan dari mereka yang ijinya dibutuhkan untuk melangsungkan perkawinan. 
    5. Pasal 168 yang menyatakan bahwa dalam mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami istri, secara timbal balik atau secara sepihak, boleh memberikan hibah yang menurut pertimbangan mereka pantas diberikan, tanpa mengurangi kemungkinan pemotongan hibah itu sejauh penghibahan itu kiranya akan merugikan mereka yang berhak atas suatu bagian mutlak menurut undang-undang.

    Penghibahan antar calon suami isteri :

    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memuat ketentuannya didalam pasal 168 sampai pasal 175 KUHPerdata. Pemberian dapat digolongkan menjadi 2 bagian yaitu :

    • Pemberian biasa (sechenking) diatur dalam pasal 1666 sampai 1693 KUHPerdata.
    • Testamentaire dibuat oleh calon suami isteri, antara pihak ketiga kepada calon suami atau isteri.

    Penghibahan biasa atau schenking umumnya harus menuruti segala ketentuan didalam KUHPerdata tentang penghibahan, tetapi dalam beberapa hal dapat menyimpang dari ketentuan pasal-pasal, yaitu sebagai berikut :

    • Menurut pasal 170 KUHPerdata : Pemberian antara calon suami isteri tidak perlu secara tegas.
    • Menurut pasal 171 KUHPerdata : Dalam pemberian dibolehkan untuk minta bebarapa syarat, bila tidak permintaan tersebut dipenuhi, maka pemberian akan dibatalkan.
    • Menurut pasal 1688 KUHPerdata : pemberian-pemberian hanya dapat ditarik kembali jika suatu syarat terhadap penerima pemberian tidak dilaksanakan, jika yang diberi melakukan atau turut serta melakukan kejahatan terhadap pemberi hibah, jika yang diberi tidak mau memberikan nafkah kepada yang memberi tersebut jatuh miskin. Pemberian-pemberian pihak ketiga kepada calon suami isteri atu kepada anak-anak dari perkawinan mereka. Ketentuan-ketentuan ini diatur dalam pasal 176 sampai pasal 179 KUHPerdata. Pihak ketiga dapat melakukan pemberian-pemberian didalam :

    Pasal 176 dan pasal 177 KUHPerdata : 

    1. Dalam perjanjian perkawinan, tidak perlu diterima dengan tegas-tegas.
    2. Dalam suatu akte tersendiri, hal mana harus dilakukan sebelum perkawinan dilangusungkan dan harus diterima dengan tegas.

    Menurut ketentuan dalam pasal 178 ayat 1 KUHPerdata :

    Pemberian harta peninggalan seluruh atau sebagian, bila suami atau isteri meninggal lebih dulu, maka pemberian akan diteruskan kepada anakanaknya dan keturunannya, jika tidak ditentukan lain, dalam ayat 2nya dikatakan : pemberi hibah hidup lebih lama dari yang diberi serta anakanak dan keturunannya, pemberian itu gugur. Pemberian oleh calon suami kepada calon isteri dan juga oleh pihak ketiga terhadap calon suami-isteri demi perkawinanya artinya harus ada pelaksanaan perkawinannya, pada saat tertentu akan menimbulkan persengketaan, selama atau sesudah perkawinan membawa akibat buruk.


    Pasal 1467 yang menyatakan bahwa antara suami istri tidak dapat terjadi jual beli, kecuali dalam tiga hal berikut:

    1. Jika seorang suami atau istri menyerahkan barang-barang kepada istri atau suaminya, yang telah dipisahkan daripadanya oleh pengadilan, untuk menuhi hak istri atau suaminya itu menurut hukum.
    2. Jika penyerahan dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya berdasarkan alasan yang sah, misalnya untuk mengembalikan barang si istri yang telah dijual atau uang si istri, sekedar barang atau uang tersebut dikecualikan dari persatuan.
    3. Jika si istri menyerahkan barang kepada suaminya untuk melunasi jumlah uang yang telah ia janjikan kepada suaminya itu sebagai harta perkawinan, sekedar barang itu dikecualikan dari persatuan. Namun, ketiga hal ini tidak mengurangi hak para ahli waris pihak-pihak yang melakukan perbuatan, bila salah satu pihak telah memperoleh keuntungan secara langsung.


    Pasal 1687 yang menyatakan bahwa hadiah dari tangan ke tangan berupa barang bergerak yang berwujud atau surat piutang yang akan dibayar atas tunjuk, tidak memerlukan akta notaris, dan adalah sah, bila hadiah demikian diserahkan begitu saja kepada orang yang diberikan hibah sendiri atau kepada  orang lain yang menerima hadiah itu untuk diteruskan kepada yang diberi hibah. 


    Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tentang Perkawinan disebutkan secara tegas bahwa;

    Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata (burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No. 158), dan Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan ini mengakibatkan konsekuensi bahwa untuk hal ikhwal yang belum diatur dalam undang-undang perkawinan dapat menggunakan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada KUHPerdata.


    Masalah penghibahan antara suami istri dalam ikatan perkawinan, tidak diatur dalam undang-undang perkawinan sehingga ketika terjadi suatu perkara atau masalah terkait dengan hal ini, pasal-pasal terkait yang terdapat dalam KUHPerdata dapat dipergunakan. Pengertian hibah bila merujuk pada Pasal 1666 KUHPerdata, dapat dipahami sebagai suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Dari pasal ini dapat terlihat unsur “perjanjian” yang mengisyaratkan suatu penghibahan hanya dapat dilakukan dalam sebuah ikatan perjanjian antara si penghibah dan pihak-pihak yang menerima hibah. Selain itu juga terdapat unsur “harta benda” yang merujuk pada benda-benda yang dimiliki si penghibah yang dapat dihibahkan, baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak (KUHPerdata, Pasal 1667 ayat (1)). 


    Bila merujuk pada ketentuan pada Pasal 1678 KUHperdata yangmenyatakan tentang pelarangan penghibahan di antara suami istri selama perkawinan masih berlangsung dan perjanjian perkawinan baik yang diatur dalam KUHperdata dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka dapat terlihat bahwa penyimpangan terhadap ketentuan pada Pasal 1678 dapat dilakukan. Hal ini mengingat pada Pasal 29 ayat (1) dinyatakan bahwa perjanjian tertulis dapat diajukan “pada waktu” perkawinan dilangsungkan atas persetujuan bersama. 


    Pasal 1667

    Penghibahan hanya boleh dilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibahan itu terjadi. Jika hibah itu mencakup barang-barang yang belum ada, maka penghibahan batal sekedar mengenai barang-barang yang belum ada.


    Perjanjian perkawinan dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 139 sampai dengan pasal 185. Perjanjian perkawinan merupakan suatu perjanjian yang dibuat atas persetujuan antara calon suami dengan calon isteri, untuk mengatur harta kekayaan mereka yang menyimpang dari undang-undang tentang persatuan harta kekayaan dalam perkawinan. Hal tersebut dikarenakan sejak saat terjadinya perkawinan, terjadilah persatuan harta kekayaan bersama antara suami dengan isteri


    Hibah formil, yaitu hibah yang harus berbentuk akta notaris mengenai barang barang tak bergerak (kecuali tanah yang harus berbentuk akta PPAT berdasarkan UU Pokok Agraria, L.N. 1960–104), termasuk barang-barang terdaftar seperti kendaraan bermotor, kapal-kapal berukuran 20 (duapuluh meter kubik bruto atau lebih (Pasal 314 KUHD) berdasarkan pasal 1682 KUHPerdata, kecuali hibah mengenai barang-barang bergerak yang bertubuh atau surat piutang atas tunjuk (aan toonder) yang menurut Pasal 1687 KUHPerdata tidak perlu dilakukan dengan akta notaris.


    Dalam Pasal 1676 KUHPerdata, mengatakah bahwa setiap orang boleh memberi dan menerima hibah, kecuali orang-orang yang telah dinyatakan tidak cakap menurut undang-undang. Bila merujuk pada Pasal 1677 KUHPerdata, menentukan bahwa orang yang belum dewasa tidak diperbolehkan memberi hibah, kecuali secara perjanjian perkawinan kepada bakal suami istri adalah suatu penentuan. 


    KUHPerdata 

    Pasal 119

    Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antarĂ  suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami isteri.

    Pasal 139

    Para calon suami isteri dengan perjanjian kawin dapat menyimpang dan peraturan undangundang mengenai harta bersama asalkan hal itu tidak bertentangan dengan tata susila yang baik atau dengan tata tertib umum dan diindahkan pula ketentuan-ketentuan berikut.

    Pasal 147

    Perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris sebelum pernikahan berlangsung, dan akan menjadi batal bila tidak dibuat secara demikian. Perjanjian itu akan mulai berlaku pada saat pernikahan dilangsungkan, tidak boleh ditentukan saat lain untuk itu.

    Pasal 149

    Setelah perkawinan berlangsung, perjanjian kawin tidak boleh diubah dengan cara apa pun.

    Pasal 150

    Jika tidak ada gabungan harta bersama, maka masuknya barang-barang bergerak, terkecuali surat-surat pendaftaran pinjaman-pinjaman negara dan efek-efek dan surat-surat piutang atas nama, tidak dapat dibuktikan dengan cara lain daripada dengan cara mencantumkannya dalam perjanjian kawin, atau dengan pertelaan yang ditandatangani oleh notaris dan pihak-pihak yangbersangkutan, dan dilekatkan pada surat asli perjanjian kawin, yang di dalamnya hal itu harus tercantum.


    Menurut pasal 170 KUHPerdata : Pemberian antara calon suami isteri tidak perlu secara tegas.

    Menurut pasal 171 KUHPerdata : Dalam pemberian dibolehkan untuk minta bebarapa syarat, bila tidak permintaan tersebut dipenuhi, maka pemberian akan dibatalkan.

    Menurut pasal 151 KUHPerdata : Orang yang belum dewasa dapat melaksanakan penghibahan, dengan bantuan dari mereka yang ijinnya dibutuhkan untuk melangsungkan perkawinan

    Menurut pasal 1688 KUHPerdata : pemberian-pemberian hanya dapat ditarikkembali jika suatu syarat terhadap penerima pemberian tidak dilaksanakan, jika yang diberi melakukan atau turut serta melakukan kejahatan terhadap pemberi hibah, jika yang diberi tidak mau memberikan nafkah kepada yang memberi tersebut jatuh miskin.


    Merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, diatur mengenai perjanjian perkawinan, pada Pasal 29, yaitu:

    • (1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertilis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.
    • (2) Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batasbatas hukum, agama dan kesusilaan.
    • (3) Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
    • (4) Selama perkawinan dilangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. 


    Unsur berlakunya perjanjian perkawinan, dimana menurut Pasal 29 Ayat 3, perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.


    Dengan demikian, maka calon suami isteri sebelum perkawinan dilangsungkan atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian perkawinan dengan ketentuan., yaitu sebagai berikut:

    1. Persetujuan perjanjian perkawinan dibuat secara tertulis.
    2. Dan perjanjian perkawinan yang dibuat secara tertulis tersebut disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
    3. Sejak pengesahan oleh pegawai pencatat perkawinan, isi ketentuan perjanjian tersebut menjadi sah kepada pihak suami – isteri dan juga terhadap pihak ketiga sepanjanag isi dan ketentuan yang menyangkut pihak ketiga (Pasal 29 Ayat).
    4. Perjanjian Perkawinan mulai berlaku sejak tanggal hari perkawinan dilangsungkan (Pasal 29 Ayat 3). 


    Bila merujuk pada KUHPerdata, maka dapat ditemukan berapa larangan yang terkait dengan hibah. 

    Pada Pasal 1678 ayat (1) KUHPerdata, melarang penghibahan di antara suami istri, selama perkawinan masih ada. Namun, dalam Pasal 1678 ayat (2)-nya, mengecualikan hal penghibahan kecil-kecilan mengenai barang-barang bergerak yang berwujud yang tidak tinggi harganya kalau dibandingkan dengan besarnya kekayaan si penghibah. 

    Hal ini menunjukan bahwa ketika penghibahan antara suami istri tersebut dilakukan selama perkawinan masih berlangsung maka, penghibahan tersebut menyalahi ketentuan yang terdapat pada Pasal 1678 KUHPerdata, kecuali barang yang dihibahkan tersebut adalah barang-barang bergerak yang berwujud yang tidak tinggi harganya kalau dibandingkan dengan besarnya kekayaan si penghibah (Pasal 1678 KUHPerdata ayat (2)). 


    Bolehkah hibah antara suami dan istri?

    Hibah diperbolehkan antara suami dan istri berdasarkan pengecualian mengenai penghibahan kecil-kecilan mengenai barang-barang bergerak yang berwujud yang tidak tinggi harganya kalau dibandingkan dengan besarnya kekayaan si penghibah dan tidak diperbolehkan jika barang tersebut benda tidak bergerak seperti tanah


    Bolehkah suami menghibahkan tanah kepada istri?

    Menghibahkan Tanah kepada istri tidak diperbolehkan berdasarkan pada Pasal 1678 KUHPerdata dilarang untuk dilakukan karena pasal tersebut mengatur mengenai pelarangan penghibahan di antara suami istri selama perkawinan masih berlangsung. Jika tetap dilaksanakan hibah walaupun dengan akta hibah maka dinyatakan batal demi hukum. 

    Bahwa bila penghibahan tersebut terjadi masih selama berlangsungnya ikatan perkawinan antara keduanya. Dengan demikian dapat terlihat adanya perbuatan melawan hukum terhadap ketentuan yang terdapat pada Pasal 1678 KUHPerdata sehingga konsekuensi dari perbuatan tersebut adalah akta hibah yang telah dibuat batal demi hukum. Begitu juga halnya dengan sertifikat HGB yang dimasud dalam perkara menjadi tidak memiliki kekuatan hukum yang berlaku. 



    Contoh Kasus Hibah Suami Istri

    Pertimbangan Hukum Hakim Yang Berkaitan Dengan Hibah Suami Isteri Dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor 119/Pdt/62003/PN/JKT.Ut. Putusan perkara ini, pada dasarnya merupakan putusan yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Jakarta Utara terkait gugatan yang diajukan pihak penggugat kepada pihak tergugat terhadap sebidang tanah yang di atasnya berdiri sebuah rumah yang telah dihibahkan oleh seorang suami kepada isteri keduanya. Tanah dan rumah yang berada di atasnya tersebut adalah merupakan harta benda berwujud yang tidak bergerak yang dimiliki oleh pemberi hibah (suami) sebelum perkawinan dengan istri keduanya (penerima hibah) berlangsung. Penghibahan itu sendiri dilakukan pada saat masih berlangsungnya perkawinan antara pemberi hibah dengan penerima hibah, yang bila merujuk pada Pasal 1678 KUHPerdata dilarang untuk dilakukan karena pasal tersebut mengatur mengenai pelarangan penghibahan di antara suami istri selama perkawinan masih berlangsung


    Apa definisi hibah menurut Pasal 1666 BW dan mengapa hibah dikatakan perjanjian sepihak?

    Definisi Hibah bila merujuk pada Pasal 1666 KUHPerdata, hibah adalah “suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu”


    Pengertian Hibah

    Hibah menurut Fyzee adalah “penyerahan langsung dan tidak bersyarat tanpa pemberian balasan”. Sedangkan menurut Sabiq dan Hassan sebagaimana yang dikutip oleh Siddik41 yang dimaksud dengan hibah adalah “pemberianseseorang kepada para ahli warisnya, sahabat handainya atau kepada urusan umum sebagian dari pada harta benda kepunyaan atau seluruh harta benda kepunyaanya sebelum ia meninggal dunia”. Hibah juga dapat dipahami sebagai pemberian sebagian atau seluruh dari harta kekayaan seseorang kapada orang lain sewaktu masih hidup dan peralihan hak dari pemberi hibah kepada penerima hibah sudah berlangsung seketika itu juga”. Sedangkan bila merujuk pada Pasal 1666 KUHPerdata, hibah adalah “suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu”. 


    Bila merujuk pada pengertian hibah berdasarkan KUHPerdata tersebut maka dapat dilihat unsur-unsur dari hibah. 

    • Unsur pertama adalah perjanjian sepihak (unilateral) yaitu satu pihak (pemberi hibah) sajalah yang berprestasi, sedangkan pihak lainnya (penerima hibah) tidak memberi kontra prestasi. Kita telah mengenal perjanjian timbal balik (bilateral) dimana prestasi dari satu pihak dibalas dengan kontraprestasi dari pihak lainnya, misalnya : jual beli, sewa menyewa.
    • Unsur kedua adalah, subyek-subyek hibah yaitu manusia-manusia hidup, bahkan bayi dalam kandungan, berdasarkan Pasal 2 Ayat 2 KUHPerdata dapat menerima hibah dengan diwakili oleh orang-tuanya. Dengan demikian, undangundang ini tidak mengakui lain-lain hibah selain hibah diantara orang-orang yang masih hidup. Kata-kata “dalam hidup si penghibah” yang terdapat pada Pasal 1666 KUHPerdata, berarti hibah diberikan oleh pemberi hibah pada saat ia masih hidup dan seketika itu pula hibah berlaku. Dalam pemberian hibah tidak berarti penerima hibah menguasai seluruh apa yang dihibahkan kepadanya setelah ia menerima hibah. Hal ini mengingat Pasal 1669 KUHPerdata secara tegas menyatakan dapat dijanjikan si penghibah terus berhak memungut hasil barang yang dihibahkan tersebut dan pemungutan hasil tidak dibatasi waktunya, maka dapat berlangsung selama si penghibah hidup. Dan lagi pada Pasal 1672 KUHPerdata, menegaskan pula si penghibah dapat menjanjikan, bahwa brangnya akan kembali kepadanya, apabila pihak yang dihibahi atau ahli warisnya meninggal dunia lebih dahulu dari pada si penghibah. Apabila barang yang dihibahkan tersebut dikembalikan kepada si penghibah, maka barang itu harus bersih dari beban-beban yang mungkin diletakkan pada barang itu selama berada di tangan pihak yang dihibahi, dan pejualan barang oleh pihak yang dihibahi adalah batal (Pasal 1673, KUHPerdata). Selama harta yang diterima dari hibah tersebut nilainya tidak melanggar hak mutlak dari ahli waris legitimaris, penerima hibah tidak diwajibkan untuk mengembalikan harta tersebut kepada ahli waris legitimaris. Namun, jika penerima hibah wajib mengembalikan seluruh harta yang telah diterimanya dari hibah apabila ternyata melanggar hak LP ahli waris legitimaris. 

    Untuk itu ada 3 kemungkinan akibat yang bakal diterima atau dialami oleh ahli waris tersebut, yaitu:

    1. Apabila jumlah hibah yang telah diterimanya lebih kecil dari bagian mutlak ahli waris legitimaris tersebut, makahibah yang telah diterimanya tersebut dianggap sebagai verskot sepanjang dalam kata hibah tidak ada ketentuan yang membebaskan penerima hibah dari wajib pemasukan (inbreng).
    2. Jika hibah nilainya lebih besar dari hak atas bagian mutlak atau bagian LP, maka kelebihan nilai hibah dari bagian LP ahli waris legitimaris penerima dalam harta warisan pemberi hibah walaupun dalam akte hibah ada ketentuan wajib pemasukan.
    3. Apabila hak LP sama besarnya dengan nilai hibah, maka dalam hal ini, penerima hibah tidak menerima apa-apa dan juga tidak ada kewajiban guna memenuhi hak LP kawan waris yang lain.

    • Unsur ketiga, adalah obyek hibah yang menurut Pasal 1667 KUHPerdata hanya benda-benda yang ada yang dapat dihibahkan, baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak, sedangkan ayat (2) Pasal tersebut menetapkan bahwa hibah mengenai benda yang baru akan ada di kemudian hari adalah batal demi hukum. Namum demikian, padi yang belum menguning disawah seluas satu hektar dapat dihibahkan. Padi itu merupakan barang yang ada dan merupakan sebagian dari harta benda milik pemberi hibah. Setiap bagian dari harta benda milik pemberi hibah dapat dihibahkan. Sebaliknya berbuat sesuatu dengan cuma-cuma (mengetik naskah dengan disediakan kerta dan mesin tik oleh penulis naskah tanpa diberi hadiah/imbalan) dan tidak berbuat (tidak mengganggu gadis anak seseorang tanpadiberi hadiah/imbalan), berbuat dan tidak berbuat itu tidak merupakan bagian dari hartabenda.
    • Unsur keempat adalah cuma-cuma yaitu pihak penerima hibah tidak berkewajiban untuk memberi kontra-prestasi, bukankah pemberi hibah atas kemurahan hati suka memberi sesuatu dari harta benda miliknya tanpa kontraprestasi. Perbuatan memberi hibah harus timbul dari kemauan suka memberikan (animus donandi) agar perbuatan itu dapat diberi nama “hibah” (H.R. 8 April 1927, N.J. diberi nama hibah (H.R. 8 April 1927, N.J. 1927,1202 dan H.R. 17 Des 1202 dan H.T. 17 Des 1936, N>J> 1937,650). Apabila seorang kemenakan memberi hadiah ulang tahun yang melimpah kepada bibinya dengan penghargaan agar bibi itu dalam surat-wasiat akan menunjuknya sebagai salah satu ahli waris dengan warisan yang lumayan besarnya, maka perbuatan kemenakan itu merupakan hibah, walaupun motifnya ialah memperoleh keuntungan berupa warisan baik untuk diri sendiri, dan perbuatannya itu tidak timbul dari kemauan suka memberi pasal 1678 KUH Perdata menyebutkan adanya larangan hibah antara suami istri selama dalam perkawinan. Adanya larangan tersebut disebabkan dalam sistem BW menganut percampuran kekayaan, ketika dilangsungkannya perkawinan maka harta baik suami maupun istri menjadi satu. Sementara dalam Hukum Islam tidak melarang adanya hibah antara suami istri, karena mereka tetap menjadi pemilik atas hartanya masing-masing. Apabila terdapat penyatuan atau pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan, maka hal itu dapat dituangkan dalam perjanjian perkawinan. Hukum Islam memperbolehkan adanya perjanjian selama tidak bertentangan dengan hukum Islam. Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan dan menganalisis bagaimana hukum hibah antara suami istri menurut KUH Perdata dan Hukum Islam serta untuk mengetahui dan menjelaskan perbandingan hibah antara suami istri menurut KUH Perdata dan hukum Islam dari ketentuan pasal 1678 KUH Perdata tentang larangan hibah antara suami istri. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan jenis penelitian library research. Dari penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa penghibahan yang dilakukan suami istri selama masih dalam ikatan perkawinan dilarang berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 1678 KUH Perdata. Karena harta suami istri sejak perkawinan dilasungkan menjadi harta kekayaan bersama. Sedangkan menurut pandangan hukum Islam, hibah boleh dilakukan, karena dalam perkawinan suami istri masing-masing tetap menjadi pemilik atas hartanya sendiri. Maka tidak ada larangan terjadi hibah antara suami istri sebab harta suami istri dalam perkawinan masing-masing terpisah berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam kompilasi hukum Islam (KHI) yaitu pasal 85 sampai dengan pasal 97 mengenai harta kekayaan dalam perkawinan yang menyebutkan dalam harta bersama tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing.
    • Unsur kelima adalah adanya asas ‘tidak dapat ditarik kembali’ yang berarti bahwa penghibahan tidak dapat ditarik kembali oleh si penghibah dengan tiada ijin pihak lain, oleh karena tiap-tiap persetujuan hanya dapat ditarik kembali dengan kemauan dua belah pihak. Azas pepatah kata (adagium) “tidak dapat ditarik kembali” ialah dari hukum kebiasaan Perancis yang berbunyi sebagai berikut “donner retenir ne Vaut” (penghibahan tidak dapat ditarik kembali). Akibatnya ialah antara lain larangan penghibahan barang yang belum ada (Pasal 1667 KUHPerdata), larangan bagi pemberi hibah untuk menjual atau memberikan kepada orang lain barang yang telah dihibahkan, dan sekedar mengenai barang tersebut hibah adalah batal demi hukum (Pasal 1668 KUHPerdata), larangan untuk membebani penerima hibah dengan pembayaran lunas atau kewajibankewajiban lain, kecuali yang dinyatakan dengan tegas di dalam akta hibah sendiri atau dalam daftar yang dilampirkan pada akta hibah (Pasal 1670 KUHPerdata).



    Surat hibah tanpa notaris apakah sah?

    Surat hibah tanpa akta notaris tidak sah Menurut pasal 1682 hibah harus berbentuk akta notaris yang aslinya harus disimpan oleh notaris yang bersangkutan, jika tidak demikian, maka hibah adalah batal demi hukum. Akan tetapi menurut Pasal 1687 KUHPerdata pemberian hibah berupa barang bergerak yang bertubuh atau surat piutang atas tunjuk (aan toonder) tidak perlu dilakukan dengan akta notaris, melainkan cukup dengan penyerahan nyata kepada penerima hibah. Menurut Pasal 1683 KUHPerdata penerima hibah harus menyatakan penerima hibah itu dalam akta notaris pemberian hibah itu sendiri atau dalam akta notaris tersendiri agar penghibahan dapat dianggap sah, asal hal itu dilakukan semasa hidupnya pemberi hibah. Walaupun hibah telah diterima secara sah, namun menurut Pasal 1686 KUHPerdata hak milik atas barang yang dihibahkan masih harus dipindahkan dari pemberi hibah kepada penerima hibah sesuai dengan pasal 612, 613, 616 dan selanjutnya. Bilamana seseorang yang menerima hibah mengenai barang bergerak yang bertubuh atau surat piutang atas tunjuk itu sudah memegang barang tersebut sebagai pemakai, maka penghibahan itu dianggap juga sebagai penghibahan “dari tangan ke tangan” yang disebut “traditio brevi manu”. Sedangkan mungkin juga pemberi hibah tidak menyerahkan barang yang telah dihibahkan kepada penerima hibah, melainkan menahan barang itu dalam tangannya sebagai pemakai saja yang disebut “constitutum possessorium” 


    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

    Dengan telah adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku secara nasional sebagai hukum yang mengatur mengenai ketentuan-ketentuan pokok perkawinan di Indonesia, maka dalam sebuah perkawinan maka rujukan yang harus dianut dan berlaku secara nasional adalah aturan-aturan yang terdapat pada undang-undang tersebut. Hal ini menimbulkan konsekuensi yaitu adanya unifikasi dalam aturan mengenai perkawinan. Undang-undang ini pada dasarnya mengatur mengenai hubungan seseorang dengan orang lain dalam konteks perkawinan. 


    Dengan demikian, undang-undang ini masuk dalam ranah hukum perdata. Hal ini sesuai dengan pengertian dari hukum perdata yaitu kaidah-kaidah yang menguasai kehidupan manusia dalam masyarakat dalam hubungan manusia yang satu dengan manusia yang lain atau orang lain. Hukum perdata pada prinsipnya mengusai kepentingan perseorangan. Hukum perkawinan, hukum perjanjian (jualbeli, sewa-menyewa) dapat dikategorikan sebagai hukum perdata mengingat titik beratnya pada perlindungan kepentingan perorangan, yaitu menguasai kepentingan perorangan, yakni pihak-pihak yang terkait dalam hubungan hukum tersebut


    Perkawinan menurut UU No.1/1974, Pasal 1 adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”


    Perkawinan membawa akibat tidak hanya mengenai hubungan hukumantara suami-isteri, melainkan juga terhadap harta benda mereka baik harta bawaan maupun harta bersama yang timbul setelah perkawinan dilangsungkan.Menurut undang-undang maka keadaan harta benda yang dibawa dan yangdihasilkan dalam perkawinan suami-isteri tergantung dari ada atau tidaknya  perjanjian perkawinan. Dalam hal suami-isteri melangsungkan perkawinan tanpamembuat perjanjian perkawinan maka menurut undang-undang, semua harta benda yang dimiliki oleh kedua suami-isteri pada saat pelangsungan perkawinan dan semua harta benda yang diperoleh dalam masa perkawinan menjadi harta satu harta campuran bulat baik pasiva maupun aktivanya atau dengan kata lain KUHPerdata menganut asas yang dinamakan ‘percampuran bulat (algehele gemeenschap van goerderen) sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 119 Ayat 1 KUHPerdata, yang berarti bahwa kekayaan masing-masing yang dibawanya ke dalam perkawinan itu dicampur menjadi satu. Harta Persatuan itu menjadi kekayaan bersama mereka dan apabila mereka bercerai (meskipun baru satu bulan kawin), maka kekayaan bersama itu harus dibagi 2 (dua), sehingga masing-masing akan mendapat separuh


    Dalam undang-undang perkawinan, isi perjanjian perkawinan yang didalamnya mengijinkan atau memperbolehkan adanya penghibahan antara suami istri selama berlangsungnya perkawinan, sangat dimungkinkan oleh Pasal 29 ayat (1) juncto Pasal 168 KUHPerdata yang mengatur mengenai “pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut” dan didalam perjanjian perkawinan dapat diperjanjikan pemberian dari seorang kepada yang lain, pemberian dari suami kepada isterinya ataupun sebaliknya. Dalam hal ini calon suami atau isteri berhak untuk mengadakan perjanjian perkawinan yang isinya memberikan sesuatu kepada pihak yang lain. Dengan syarat bahwa pemberian tersebut tidak merugikan pihak-pihak yang berhak atas legitime portie. Ini membuat isi perjanjian tertulis tersebut bisa berupa apa saja juga tentang hibah suami isteri sepanjang tidak melanggar norma hukum, kesusilaan dan keagamaan. 


    LihatTutupKomentar