PERLINDUNGAN DAN PENGUATAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT MELALUI PENDAFTARAN TANAH ULAYAT

    PERLINDUNGAN DAN PENGUATAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT MELALUI PENDAFTARAN TANAH ULAYAT

    Pengertian

    1. Hak Ulayat atau yang Serupa itu dari Masyarakat Hukum Adat yang selanjutnya disebut Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
    2. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat adalah masyarakat yang memiliki identitas budaya yang sama, hidup secara turun temurun di wilayah geografis tertentu berdasarkan
    3. ikatan asal usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal, memiliki kelembagaan adat, memiliki harta kekayaan dan/atau benda adat milik bersama serta sistem nilai yang menentukan pranata adat dan norma hukum adat.
    4. Kelompok anggota Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok orang yang berhimpun sebagai satu satuan sosial berdasarkan ikatan asal-usul keturunan, tempat tinggal maupun kepentingan bersama sesuai dengan kaidah hukum adat yang berlaku.
    5. Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat atau yang disebut dengan nama lain yang selanjutnya disebut Tanah Ulayat adalah tanah yang berada di wilayah penguasaan Masyarakat Hukum Adat yang menurut kenyataannya masih ada dan tidak dilekati dengan sesuatu Hak Atas Tanah.
    6. Daftar Tanah Ulayat adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat identitas bidang tanah ulayat dengan suatu sistem penomoran yang diperoleh dari hasil pengukuran dan pemetaan kadastral. 

    Pengakuan tentang keberadaan 3 (tiga) entitas tanah dan karakteristik masing-masing dapat dibaca dalam Penjelasan Umum II.2 UUPA sebagai berikut:

    “Adapun, kekuasaan Negara yang dimaksudkan itu mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang tidak. Kekuasaan Negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa Negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya sampai disitulah batas kekuasaan Negara tersebut. Adapun isi hak-hak itu serta pembatasan-pembatasannya dinyatakan dalam pasal 4 dan pasal-pasal berikutnya serta pasal-pasal dalam BAB II. Kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan diatas Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan-hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik, hak-guna-usaha, hak guna-bangunan atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing (pasal 2 ayat 4). Dalam pada itu kekuasaan Negara atas tanah-tanah inipun SEDIKIT ATAU BANYAK DIBATASI PULA OLEH HAK ULAYAT dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum,..dst”


    Keberadaan tanah ulayat sebagai entitas tidak diakui karena PP 18/2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, menetapkan HPL untuk tanah ulayat. 

    Hal ini pertama, bertentangan dengan konsepsi Hak Menguasai Negara (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 serta Penjelasan Umum II.2 UUPA). Kedua, Pasal 4 PP 18/2021 menyebutkan bahwa HPL dapat berasal dari Tanah Negara dan Tanah Ulayat. PP 18/2021 (Peraturan Pemerintah!) menciptakan konsepsi tentang asal atau terjadinya HPL di luar Tanah Negara dengan melanggar landasan filosofis dan yuridis UUPA. Tampaknya pembentukan Pasal 4 PP 18/2021 dilandasi dengan pemahaman yang “salah kaprah” dari bunyi ketentuan Pasal 2 UUPA, tanpa memahami konteksnya secara utuh dalam PU II.2 UUPA. Kalimat “memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu Badan Penguasa” itu TIDAK dalam satu “tarikan nafas” dengan kalimat selanjutnya “Dalam pada itu....dst”, yang jelas berbeda konteksnya. Dengan demikian, tidak boleh diartikan bahwa HPL juga dapat ditetapkan kepada MHA secara OTOMATIS. Pasal 5 ayat (2) PP 18/2021 menyebutkan bahwa HPL yang berasal dari Tanah Ulayat ditetapkan kepada Masyarakat Hukum Adat



    Dua Aspek Hak Ulayat Berdasarkan Kewenangan Masyarakat Hukum Adat

    1. Kewenangan publik-privat
    2. Kewenangan privat

    Kewenangan publik adalah kewenangan untuk mengatur secara bersama hak ulayat terkait dengan penggunaan, pemanfaatan, persediaan dan pemeliharaan hak ulayat Masyarakat Hukum Adat  yang bersangkutan hubungan hukum antara Masyarakat Hukum Adat dengan hak ulayat hubungan hukum dan perbuatan hukum terkait hak ulayat

    Kewenangan privat adalah kewenangan untuk secara bersama sama menggunakan dan memanfaatkan tanah dan Sumber Daya Alam di atas wilayah Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan. 

    Adanya pengaturan bahwa hak pengelolaan( HPL) dapat ditetapkan untuk tanah ulayat (PP 18/2021) Permasalahan:

    1. Hal ini bertentangan dengan konsepsi hubungan hukum antara negara dengan tanah menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 juncto Pasal 2 UUPA dan Penjelasan Umum II.2 karena tidak memahami Pasal 2 ayat (4) UUPA secara utuh melalui PU II.2 UUPA. Artinya, memisahkan pemahaman antara Pasal 2 ayat (4) UUPA dengan Penjelasan Umumnya. Yang dilakukan adalah “membaca dan parsial”, atau tekstual, dan bukan memahami secara kontekstual.
    2. Merubah konsepsi tentang HPL yang semula hanya dapat terjadi/diberikan/berasal dari tanah negara, menjadi dapat ditetapkan/terjadi di atas tanah ulayat MHA tanpa argumentasi filosofis, yuridis, dan sosiologis.
    3. Ketentuan tentang penetapan HPL tersebut pada hakikatnya mendegradasi atau bahkan menafikan tanah
    4. (Hak) Ulayat sebagai entitas yang berdiri sendiri di samping tanah negara dan tanah hak.
    5. Masyarakat Hukum Adat tidak memerlukan untuk diberikan nama hak (HPL) untuk tanah ulayatnya.
    6. Sesuai dengan konsepsi terjadinya hak atas tanah, di atas tanah ulayat pun jika MHA menghendaki dapat diberikan hak atas tanah kepada pihak ketiga secara langsung di atas tanah ulayatnya, tanpa harus merubah diri menjadi HPL atau melepaskan tanah ulayatnya menjadi tanah negara. Ketentuan ini diperkenalkan dalam Pasal 4 ayat (2) Permenag/Ka. BPN No. 5/1999. RUU tentang Pertanahan versi awal (2013) dan RUU tentang Hak Ulayat MHA versi DPD tahun 2018 juga memuat tentang rumusan tersebut.
    7. Isi kewenangan pemegang HPL (Pasal 7 PP 18/2021) tidak serta merta/tidak kompatibel jika diterapkan untuk MHA. Apakah HPL “umum” dan HPL yang dikreasikan untuk MHA itu sama atau berbeda? Hal ini perlu dipertimbangkan lagi. Juga rumusan Pasal 4 PP 18/2021 perlu dirubah, dengan menambahkan kata “dapat” ditetapkan (kalau dimohon oleh MHA).
    8. Perlu dipahami dan ditegaskan bahwa pemberian HPL kepada MHA itu TIDAK OTOMATIS, tetapi OPSIONAL; artinya, hanya diberikan jika dimohon, itupun dengan memenuhi persyaratan tertentu. Tidak kalah pentingnya, terhadap MHA wajib diberikan pemahaman yang utuh tentang HPL dan implikasi hukumnya.
    9. Siapa yang berwenang menerbitkan SK pemberian HPL untuk MHA? Hal ini perlu ditegaskan karena karakteristik subjek HPL yang berbeda antara subjek HPL yang selama ini dikenal, dengan MHA sebagai subjek HPL. 

    Karena pengaturan tentang penetapan HPL atas tanah ulayat MHA dalam PP 18/2021 masih berlaku, maka dalam R Permen yang akan datang diberikan alternatif/opsi bahwa:

    1. Hak ulayat dapat dimohon menjadi HPL itu merupakan opsi dan bukan “secara otomatis” diberikan oleh pemerintah.
    2. Jika KMHA tidak menghendaki/mohon HPL atas tanah ulayatnya, status tanahnya tetap sebagai tanah ulayat, dengan kewenangan untuk memberikan hak atas tanah kepada pihak ketiga di atas tanah ulayat secara langsung, sesuai kesepakatan para pihak menurut hukum adat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kewajiban Pemerintah adalah mendaftarkan tanah ulayat yang berujung pada Daftar Tanah Ulayat dan menyediakan Salinan Daftar Tanah Ulayat.
    3. Pendaftaran tanah ulayat dan tanah komunal itu tidak mengurangi keberlakuan hukum adat terhadap bidang tanah yang bersangkutan
    4. Dengan demikian, jika digambarkan, maka skema pendaftaran tanah ulayat KMHK adalah sebagai berikut 

    Penutup

    1. Pengaturn tentang pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan Hak MHA sesuai Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 harus dimuat secara rinci dalam undang-undang. RUU tentang Masyarakat Hukum Adat yang sudah diperkenalkan lebih dari lima belas tahun yang lalu itu belum pernah dibahas secara tuntas. Belum terbitnya undang-undang tersebut merupakan hutang negara yang belum dilunasi.
    2. Pemahaman yang benar tentang esensi Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa: a. keberadaan MHA diakui oleh konstitusi; b. yang belum tuntas adalah pengadministrasiannya
    3. Pengukuhan keberadaan KMHA sebelum terbitnya undang-undang tentang MHA, dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan (bisa dalam bentuk Perda, Perda Khusus terkait dengan MHA tertentu, Peraturan Kepala Daerah atau Keputusan Kepala Daerah).
    4. Namun demikian, untuk memberikan kepastian hukum terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat perlu dituntaskan pengadministrasiannya.
    5. Permen ATR/Ka. BPN tentang Penyelenggaran Administrasi Pertanahan dan Pendaftran Tanah atas Hak
    6. Ulayat MHA sedang berproses untuk harmonisasinya di Kemenkumham.
    7. Konflik perebutan wilayah kelola Masyarakat Hukum Adat dengan pihak lain, antara lain disebabkan karena ketiadaan bukti tertulis Hak Ulayat MHA baik yang berupa tanah ulayat maupun tanah komunal.
    8. Upaya penuntasan pengadministrasian Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat merupakan upaya untuk memperkuat posisi tawar Masyarakat Hukum Adat di samping meminimalisasi konflik dengan pihak ketiga. Upaya pengadministrasian hanyalah merupakan sebagian dari upaya perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat. Keberadaan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat merupakan kebutuhan yang sudah sangat mendesak untuk memenuhi hak-hak MHA yang dijamin oleh Konstitusi.


    Sumber: webinar ATR/BPN Oleh Prof. Dr. Maria SW Sumardjono, SH., MCL., MPA

    LihatTutupKomentar