STATUS TANAH BEKAS HAK BARAT DALAM PUTUSAN PERKARA DI PENGADILAN
EKSISTENSI TANAH BEKAS HAK BARAT
Apakah tanah bekas hak barat masih diakui dalam hukum pertanahan nasional kita?
Eksistensi Tanah Bekas Hak Barat dalam Hukum Pertanahan Nasional
Pendahuluan
Tanah bekas hak barat masih menjadi topik penting dalam hukum pertanahan nasional Indonesia. Meskipun Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) telah mengkonversi hak-hak barat menjadi hak atas tanah nasional, beberapa kasus hukum menunjukkan bahwa dokumen bekas hak barat masih diakui sebagai alat bukti di pengadilan. Artikel ini akan membahas sejarah, regulasi, dan kasus-kasus penting terkait tanah bekas hak barat di Indonesia.
Sejarah Kebijakan Pertanahan
Sejarah kebijakan pertanahan di Indonesia dimulai sejak era kolonial Belanda. Pada masa itu, tanah-tanah di Indonesia banyak yang diberikan hak eigendom kepada warga negara Belanda dan perusahaan-perusahaan asing. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah mulai mengatur kembali hak-hak atas tanah melalui berbagai regulasi, termasuk UUPA yang disahkan pada tahun 1960.
Regulasi dan Kebijakan
- UUPA dan PMA 2/1960: Semua tanah bekas hak barat telah dikonversi menjadi hak atas tanah nasional. Hak Eigendom yang tidak dikonversi menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) dengan jangka waktu 20 tahun.
- PP 24 Tahun 1997: Mengatur pendaftaran tanah bekas hak barat dengan alat bukti tertulis yang diakui. Regulasi ini memberikan kepastian hukum bagi pemilik tanah bekas hak barat untuk mendaftarkan tanah mereka.
- PP 18 Tahun 2021: Menyatakan alat bukti tertulis tanah bekas hak barat tidak berlaku dan statusnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Regulasi ini bertujuan untuk menghapus dualisme hukum pertanahan dan memperkuat penguasaan negara atas tanah.
Kasus-Kasus Penting
1. Kasus Hans Hateyong: Pada 24 Juni 2024, Mahkamah Agung RI mengabulkan permohonan kasasi Hans Hateyong terkait tanah di Dusun Akipu, Ambon. Tanah tersebut diklaim berdasarkan Akta Van Eigendom dari tahun 1913. Putusan ini menunjukkan bahwa dokumen bekas hak barat masih diakui sebagai alat bukti yang sah di pengadilan.
2. Kasus Hermina Sujono Hadi: Putusan Mahkamah Agung RI pada 1 November 2006 menyatakan bahwa HGB 740 tidak sah dan memerintahkan penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Hermina Sujono Hadi. Kasus ini menegaskan pentingnya penguasaan fisik tanah dalam memperoleh hak atas tanah.
3.Kasus Alo S: Pada 10 Oktober 2019, Mahkamah Agung RI menyatakan tidak sah sertipikat-sertipikat yang diterbitkan di atas tanah dengan hak eigendom verponding di Dago, Bandung. Putusan ini memperkuat posisi hukum pemilik tanah bekas hak barat.
Implikasi Hukum dan Sosial
Pengakuan dokumen bekas hak barat sebagai alat bukti di pengadilan memiliki implikasi hukum dan sosial yang signifikan. Di satu sisi, hal ini memberikan kepastian hukum bagi pemilik tanah bekas hak barat. Di sisi lain, hal ini juga menimbulkan potensi konflik pertanahan, terutama jika terdapat tumpang tindih klaim atas tanah.
Kesimpulan
Meskipun regulasi telah menghapus hak-hak barat, pengadilan masih mengakui dokumen bekas hak barat sebagai alat bukti. Hal ini menunjukkan pentingnya penguasaan fisik tanah dalam memperoleh hak atas tanah negara. Ke depan, diperlukan kebijakan yang lebih komprehensif untuk menyelesaikan masalah tanah bekas hak barat dan memastikan kepastian hukum bagi semua pihak.
Dampak pengakuan tanah bekas hak barat terhadap masyarakat dan pemilik tanah di Indonesia cukup signifikan, baik dari segi hukum maupun sosial. Berikut adalah beberapa dampak utamanya:
Dampak Hukum
1. Kepastian Hukum: Pengakuan dokumen bekas hak barat sebagai alat bukti di pengadilan memberikan kepastian hukum bagi pemilik tanah. Mereka dapat mempertahankan hak atas tanah mereka berdasarkan dokumen yang sah.
2. Potensi Konflik: Terdapat potensi konflik pertanahan, terutama jika terdapat tumpang tindih klaim atas tanah. Hal ini bisa terjadi jika ada pihak lain yang juga mengklaim tanah tersebut berdasarkan dokumen atau penguasaan fisik.
3. Proses Hukum yang Panjang: Kasus-kasus pertanahan sering kali memerlukan proses hukum yang panjang dan kompleks. Ini bisa menjadi beban bagi pemilik tanah yang harus menghadapi persidangan untuk mempertahankan hak mereka.
Dampak Sosial
1. Ketidakpastian Sosial: Masyarakat yang tinggal di atas tanah bekas hak barat mungkin menghadapi ketidakpastian mengenai status tanah mereka. Ini bisa mempengaruhi stabilitas sosial dan ekonomi mereka.
2. Penguasaan Tanah: Penguasaan fisik tanah menjadi sangat penting. Masyarakat yang telah lama menguasai tanah tersebut mungkin merasa lebih aman jika penguasaan mereka diakui secara hukum.
3. Kesejahteraan Masyarakat: Kepastian hukum atas tanah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Mereka dapat menggunakan tanah tersebut untuk berbagai keperluan, seperti pertanian, perumahan, atau investasi, tanpa khawatir kehilangan hak atas tanah.
Dampak Ekonomi
1. Nilai Tanah: Tanah yang memiliki kepastian hukum cenderung memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Pemilik tanah dapat memanfaatkan tanah tersebut untuk berbagai kegiatan ekonomi yang produktif.
2. Investasi: Kepastian hukum atas tanah dapat menarik investasi, baik dari dalam maupun luar negeri. Investor akan merasa lebih aman untuk berinvestasi di tanah yang memiliki status hukum yang jelas.
Kesimpulan
Pengakuan tanah bekas hak barat sebagai alat bukti di pengadilan memiliki dampak yang luas bagi masyarakat dan pemilik tanah di Indonesia. Meskipun memberikan kepastian hukum, hal ini juga menimbulkan potensi konflik dan ketidakpastian sosial. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang komprehensif untuk menyelesaikan masalah ini dan memastikan kesejahteraan masyarakat.
Sumber Buku Hak Milik AtasTanah(Memahami Sistem Agraria di Era Hindia Belanda) Pengarang Harto Yuwono
Pada tanggal 24 Juni 2024 Mahkamah Agung RI memutus perkara kasasi yang mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan Hans Hateyong yang awalnya mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Ambon pada tanggal 21 September 2020 atas tanah yang terletak di Dusun Akipu Desa Rumah Tiga Kec Ambon Kota. Tanah tersebut diklaim Hans Hateyong diperoleh dari leluhurnya pada tahun 1913 dengan bukti2 (dua) Akta Van Eigendom Nomor 1054 (meetbrief No.31 tanggal 27 Oktober 1931 dengan luas lebih kurang 6000 m2, karena di atas tanah tersebut telah terbit 2 (dua) Sertipikat Hak Milik atas nama pihak lain. Penggugat mengklaim Akta Van Eigendom tsb telah diperbarui di lembaga pertanahan yg berwenang pd tanggal 31 Januari 1958 dengan diterbitkannya Akta Van Eigendom yang baru No.8 Tahun 1958
PUTUSAN PERKARA PERDATA
- Putusan Perkara Perdata di PN Jakarta Timur No.281/Pdt.G/1998/PN.Jkt.Tim Tgl 26 Juli 1999 jo. Putusan PT DKI Jakarta No.1063/PDT/ 1999/PT.DKI Tgl 30 Mei 2000 jo. Putusan MA RI No.935K/ Pdt/2001 Tgl 1 November 2006 jo. Putusan PK No 736PK/Pdt/ 2008 tanggal 3 Juni 2010 Antara Ir Hermina Sujono Hadi (P) melawan Caecilia Maria Wahyu Kartini (T) dan Kementerian ATR/BPN Cq Kakanwil BPN Prov DKI Jakarta Cq Kakantah Jakarta Timur Obyek gugatan tanah di Kel Bidara Cina Kel Cipinang Cempedak dan Kel Cipinang Besar Selatan Kec Jatinegara berdasarkan Bekas Eigendom Verponding 19114 sisa Meetbrief 291/1839 atas nama Michael Maximiliaan Lachinsky dan Jeane Marie Paulus yg didaftar kembali menjadi Akta Van Eigendom No 1285 tanggal 15 Agustus 1949 meetbrief 5671/1931. Amar putusan: HGB 740 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum dan memerintahkan Kakantah Kota Jaktim untuk menerbitkan SHM atas nama Ir HerminaSujono Had
- Putusan Perkara Perdata di PN Sumedang No.32/ Pdt.G/2021/PN.Smd Tgl 9 Mei 2022 jo. Putusan PT Bandung No.340/PDT/2022/PT.Bdg Tgl 7 September 2022 jo. Putusan MA RI No.2660K/Pdt/ 2023 Tgl 21 Desember 2023 Antara Udju dkk (P) melawan H.Dadan Setiadi M PT Priwista dan dan Kementerian ATR/BPN Cq Kakanwil BPN Prov Jawa Barat dan Kakantah Kota Bandung Dengan obyek gugatan tanah di Sumedang berdasarkan Eigendom Verponding Pribumi No 3 atas nama WA Baron Baud karena di atas tanah tersebut terbit HGB atas nama PT Priwista dan thd obyek tanahnya terkena pembebasan jalan tol Cisumdawu dengan uang konsinyasi lebih dari 300 M. Amar putusan: HGB dinyatakan cacat dan tidak mempunyai kekuatan hukum
FAKTA Pengadilan masih mengakui eksistensi tanah bekas hak barat
MENGAPA …… Dokumen alat bukti bekas hak barat seperti akta van eigendom, opstal atau erfpacht yang dipergunakakan sebagai bukti oleh penggugat di pengadilan masih dipertimbangkan oleh majelis hakim sebagai alat bukti kepemilikan atas tanah, sehingga penggugat seringkali dimenangkan di pengadilan? Seperti apa sesungguhnya regulasi yang mengatur tentang tanah bekas hak barat ini?
KEBIJAKAN PERTANAHAN DI ZAMAN HINDIA BELANDA
AGRARISCHE WETS.1870 No.55
Sebagai pelaksanaan dari Agrarische Wet, pada tanggal 20 Juli 1870 Radja mengeluarkan Keputusan No.15 S.1870 No.118 yang dinamakan AGRARISCH BESLUIT S.1870 No.118/Keputusan Agraria Pasal 1 AB memuat dasar umum tanah negara/ pernyataan umum tanah negara/algemene domein-beginsel/algemene domeinverklaring Suatu pernyataan umum bahwa “semua tanah yang tidak menjadi Hak Eigendom orang lain adalah tanah negara”/domein van de Staat AB linear dengan Ps 520 BW Tanah pekarangan dan benda tetap lainnya (onroerende zaken) yang tidak ada yang menguasai dan memiliki/tidak ada eigenaarnya, begitu juga barang-barang dari orang yang meninggal dengan tidak ada ahli warisnya atau yang warisannya dilepaskan adalah kepunyaan/milik negara.
Semua tanah dianggap menjadi tanah negara (negara sebagai eigenaar) kecuali jika bisa dibuktikan bahwa org lain sebagai eigenaar atau ia dapat membuktikan bahwa ia adalah mempunyai hak eigendom atas tanah menurut BW, Konsekuensi logisnya, karena hak rakyat Ind dasarnya atas hukum adat, maka semua tanah rakyat Ind menjadi tanah negara. PENGECUALIAN tanah swapraja, tanah eigendom, tanah partikelir, tanah agrarisch eigendom
PEMBAGIAN LINGKUNGAN HUKUM
Terdapat 2 Lingkungan Hukum
- Daerah yang diperintah langsung oleh Pemerintah Pusat/Gubernemen/rechtstreeks bestuurd gebeid Gouvernements gebeid. Jawa dan Madura 93 % Luar jawa dan Madura 40 % Indische Straatsregeling (IS) Berlaku Peraturan Pem Pusat/algemene verorderingen/wet-Peraturan dari Radja yang diberlakukan di seluruh wilayah Gubernemen, kecuali daerah Swapraja 1
- Daerah yang tidak diperintah lgsg oleh Pemerintah Pusat Daerah Istimewa/Swapraja/indirect bestuurd gebeid of zelf besturend landschap Bisa membuat peraturan sendiri merefer pada perat yg berlaku di daerah Gubernemen. Misal Daerah swapraja luar Jawa dibuat Ordonantie Erfpacht S.1919 No.61 yang merefer pd Ordonantie Erfpacht S.1914 No.367 untuk daerah Gubernemen di luar Jawa, tetapi untuk tanah kosong/woeste granden berlaku hukum adat yang berlaku di daerah swapraja masing2
KETENTUAN PASAL 51 IS
Di daerah Gubernemen
(1) Gubernur Jendral (GJ) tidak boleh menjual tanah
(2) Tdk termasuk tanah kecil untuk memperluas kota dan desa dan untuk mendirikan bangunan Perindustrian
(3) GJ boleh menyewakan tanah menurut aturan ordonansi (kecuali tanah yang diusahakan bangsa Ind, padang rumput/penggembalaan umum/termasuk turut kampung/desa) Pasal 51 IS semula merupakan Pasal 62 RR awalnya terdiri dari 3 ayat INDISCHE STAATSREGELING S.1925 No.447 (Mulai berlaku 1 Januari 1926) Digant REGERINGS REGLEMENT 1854 S.1855 No.2
(4) Menurut aturan dalam ordonansi diberikan tanah dengan hak erfpacht waktu tidak lebih dari 75 tahun
(5) Gubernur Jenderal menjaga jangan sampai ada pemberian tanah melanggar hak asli/bangsa Indonesia
(6) Tanah yang diusahakan bangsa Ind untuk keperluan sendiri, atau penggembalaan umum atau tanah turut kampung/desa tidak dikuasai oleh GJ kecuali untuk kepentingan umum bds Pasal 133 IS dengan ganti rugi yang layak.
(7) Kepada orang Ind yg mpy tanah milik dengan syah, maka atas permintaannya diberikan Hak Eigendom dgn pembatasan thd kewajiban thd neg dan desa dan pembatasan untuk menjualnya kpd bukan bangsa Ind, yg diatur dalam ordonansi.
(8) Menyewakan atau menyerahkan tanah untuk dipakai org Ind kpd bukan org Ind dilaks menurut aturan yg akan ditent dgn ordonansi
ALASAN PENAMBAHAN 5 AYAT DI PASAL 51 IS
Memberi kesempatan kepada perusahaan pertanian besar untuk berkembang di Indonesia, tetapi hak rakyat atas tanahnya tetap harus diperhatikan. Sebelum tahun 1870, pengusaha tidak bisa mendirikan perusahaan pertanian besar, tidak bisa memperoleh hak eigendom, dan hanya bisa menyewa tanah negara yang masih kosong (hutan belukar/woeste gronden) dengan jangka waktu yang terbatas hanya 20 tahun.
Keberadaan perusahaan pertanian besar juga bertentangan dengan kebijakan pemerintah saat itu yang masih menerapkan cultuurstelsel, yaitu politik yang memaksa penduduk Indonesia menanam tanaman yang diperintahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda seperti kopi dan tebu, yang hasilnya diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda (verplichte, cultuurdiensten, contingenten en leverantien).
PEMBAGIAN PENDUDUK MENURUT GOL DI ZAMAN HB
Pasal 163 IS: Pembagian Golongan Penduduk
Golongan Eropa:
- Semua orang Belanda.
- Semua orang non-Belanda yang berasal dari Eropa.
- Semua orang Jepang (berdasarkan perjanjian dagang antara Belanda dengan Jepang).
- Semua orang yang berasal dari tempat lain yang hukum keluarganya di negeri asalnya berasaskan sama dengan hukum keluarga Belanda.
- Anak sah dari golongan Eropa yang diakui oleh undang-undang.
Golongan Bumiputera:
- Orang Indonesia asli/pribumi.
- Golongan lain yang meleburkan diri (bukan orang Indonesia asli).
Golongan Timur Asing:
- Mereka yang tidak termasuk dalam golongan Eropa dan golongan Bumiputera (seperti India, Arab, Afrika, Tionghoa, dan lain-lain).
PEMBERLAKUAN HUKUMBERDASARKAN GOLONGAN Pasal 131 IS
untuk Gol Eropa berlaku Hukum Perdata dan Hukum dagang Eropa seluruhnya tanpa kecuali, baik yang tercantum dalam Burgelijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel maupun dalam undang-undang tersendiri di luar kodifikasi tersebut, disamping adanya hukum antar golonganUntuk Gol Timur Asing berlaku hukum perdata yaitu hukum Perdata Eropa. Kecuali mengenai Kongsi dan adopsi diberlakukan hukum adatnya, sedangkan berdasarkan Pasal 131 IS jo Stb 1924-556 bagi golongan timur asing bukan Tionghoa diberlakukan hukum perdata eropa kecuali mengenai hukum kel dan hukum waris tanpa wasiat diberlakukan hukum adat dan huum agamanya, Untuk Gol Bumiputera berlaku Hukum Perdata Adat
Jenis Hak Atas Tanah Asli Indonesia
Berdasarkan Putusan Sekretaris Gubernemen tanggal 2 Mei 1933 No. 1257B, orang Indonesia yang memiliki tanah Eigendom Agraria dapat menukarkan haknya dengan Eigendom BW dengan cara terlebih dahulu melepaskan haknya sehingga tanahnya menjadi tanah negara bebas. Setelah itu, pemerintah akan memberikan hak Eigendom menurut BW.
Hak-Hak Tanah Asli Indonesia adalah Hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh bangsa Indonesia asli atau persekutuan dan badan hukum Indonesia seperti desa, marga, dan sebagainya (Indonesische grondrechten) meliputi:
- Hakulayat/Beschikkingsrecht
- Hak Milik (erfelijk individueel bezit) dan Hak Komunal (communal bezit)
- Agrarisch Eigendom/Eigendom Agraria adalahHak atas tanah yang berasal dari Hak Milik Adat yang bisa diperoleh pemilik melalui suatu prosedur di pengadilan negeri setempat. Setelah proses pengadilan selesai, salinan putusan diserahkan ke Kepala Daerah Kabupaten untuk ditindaklanjuti dan yang bersangkutan mendapatkan salinan akta eigendom. Tanah dengan hak agraris eigendom tidak bisa dialihkan kepada bukan bangsa Indonesia. Pendaftaran tanah eigendom agraria dijalankan menurut S.1873 No. 38. Pasal 1 pendaftaran tanahnya dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri.
Beberapa Hak Indonesia Lainnya
- Mengerjakan/menanami tanah (bewerkings of bouwrecht)
- Mempergunakan tanah pertanian yang tidak kekal (genotrecht wisselvallige bouwvelden)
- Memakai tanah persekutuan (gebruiksrecht gemeenschaps gronden)
- Mengumpulkan hasil tanah (recht om te zamelen)
KEBIJAKAN PERTANAHAN PASKA UUPA UNIFIKASI HUKUM PERTANAHAN NASIONAL
Dualisme Peraturan Hukum Pertanahan Sebelum UUPA
Hukum Tanah yang bersumber pada Hukum Adat yang berkonsepsi komunalistik riligius & Hukum Tanah yang bersumber pada Hukum Barat yang berkonsepsi individualistic liberal
Berlakunya UUPA mencabut:- Agrarisch Wet A.1870 No.55 sbg yg termuat dlm Psl 51 Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie” S.1925 No.447-
Algemene domein verklaring S,1875 No.119 A
Koninklijk Besluit 16 April 1872 No.29 S.1872 No.117 dan perat pelaksnya
Buku II KUHPerdata sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentaun mengenai hypotheek yg masih berlaku pd mulai berlakunya UU ini.
Dengan UUPA terdapat Unifikasi Peraturan Pertanahan di Indonesia dengan berdasarkan pada hukum adat tentang tanah sebagai hukum aslinya sebagian besar rakyat Indoneisa.
Hak Atas Tanah Menurut UUPA
Hak Atas Air dan Ruang Angkasa:
- Hak guna air
- Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan
- Hak guna ruang angkasa
Hak Menguasai dari Negara (Pasal 2):
- Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa.
- Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
- Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Hak Atas Tanah (Pasal 16):
- Hak Milik
- Hak Guna Usaha
- Hak Guna Bangunan
- Hak Pakai
- Hak Sewa
- Hak Membuka Tanah
- Hak Memungut Hasil Hutan
- Hak-hak lain yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara (hak gadai, usaha bagi hasil, menumpang, dan sewa tanah pertanian) (Pasal 53).
Ketentuan Konversi dalam UUPA
Konversi Hak Barat:
Hak Eigendom:
Sejak berlakunya UUPA, hak eigendom dikonversi menjadi Hak Milik (Pasal I).
Hak Erfpacht untuk Perusahaan Kebun Besar:
Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar yang ada pada saat mulai berlakunya UUPA dikonversi menjadi Hak Guna Usaha yang berlangsung selama sisa hak erfpacht, tetapi tidak lebih dari 20 tahun (Pasal III).
Hak Opstal atau Hak Erfpacht untuk Perumahan:
Hak opstal atau hak erfpacht untuk perumahan yang ada pada saat mulai berlakunya UUPA dikonversi menjadi Hak Guna Bangunan yang berlangsung selama sisa hak erfpacht, tetapi tidak lebih dari 20 tahun (Pasal V).
Ketentuan Konversi PMA 2/1960
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) PMA No. 2 Tahun 1960 tentang Pelaksanaan Ketentuan UUPA, diatur bahwa WNI yang pada tanggal 24 September 1960 berkewarganegaraan tunggal dan mempunyai tanah dengan Hak Eigendom, dalam waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal 24 September 1960 tersebut wajib datang ke Kepala Kantor Pendaftaran Tanah (KKPT) yang bersangkutan untuk memberikan ketegasan mengenai kewarganegaraan itu.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 3 PMA 2/1960, hak eigendom yang pemiliknya terbukti WNI tunggal, dicatat oleh KKPT baik pada asli maupun pada grosse aktanya dikonversi menjadi hak milik. Namun demikian, dalam Pasal 4 PMA 2/1960, diatur bahwa hak eigendom yang setelah jangka waktu 6 bulan tersebut pada Pasal 2 lampau pemiliknya tidak datang ke KKPT, maka oleh KKPT dicatat pada asli aktanya sebagai dikonversi menjadi HGB dengan jangka waktu 20 tahun.
Hak Eigendom yang Tidak Dikonversi
Hak Eigendom: Berdasarkan Pasal 4 PMA 2/1960, pemegang Hak Eigendom yang pemiliknya WNI tunggal, hak eigendomnya secara otomatis dikonversi menjadi HGB dengan jangka waktu 20 tahun yang berakhir pada tanggal 24 September 1980. Setelah HGB tersebut berakhir, status tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Hak Erfpacht dan Opstal: Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Keppres No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat, diatur bahwa: “Tanah HGU, HGB, dan Hak Pakai asal konversi hak Barat, jangka waktunya akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980, sebagaimana yang dimaksud dalam UUPA. Pada saat berakhirnya hak tersebut, tanah menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.”
Peruntukannya diatur dengan PMDN 3 Tahun 1979 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat. Pada Pasal 12 Ayat (1), diatur mengenai hak prioritas untuk mengajukan permohonan hak atas tanah dari hasil konversi hak barat yang telah berakhir haknya, sepanjang tanah tersebut masih dikuasai dengan baik oleh bekas pemegang hak.
Pengaturan Hak Barat dalam PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Pasal 24
Ayat 1: Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak, dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.
Ayat 1
Alat bukti tertulis dapat berupa:
a. Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonantie (OO) (S-1834-27) yg telah dibubuhi catata bahwa hak eigendom ybs dikonversi menjadi HM, atau
b. Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan OO (S
1834-27) sejak berlakunya UUPA sampai dengan tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut PP 10 Tahun 1961 di daerah ybs, atau
c. Surat tanda bukti hak milik yg diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan, atau
d. Sertipikat HM yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agrarria No.9 Tahun 1959 atau
e. SK Pemberian HM dari ejabay tang berwenang baik sebelum atau sesudah berlakunya UUPA yg tdk disertai kewajiban untuk mendaftrakan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya, atau
f. Akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan yg dibubuhi tanda kesaksian kepala adat/desa/kelurahan yg dibuat sebelumberlakunya PP ini
g. Akta pemindahan hak yg dibuat PPAT yg tanahnya belum dibukukan
h. Akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yg dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakannya PP 28/1977
i. Risalah lelang yang dibuat pejabat yg berwenang ttp tanahnya belum dibukukan
j. Surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yg
diambil oleh pem/pemda, atau
k. Petuk pajak bumi/landrete, girik, pipil, ketitir dan Verpondong Indonesai sebelum berlakunya PP 10/1961 atau
l. Surat Ket Riwayat Tanah yg pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan PBB, atau
m.Lain-lain bukti tertulis dengan nama apa pun sbgmn dimaksud Ps II VI dan VII Ketentuan Konversi UUPA
Jenis alat bukti tertulis kepemilikan tanah sbgmn dimaksud dalam Penjelasan Pasal 24 tersebut lebih lanjut diatur kembali dalam Pasal 60 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah
Ayat 2: Dalam hal tidak tersedia alat bukti sebagaimana ayat (1), pembuktian hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya dengan syarat penguasaannya dilakukan dengan itikad baik secara terbuka diperkuat dengan keterangan saksi, dan tidak dipermasalahkan oleh pihak lain.
Ketentuan Pasal 24 ayat (2) ini lebih lanjut diatur kembali dalam Pasal 61 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
PP18/2021 Tentang HPL, HAT, Sarusun dan Pendaftaran Tanah
Pasal 95
Ayat 1
Alat bukti tertulis tanah bekas hak barat dinyatakan tidak berlaku dan
statusnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Ayat 2
Pendaftaran tanah bekas hak barat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mendasarkan pada surat pernyataan penguasaan fisik yg diketaui 2 (dua)
orang saksi dan bertanggungjawab secara perdata dan pidana yg
menguraikan:
a. Tanah tersebut benar milik ybs bukan milik org lain dan statusnya
adalah tanah yg dikuasai langsung oleh negara bukan tanah bekas
milik adat;
b. Tanah scr fisik dikuasai;
c. Penguasaan tsb dilakukan dengan itikad baik dan scr terbuka oleh ybs
sbg yg berjhak atas tanah, dan
d. Penguasaan tersebut tidak dipermasalahkan oleh pihak lain.
Pasal 95 Ayat (1) PP 18/2021 saat ini dijadikan obyek JR di MA
Penjelasan Ayat 2
Kenyataan penguasaan fisik dinyatakan dalam surat pernyataan yg terdapat keterangan dari sekurang-kurangnya 2 org saksi yg dpt dipercaya, karena fungsinya sbg tetua adat setempat dan/atau penduduk yg sudah lama bertempat tinggal di desa/kel letak tanah ybs dan tdk mpy hub kel dengan ybs sampai derajat keduabaik dalam kekerabatanvertical maupun horizontal.
KESIMPULAN
Berdasarkan ketentuan UUPA, PMA 2/1960, Keppres 32 Tahun 1979 dalam hukum pertanahan nasional tidak dikenal lagi hak-hak barat, karena dengan berlakunya UUPA dan PMA 2/1960 semua tanah bekas hak barat telah dikonversi menjadi hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUPA. Khusus terhadap Hak Eigendom yang oleh bekas pemegang haknya tidak dilakukan konversi menjadi Hak Milik, secara otomatis haknya berubah menjadi HGB dengan jangka waktu 20 tahun dan telah berakhir haknya pada tanggal 24 September 1980, sehingga status tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara
Terhadap tanah bekas hak barat selanjutnya diatur dalam Pasal 95 Ayat (1) PP Nomor 18 Tahun 2021 yang menyatakan tidak berlaku alat bukt tertulis tanah bekas hak barat dan menetapkan statusnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Ketentuan tersebut merupakan bentuk penegasan dari tidak berlakunya bekas hak barat dalam sistem hukum pertanahan nasional di Indonesia, karena kita tidak hidup di era kolonial lagi, Namun demikian, dalam Pasal 95 ayat (2) diatur bahwa kepada bekas pemegang hak barat diberikan prioritas untuk mengajukan permohonan hak atas tanahnya sepanjang bekas pemegang hak barat atau ahli warisnya menguasai fisik bidang tanahnya, karena esensi dari perolehan/pemberian hak atas tanah negara ada pada penguasaan fisiknya.